Prostitusi akademik seolah menjadi bola panas yang jika tidak segera dipadamkan akan merusak dan membakar kesakralan sebuah lembaga akademik yang diharapkan mencetak generasi bermoral.
Oleh
NELLY MARHAYATI
·7 menit baca
Kata prostitusi dalam KBBI diartikan sebagai pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan pelacuran. Berdasarkan pengertian di atas pengertian prostitusi tidak lepas dari kebutuhan ekonomi, uang, cuan, money, hepeng, fulus, rupiah. Adapun menurut Kamus Psikologi (Kartini Kartono) prostitusi adalah salah satu bentuk penyimpangan seksual berupa adanya dorongan seks yang tidak semestinya dan tidak terkontrol ke dalam bentuk pelepasan nafsu seks tanpa kontrol dengan banyak orang (promiskuitas), disertai dengan eksploitasi dan komersialisasi seks yang bersifat impersonal dan afeksi.
Berdasarkan makna di atas artinya ketika kita berbicara tentang prostitusi terutama di masyarakat sangat identik dengan permasalahan seksual dan ekonomi. Lingkungan kampus yang berisi orang-orang berpendidikan, intelektual, cerdik cendikia, yang seharusnya menjadi tempat dijunjungnya nilai moral, istilah prostitusi ternyata marak terdengar. Prostitusi yang ada di kampus karena bergandengan dengan orang-orang akademisi lebih dikenal dengan istilah ”prostitusi akademik”.
Menurut Zuly Qodir (Kompas, 17/1/2022), ”prostitusi akademik” adalah sebuah simbol untuk para intelektual-cendekiawan yang rela menjual diri hanya utuk mendapatkan kemegahan, kemewahan, dan kekuasaan dari pihak-pihak yang memberikan kemewahan dan harta. Oleh karena itu, ”prostitusi akademik” dianggap sebagai sebuah bentuk pengkhianatan kaum cendekiawan yang tidak turun ke jalan atau ke lapangan untuk membela rakyat dan untuk membebaskan keterpasungan dan keterpinggiran rakyat.
Merujuk pada yang telah dituliskan oleh Zuly Qodir tersebut, maka ”prostitusi akademik” dapat dibagi ke dalam beberapa jenis. Bahwa ternyata pada ”prostitusi akademik” makna prostitusi tidak hanya berhubungan dengan permasalahan seksual saja, tetapi lebih luas lagi tetapi muaranya tetap ke persoalan harta, benda, dan takhta.
”Prostitusi” karya ilmiah
Pada tahun 2007, tepatnya tanggal 16 Oktober 2007 pada kolom opini koran Kedaulatan Rakyat, Profesor Mahfud menyampaikan bahwa ketika seorang dosen berhasil menulis buku atau artikel ilmiah tidaklah terlalu membanggakan. Karya tulis ilmiah tidak lagi eksklusif sebagai karya yang benar-benar ilmiah karena ketika itu sudah sangat banyak orang menulis, tetapi tulisannya tak layak dihargai sebagai karya ilmiah, bahkan banyak yang dibuat dengan melanggar etika dan kejujuran ilmiah.
Berbeda ketika tahun 1980-an, ketika seorang dosen berhasil menerbitkan buku atau artikel di jurnal ilmiah, bahkan walaupun hanya sebatas artikel di media massa, umum rasanya sangat bangga. Seorang dosen baru dianggap sempurna identitas profesinya jika bisa menulis dalam jenis-jenis tulisan tersebut. Sang dosen bisa berbangga diri dengan predikat ”ilmuwan” yang memenuhi syarat untuk bekerja dalam dunia akademik yang menekuni aktivitas keilmuan dengan segala etikanya (Mahfud, 2007).
Jangankan berkurang apalagi menghilang, ’prostitusi akademik’ dalam bentuk prostitusi karya ilmiah semakin marak dan menggurita.
Kegelisahan Prof Mahfud pada tahun 2007 ternyata sampai saat ini. Jangankan berkurang apalagi menghilang, ”prostitusi akademik” dalam bentuk ”prostitusi” karya ilmiah semakin marak dan menggurita. Adanya tuntutan publikasi ilmiah di dunia akademisi ternyata berakibat kepada sikap menghalalkan segala cara untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sebenarnya, jika fenomena banyaknya akademisi yang membuat karya tulis dan dipublikasi berjalan dengan role yang ada tanpa ada tuntutan yang tidak realistis, maka sudah selayaknya disambut dengan antusias karena artinya kegiatan ilmiah di lingkungan kampus telah mengalami kemajuan yang berarti.
Namun, saat ini yang terjadi adalah, alih-alih menjadi seorang penulis andal dengan karya ilmiah orisinil hasil fikiran sendiri, terdapat akademisi yang memanfaatkan ghost writer bahkan melakukan plagiasi karya ilmiah. Karya ilmiah orang lain diakui sebagai hasil pikiran sendiri tanpa menyebutkan atau melibatkan penulis asli atau penutur awal dari sebuah karya.
Lebih jauh dalam tulisannya Prof Mahfud menyebutkan bahwa ketika seorang akademisi melakukan hal tersebut, maka selayaknya harus dihukum dan dikucilkan dalam proses-proses akademis serta tak perlu diberi promosi apa pun bahkan jalur promosinya sebaiknya disumbat. Mengapa hal tersebut harus dilakukan? Karena orang-orang yang suka melanggar etika dan moral akademis seperti ini sangatlah berbahaya bagi kemajuan dunia pendidikan.
Kalau orang sudah berani melakukan hal seperti itu maka jika diberi kepercayaan dan tanggung jawab dia dapat berkhianat pada kepercayaan dan tanggung jawab yang dipikulnya. Seorang akademisi yang mengaku-ngaku karya orang lain atau mencuri karya orang lain sebagai karyanya dianggap tidak memiliki integritas keilmuan dan pasti tidak akan jujur kepada masyarakat. Kalau ada peluang korupsi orang yang seperti ini akan korupsi juga terhadap hak-hak masyarakat. Malahan kalau tak ada peluang dia akan mencari-cari dan membuat peluang untuk korupsi (Mahfud, 2007).
”Prostitusi” gelar akademik
Jenis ”prostitusi akademik” selanjutnya adalah ”prostitusi” gelar akademik. Beberapa waktu yang lalu marak kita lihat pemberian gelar profesor dan doktor honoris causa kepada beberapa tokoh publik dimana terkesan seolah pemberian gelar tersebut ”diobral” begitu saja kepada tokoh publik hanya karena terdapat kepentingan pragmatis dan dijadikan sebagai instrumen transaksional antara elite kampus dan elite penguasa. Hal ini akhirnya akan mengakibatkan matinya otonomi dan marwah sebuah universitas (Kompas.id, 19/10/2021).
Selain pemberian gelar profesor dan doktor honoris causa, ”prostitusi” gelar akademik sebenarnya diawali dengan ”prostitusi” karya ilmiah seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Dimana saat ini karya ilmiah yang didapatkan dengan cara melakukan ”prostitusi” karya ilmiah selanjutnya digunakan untuk meraih gelar tertinggi akademik ”profesor”.
Reni Suwarso, dosen Ilmu Politik FISIP UI, mengatakan bahwa ketika seseorang mendapatkan gelar kehormatan dalam bidang akademik, baik itu doktor honoris causa maupun profesor, sebenarnya memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar dari akademisi yang memperoleh gelar tersebut melalui jalur pendidikan (Kompas.id, 19/10/2021). Oleh karena itu, ketika orang-orang yang telah mendapatkan gelar kehormatan melakukan suatu pelanggaran etika dan moral, sudah selayaknya untuk dicabut gelar yang sudah diberikan kepada mereka.
Ketika seseorang mendapatkan gelar kehormatan dalam bidang akademik, baik itu doktor honoris causa maupun profesor, sebenarnya memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar dari akademisi yang memperoleh gelar tersebut melalui jalur pendidikan.
”Prostitusi”jabatan
Prostitusi selanjutnya di lingkungan akademisi adalah ”prostitusi” jabatan. Setelah menghasilkan ”karya ilmiah” dan mendapatkan ”gelar” biasanya akan melangkah ke jenjang selanjutnya, yaitu mendapatkan jabatan. Hal ini karena kebanyakan jabatan di dunia akademisi memerlukan syarat gelar tertentu. Akibatnya semakin panjang daftar keserakahan seorang akademisi yang diharapkan mampu mengangkat moral bangsa ternyata telah menghancurkan moral itu demi mengejar harta, benda, dan takhta. Bahkan dalam melakukan ”prostitusi” jabatan tidak jarang seorang akademisi melakukan penindasan terhadap rekan sejawat dengan cara ”menjegal” kegiatan sejawatnya yang dengan tulus dan ikhlas bekerja dan memperjuangkan kredibilitas dan moral sebagai seorang pendidik.
Zuly Qadir mengatakan bahwa para pencari gelar akademik baik doktor maupun profesor melalui jalan pintas tidak pernah peduli apakah yang mereka lakukan merupakan bentuk dari pencurian dan pembegalan atas nama kecendikiawanan. Saat ini para begal telah bergentayangan di dunia kampus dan birokrasi pemerintahan, demi mendapatkan rekognisi atau pengakuan sosial.
”Moral disengagement”
”Prostitusi” akademik seolah menjadi bola panas yang jika tidak segera dipadamkan akan merusak dan membakar kesakralan sebuah lembaga akademik yang diharapkan mencetak generasi bermoral. Alih-alih mencetak generasi bermoral, malah menjadikan dirinya tidak bermoral. Perbuatan amoral yang dilakukan oleh seorang akademisi yang masyarakat kenal sebagai kelompok terpelajar dan bermoral disebut dengan moral disengagement. Moral disengagement (Bandura, 2016) diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol perilaku yang ia lakukan sehingga men-drive seseorang untuk melakukan perbuatan yang melanggar moral.
Kenapa orang yang ”baik” melakukan pelanggaran moral atau ”moral disengagement”?. Hal ini karena orang tersebut telah berhasil melakukan proses pembentukan kognitifnya sehingga akhirnya menjustifikasi perilakunya sebagai sebuah perilaku yang tidak melanggar aturan sehingga lepas dari tanggung jawab kesalahan yang telah dibuat.
Dalam hal menjustifikasi perilakunya, seseorang melakukan tiga teknik justifikasi. Teknik pertama melakukan justifikasi moral, yaitu perbuatan yang salah dianggap seolah-olah tidak salah bahkan terkadang menjadi benar. Teknik kedua, dengan melakukan perbandingan yang bersifat menenangkan atau menguntungkan. Teknik ketiga melakukan redefining perbuatan dengan memberikan label baik terhadap perbuatan tercela yang telah dilakukan menjadi sebuah perbuatan yang tidak tercela bahkan yang dilakukan adalah perbuatan yang diperbolehkan.
Moral disengagement sangat erat hubungannya dengan kemampuan kognitif seseorang. Sebagai seorang terpelajar, tidaklah sulit bagi seorang akademisi untuk bermain-main dengan kemampuan kognitif mereka dalam mencari pembenaran atas semua kesalahan yang dilakukan. Namun, alangkah lebih bijak jika menggunakan kecerdasan kognitif untuk hal-hal yang tidak melanggar moral. Tidak perlu melakukan prostitusi akademik demi mendapatan harta, benda, dan takhta.
Semoga masih ada akademisi yang bertahan dengan idealisme awal sebagi seorang akademisi yang tidak hanya berpendidikan tetapi juga menjaga etika dan moral akademik sehingga mampu menjadi pendingin bola panas prostitusi akademik. Wallahu’alam.
Nelly Marhayati, Dosen Psikologi UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu; Alumni Program Doktor Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya; Asesor pada Program Sekolah Penggerak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi