Tak ada dua bahasa yang sama persis sehingga tak bisa dipindahkan begitu saja ke bahasa lain. Karena itu, saat menggunakan bahasa Indonesia, kadang tidak bisa dihindarkan untuk menyelipkan beberapa kata bahasa daerah.
Oleh
MUHAMMAD EDY SUSILO
·4 menit baca
Pernyataan Arteria Dahlan yang meminta salah satu kepala Kejaksaan Tinggi diberhentikan karena berbicara dalam bahasa Sunda saat rapat dengan Jaksa Agung sontak memicu kecaman terutama dari masyarakat etnis Sunda. Pernyataan yang dikeluarkan pada 17 Januari 2022 itu dinilai tidak pantas dan berlebihan. Berbagai elemen masyarakat, seperti pejabat, dosen, tokoh masyarakat, influencer, dan artis, ikut menyesalkan pernyataan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P itu.
Hanya tiga hari setelah polemik itu, PDI-P memberikan sanksi peringatan kepada Arteria. Lalu keesokan harinya, tanggal 21 Januari 2022, Arteria meminta maaf kepada masyarakat Jawa Barat. Permintaan maaf ini unik karena ia pernah menolak melakukannya dan justru meminta masyarakat untuk melaporkan dirinya ke Mahkamah Kehormatan Dewan apabila memang menganggap dirinya bersalah.
Adalah menarik untuk membicarakan tarik-menarik bahasa Indonesia dan bahasa daerah di negara yang memiliki kekayaan bahasa ini. Menurut situs ethnologue.com, Indonesia adalah negara yang memiliki bahasa terbanyak nomor dua di dunia dengan 712 bahasa. Peringkat pertama diduduki oleh Papua Niugini.
Dari sekian banyak bahasa yang dimiliki, kita berutang kepada para pendahulu bangsa yang telah memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Mereka berbesar hati untuk tidak memaksakan bahasa daerahnya menjadi bahasa pemersatu.
Menurut Nugraheni dan Syuhda dalam artikel yang dimuat di jurnal Lingua (2019, Vol XV), berdasarkan sejarah, bahasa Indonesia adalah varian dari bahasa Melayu. Perkembangan bahasa Melayu sebagai lingua franca di wilayah Nusantara memengaruhi dan mendorong-timbulkan rasa persaudaraan dan rasa persatuan bangsa Indonesia.
Bahasa Indonesia memiliki empat fungsi, yaitu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, dan sebagai bahasa baku atau resmi. Dalam fungsi keempat itulah, setting yang dipersoalkan oleh Arteria Dahlan. Dalam pertemuan resmi, seperti rapat kerja DPR, seharusnya digunakan bahasa Indonesia. Namun, adakah bahasa Indonesia yang ”murni”? Bukankah bahasa Indonesia juga menyerap dari banyak bahasa di dunia? Tidak bolehkah menggunakan penggalan dari bahasa daerah?
Namun, adakah bahasa Indonesia yang ’murni’? Bukankah bahasa Indonesia juga menyerap dari banyak bahasa di dunia? Tidak bolehkah menggunakan penggalan dari bahasa daerah?
Saat menggunakan bahasa Indonesia, kadang tidak bisa dihindarkan untuk menyelipkan beberapa kata dari bahasa asing termasuk bahasa daerah. Mengapa? Pertama, tidak ada dua bahasa yang sama persis sehingga tidak bisa dipindahkan begitu saja ke dalam bahasa yang lain. Kalimat ”I love you” ,sebagai contoh, dirasakan lebih romantis daripada ”Aku cinta padamu”. Bukan hanya kata, diftong bahasa daerah juga berbeda dengan bahasa Indonesia. Misalnya, eu dalam kata beureum (Sunda) dan dh dalam kata wedhus (Jawa), tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia.
Kedua, bahasa Indonesia terus mengalami perkembangan. Dahulu, bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa. Kini pun sama. Interaksi dengan berbagai bahasa lain sangat mempengaruhi bahasa Indonesia. Dalam konteks seperti ini, menyisipkan bahasa daerah dalam rapat resmi sungguh sangat bisa diterima.
Dengan penggunaan bahasa Indonesia yang semakin merata di Indonesia, maka tidak bisa dimungkiri bahwa bahasa daerah semakin terdesak. Penelitian sosiolog Dede Oetomo pada tahun 1980-an saja sudah menunjukkan bahwa para orangtua di kota-kota di Jawa yang saat itu berusia 20-30 tahunan menggunakan bahasa Indonesia di rumah mereka. Padahal, bahasa ibu mereka adalah bahasa daerah.
Karena bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar resmi pendidikan, semua jenjang pendidikan di Indonesia dilaksanakan dalam bahasa Indonesia. Bahasa daerah hanya tersisa sebagai muatan lokal di sekolah. Meskipun dijadikan mata pelajaran, namun jika tidak pernah dipraktikkan, apa yang terjadi dengan bahasa tersebut? Kepunahan bahasa bukanlah hal yang mustahil terjadi.
Badan Bahasa Kemendikbudristek melaporkan bahwa kajian selama tahun 2011 sampai dengan 2019 menunjukkan ada 11 bahasa daerah di Indonesia yang mengalami kepunahan. Maluku menjadi daerah yang paling banyak kehilangan bahasa daerah, yaitu sembilan bahasa, disusul dua bahasa dari Papua dan Papua Barat.
Di tengah kondisi bahasa daerah yang terimpit, gempuran bahasa asing terasa lebih kuat. Jika dahulu masyarakat Indonesia umumnya hanya mempelajari bahasa Inggris, kini semakin banyak bahasa asing yang digandrungi seperti bahasa Mandarin, bahasa Korea, dan bahasa Jepang. Mempelajari bahasa asing bukanlah kesalahan, bahkan hal tersebut justru merupakan sebuah keharusan.
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbudristek telah mencanangkan kebijakan Tri Gatra Bangun Bahasa, yaitu pengutamaan bahasa negara, pelestarian bahasa daerah, dan penguasaan bahasa asing. Masalahnya, sering kali kita hanya terjebak pada tataran slogan yang terdengar indah di telinga, tetapi minim pelaksanaan. Bagaimanapun, Tri Gatra Bangun Bahasa memerlukan pengejawantahan dalam kehidupan berbangsa ini.
Jika gagasan ini memerlukan payung hukum yang lebih kuat, maka rekan kerja Arteria Dahlan di Komisi X DPR bisa merumuskannya.
Muhammad Edy Susilo, Kandidat Doktor Jurusan Ilmu Komunikasi UNS