Menjadikan NU Teguh yang Meneduhkan
Membangun mentalitas warga nahdliyin dalam menghadapi berbagai problem yang menghegemoninya, khususnya saat menghadapi masalah pergulatan politik di Tanah Air, menjadi pekerjaan besar PBNU pascamuktamar.
Sebentar lagi ada hiruk-pikuk Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama. Dalam kultur NU, gaya suksesi NU, meski dibingkai oleh atmosfer persaingan yang sempat memanas dan beberapa tetesan air mata kiai, ending-nya menampakkan suhu islah. Bahkan dengan tegas, Kiai Sahal Mahfudz pernah berujar lantang, ”tidak ada dendam” pascamuktamar.
Memang benar apa yang disampaikan oleh Kiai Sahal bahwa pascamukmatar tidak perlu ribut dan memanaskan atmosfer perbedaan di tubuh NU. Selama ini, demokrasi sudah berjalan membingkai suksesi.
Perbedaan opsi terhadap masing-masing figur tidak berdampak melahirkan friksi dan faksi. Masing-masing elemen NU menyadari bahwa kompetisi demi demokrasi harus diterima dengan kearifan dan kebeningan nurani. Kalaupun sampai memunculkan perbedaan, tetap bisa terkondisikan menuju rekonsiliasi.
Baca juga : Muktamar NU Tetap Digelar 23-25 Desember 2021
Hal yang sering kali terlewatkan adalah pekerjaan besar NU seusai muktamar. Pekerjaan besar ini antara lain membangun mentalitas warga nahdliyin dalam menghadapi berbagai problem yang menghegemoninya, khususnya saat menghadapi masalah pergulatan politik di Tanah Air. Kata kiai karismatik Ali Yafie, ”Dalam berpolitik, warga NU itu ibarat ikan dan air. Tak akan mungkin ikan bisa hidup tanpa air.”
Hal yang serig kali terlewatkan adalah pekerjaan besar NU seusai muktamar. Pekerjaan besar ini antara lain membangun mentalitas warga nahdliyin dalam menghadapi berbagai problem yang menghegemoninya.
Friksi-friksi politik di kalangan elite NU selama ini lebih disebabkan oleh kesalahan sikap atau mentalitasnya yang terseret menjadi sapi tunggangan kepentingan figur dan sekelompok pemain politik. Mereka diseret masuk dalam lingkaran pertarungan kepentingan eksklusif perebutan kekuasaan atau zona-zona strategis yang berelasi dengan negara, yang membuatnya bisa berdiri saling berhadapan (vis a vis) sebagai musuh. Mereka tergiring menjadi kendaraan, broker, atau ”sapi tunggangan” akibat magnet kapitalisme politik yang memesona dan menghegemoninya.
”Wahai bangsaku, wahai bangsaku. Cinta tanah air bagian dari iman. Cintailah tanah air ini wahai bangsaku. Jangan kalian menjadi orang terjajah. Sungguh kesempurnaan itu harus dibuktikan dengan perbuatan. Dan bukanlah kesempurnaan itu hanya berupa ucapan. Berbuatlah demi cita-cita. Jangan hanya pandai bicara. Dunia ini bukan tempat untuk menetap, tetapi hanya tempat berlabuh. Berbuatlah sesuai dengan perintah-Nya. Dan, janganlah kalian menjadi sapi tunggangan. Kalian tak tahu orang yang memutarbalikkan. Dan kalian tak mengerti apa yang berubah. Di mana akhir perjalanan, dan bagaimana pula akhir kejadian. Adakah mereka memberimu minum. Juga kepada ternakmu. Atau, mereka membebaskanmu dari beban. Atau, malah membiarkan tertimbun beban. Wahai bangsaku yang berfikir jernih, dan halus perasaan, kobarkan semangat.” Demikian petikan lagu perjuangan yang selalu dinyanyikan oleh tokoh-tokoh NU terdahulu saat NU masih menjadi Nahdlatul Wathan, setelah digubah oleh Mbah Wahab Hasbullah menjadi syair.
Lagu yang digubah Mbah Wahab tersebut dinyanyikan sebagai pemompa semangat dan penguat etos juang warga NU dan bangsa Indonesia pada umumnya untuk melawan kolonialisme. Dan memang dimensi historis kelahiran NU adalah dilatarbelakangi oleh kepentingan membela tanah air (nasionalisme) setelah ratusan tahun diinjak-injak penjajah.
Berpijak pada akar sejarah, rasanya tak berlebihan jika kita saat ini perlu ”memberi pelajaran” atau setidaknya mengajak bicara dengan nurani (bukan rasionalitas dan strategi semata) kepada elite-elite NU baik yang berada di pucuk pimpinan NU maupun pimpinan banom-banomnya. Mengajak bicara bahwa para orang tua (pendiri NU) yang rela menghabiskan waktu dan mempertaruhkan nyawanya melalui Nahdlatul Wathan adalah demi NU dan masa depan negeri ini, dan bukan demi kepentingan diri, kelompok, kolega, partai, dan kepentingan-kepentingan eksklusif lain.
Baca juga : Tantangan Intelektualitas dan Kontekstualitas Ketum PBNU Mendatang
Kalimat ”janganlah kalian menjadi sapi tunggangan” dalam syair tersebut sebenarnya mengingatkan warga nahdliyin supaya tak menjadi obyek, menyerahkan diri jadi kelinci eksperimen kekuatan-kekuatan politik dan kekuasaan, atau secara khusus, warga nahdliyin jangan sampai menjadi kendaraan kekuatan lain semata, apalagi yang berkecenderungan kuat menjerumuskan secara ideologis.
Kita diingatkan supaya ”kita” (warga NU) menjadi komunitas yang kuat, punya integritas dan kapabilitas untuk menghadapi berbagai kekuatan lain yang mencoba mengecilkan dan mengucilkan peran-peran strategis kita di belantara Indonesia. Kita dituntut ”punya harga” mahal di tengah percaturan kepentingan yang mencoba memperlakukan warga nahdliyin sebagai sapi tunggangan. Harga mahal ini bernama citra diri, kemandirian, keteguhan menjaga prinsip, atau tidak sebatas jadi pelapis kekuatan politik lain.
Kepentingan bangsa
Kita sudah dididik oleh para pendiri NU supaya mendahulukan kepentingan bangsa yang masih dilanda atau ”dijajah” oleh krisis belapis-lapis ini, dan tak semata-mata sibuk dan membelitkan diri dalam problem eksklusivisme organisasi. Persoalan besar di bidang ekonomi, politik, hukum, budaya, agama, dan sektor-sektor strategis lain tak akan mungkin bisa diatasi dengan baik jika sebagian komponen bangsa justru masih belum menyembuhkan dirinya sendiri atau gagal berjihad menyelesaikan virus yang menyerang ”dapurnya” sendiri.
Sayangnya, warga NU sering terjebak dalam penyakit amnesia saat digoda oleh kekuatan politik yang menggiurkan. Mereka sengaja mengabaikan atau membiaskan bahasa khitah NU demi membenarkan kepentingan ”dapur politik”. Mereka ini akhirnya kehabisan energinya untuk memikirkan kemaslahatan bangsa akibat terforsir memikirkan problem pertarungan kepentingan politik eksklusif.
Baca juga : Memaknai NU dan Kontestasi Internal Organisasi Kaum Nahdliyin
Dalam ranah tersebut, tidak sulit ditemukan warga NU yang berani menjatuhkan opsi untuk ”berkelahi” atau memproduk gaya politik adu jangkrik dengan sesama warga nahdliyin akibat desakan kepentingan politik. Mereka rela berebut kursi kekuasaan di level daerah hingga nasional, meskipun ongkos pertaruhan ini harus digantinya dengan cara menghalalkan konflik radikalistik antar-elite NU.
”Perkelahian” di kalangan internal warga (elite) NU sangat mudah dijumpai akibat pesona kekuasaan (politik) jauh lebih membius dan menjanjikan keuntungan riil dibandingkan memimpin NU. Ketika pilkada atau pesta suksesi nasional digelar, misalnya, elemen elite NU sering kali terbelah dalam berbagai faksi, yang masing-masing faksi ini membingkai setiap elemen politik yang mempunyai jago ”basah” atau minimal menjanjikan banyak keuntungan materi, kekuasaan, dan politik. Bahkan ada yang rela menjadi atau dijadikan martil demi menyukseskan seseorang.
”Perkelahian” di kalangan internal warga (elite) NU sangat mudah dijumpai akibat pesona kekuasaan (politik) jauh lebih membius dan menjanjikan keuntungan riil dibandingkan memimpin NU.
Sebagai bagian dari komponen bangsa yang ”rakyatnya” ditaksir berada di kisaran 45 juta-60 juta jiwa, tentulah naïf kalau pemerintahan ini dibiarkan berjalan dan berlalu tanpa sumbangsih pikiran dan aksi-aksi cerdas dan independensi NU. Apalagi di tengah belantara negeri yang sarat praktik homo homini lupus dan berbagai bentuk praktik penyelingkuhan kekuasaan (abuse of power) ini, jelas kekuatan komunitas NU bermental militan sangat dibutuhkan.
Elite NU sudah saatnya bermain di ranah yang lebih makro, yang tidak sebatas mengawal secara moral penyelenggaraan pesta politik, seperti suksesi di daerah, tetapi juga harus memelekkan matanya untuk selalu cerdas membaca akselerasi penyelenggaraan kehidupan kenegaraan (pemerintahan). Mereka tidak pantas lagi menjadi ”sapi tunggangan”, tetapi harus menjadi kekuatan strategis yang mampu mendesain (mengarsiteki) kehidupan makro bangsa, ikut berdiri sebagai pilar yang ”melukis” wajah sejarah negeri ini.
Abdul Wahid, Pengajar Pascasarjana Universitas Islam Malang