Terdisorientasikah Publikasi Akademisi Kita?
Reorientasi publikasi akademisi belum diperlukan karena belum mengalami disorientasi. Yang diperlukan adalah mengawalnya agar dapat memberi kontribusi pada ilmu pengetahuan, peradaban, kemanusiaan, dan kesejahteraan.
Artikel Eunike Sri Tyas Suci yang dipublikasikan di harian ini dengan judul “Reorientasi Publikasi Akademisi Indonesia” (Kompas, 25/9/ 2021, mengkritisi terlalu fokusnya para akademisi di Indonesia untuk mempublikasikan artikel di jurnal ilmiah.
Berbagai aturan yang dibuat pemerintah disebut sebagai salah satu penyebabnya. Disebutkan pula, dengan mengutip sebuah artikel berjudul “Profs, no one is reading you” di kolom opini The Straits Times bahwa tulisan di jurnal ilmiah secara rata-rata hanya dibaca oleh sepuluh orang.
Di akhir artikel dikemukakan usulan agar Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) menghargai opini di media nonjurnal ilmiah setara atau bahkan lebih tinggi daripada karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal. Diistilahkannya hal itu sebagai reorientasi publikasi akademisi kita.
Artikel-artikel di jurnal ilmiah umumnya sangat spesifik untuk bidang-bidang bahkan sub-bidang tertentu.
Tidak valid
Ulasan ini diupayakan untuk melihat masalah tersebut dari kacamata dan konteks yang lebih luas.
Pertama, perlu untuk dipahami bahwa, jurnal ilmiah memang bukan didesain untuk dibaca oleh awam atau masyarakat luas. Artikel-artikel di jurnal ilmiah umumnya sangat spesifik untuk bidang-bidang bahkan sub-bidang tertentu.
Penuh dengan jargon dan detail perhitungan yang hanya dipahami oleh segelintir ilmuwan di bidangnya.
Bahkan umumnya jurnal yang sangat bereputasi adalah jurnal yang sangat sempit bidangnya. Jadi, jangankan masyarakat awam, seorang ilmuwan pun kalau berbeda disiplin akan sulit untuk dapat memahami isi artikel jurnal dari disiplin ilmu lain.
Oleh karena itu, sangat tidak valid membandingkan jumlah pembaca jurnal dengan jumlah pembaca artikel opini di media non-jurnal yang ditujukan untuk masyarakat awam. Membandingkan keduanya begitu saja sama saja dengan membandingkan skor sepakbola dengan skor tenis meja.
Kalau kita melihat sejarahnya, sebenarnya jurnal ilmiah, atau yang disebut dengan peer-reviewed publication bisa dikatakan sebagai hadiah terindah masyarakat ilmiah untuk peradaban. Karena dengan inilah ilmu pengetahuan dibangun, bata demi bata, lapis demi lapis, sampai kita menguasai bumi ini dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jurnal ilmiah pertama di dunia diterbitkan tiga setengah abad yang lalu, tepatnya tahun 1665 oleh Royal Society, sebuah asosiasi ilmu pengetahuan bereputasi di Britania raya.
Jurnal, dengan nama The Philosopical Transaction of the Royal Society tersebut secara eksplisit mempunyai tiga fungsi. Pertama, fungsi registrasi. Ini berguna agar para peneliti yang menemukan temuan-temuan penting bisa segera mendeklarasikan temuannya, terutama tanggal temuannya. Ini akan memudahkan jika terjadi perselisihan tentang siapa yang dahulu menemukan sebuah temuan ilmiah.
Kedua, adalah fungsi sertifikasi. Ini yang paling utama. Di fungsi inilah dilakukan peer-reviewing. Naskah yang melaporkan temuan penelitian termasuk proses penelitiannya diuji oleh kolega dari disiplin ilmu yang sebisa mungkin sama.
Ini memastikan agar temuan tersebut memang bukan temuan atau gagasan lama (tidak reinventing the wheel) serta memastikan agar metode penelitian yang dilakukan valid dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
Fungsi yang ketiga adalah tentunya fungsi kearsipan.
Kesemua proses ini sangat fundamental dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Karena di sinilah yang diistilahkan sebagai bahu raksasa dibangun.
Mengutip Isaac Newton, dalam suratnya kepada kolega ilmuwannya Robert Hooke pada tahun 1675: “If I have seen further, it is by standing on the shoulders of giants.” Ilmuwan mendapat manfaat dari hasil-hasil penelitian terdahulu yang sudah divalidasi melalui proses peer-review dalam jurnal ilmiah.
Berdiri di bahu raksasa dianggap sebagai motto penting ilmu pengetahuan, bahkan “didaulat” sebagai motto oleh Google Scholar, sebuah mesin pencari Google yang khusus didedikasikan untuk menelusuri artikel-artikel ilmiah.
Oleh karena itu, sangat-sangatlah wajar jika kinerja ilmuwan memang terutama diukur oleh publikasinya (baik kuantitas maupun kualitasnya) di jurnal-jurnal ilmiah.
Akan tetapi tentunya sangat mulia pula para ilmuwan mempublikasikan artikel-artikel ilmiah di jurnal-jurnal ilmiah bereputasi tinggi.
Sepanjang pengetahuan penulis, di negara maju manapun di dunia ini tidak ada artikel koran, atau opini (op-ed) disetarakan dengan artikel jurnal ilmiah dalam penilaian indikator kinerja kunci (key perfomance indicator/KPI) seorang dosen atau ilmuwan.
Ilmuwan, ilmuwan-kolumnis, dan kolumnis
Bolehkah ilmuwan menulis artikel opini di media masa? Tentu boleh dan bahkan dianjurkan. Tetapi itu bukan fungsi utamanya sebagai ilmuwan. Meneliti dan mempublikasikan artikel hasil penelitian itu di jurnal ilmiah adalah wajib hukumnya untuk peneliti/ilmuwan, dan menulis di media lain mungkin bisa disebut sebagai sunah.
Di sinilah nampaknya penulis artikel reorientasi publikasi ilmiah indonesia kurang membedakan mana yang wajib dan mana yang sunah.
Tentunya akan sangat bagus sekali jika seorang ilmuwan menulis opini atau artikel di koran. Orang banyak akan membaca, menjadi debat publik dan sangat mungkin dapat memengaruhi kebijakan publik kontemporer menjadi lebih baik. Ini sangat baik.
Akan tetapi tentunya sangat mulia pula para ilmuwan mempublikasikan artikel-artikel ilmiah di jurnal-jurnal ilmiah bereputasi tinggi. Dengan itu mereka berpartisipasi aktif dalam ilmu pengetahuan dan akhirnya peradaban. Mereka sedang memerankan diri sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam konteks inilah, kita sebaiknya membedakan setidaknya tiga kelompok: ilmuwan, ilmuwan-kolumnis, dan kolumnis (saja).
Baca juga : Reorientasi Publikasi Akademisi Indonesia
Sebagai ilmuwan (saja) tugas paripurnanya adalah melakukan penelitian dan mempublikasikan di jurnal ilmiah. Publikasi di jurnal ilmiah adalah bagian tidak terpisahkan dari proses penelitian mereka. Bagian dari quality control dari profesionalismenya. Kualitas dan kuantitas dari publikasi ilmiah menjadi ukuran KPI-nya. Cukup. Tuntas kewajibannya.
Perlu dicatat, tidak semua jenis temuan ilmiah akan menarik minat publik.
Sementara itu, ilmuwan-kolumnis, adalah ilmuwan yang selain memenuhi tugas profesionalnya memublikasikan artikel di jurnal ilmiah, juga merasa perlu untuk mendiseminasikan hasil riset-risetnya tersebut agar diketahui dibaca dan dipahami oleh khalayak yang lebih luas. Perlu dicatat, tidak semua jenis temuan ilmiah akan menarik minat publik.
Untuk ilmuwan-ilmuwan yang melakukan ini, misalnya sebagai bagian dari edukasi publik, mereka layak diapresiasi, bahkan diberikan insentif atau bonus yang menjadi bagian dari KPI-nya. Tentunya tidak ada yang melarang pula ilmuwan-kolumnis tersebut untuk menulis dan memublikasikan artikel opini yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan penelitiannya,
Baca juga : Jurnal Ilmiah Dibenahi
Yang terakhir adalah kolumnis (saja). Kalau ada ilmuwan yang tidak aktif atau sudah tidak aktif lagi menulis di jurnal ilmiah (misalnya karena sudah tidak/jarang melakukan penelitian) dan hanya beraktivitas menulis artikel di koran (op-ed) yang tak ada kaitannya dengan penelitian yang dipublikasikan di jurnal berarti mereka lebih berperan sebagai kolumnis.
Sekali lagi ini perlu dibedakan karena tulisan dalam jurnal ilmiah (bagian dari tanggung-jawab profesional standar sebagai ilmuwan) itu harus di-peer-review dan diuji secara ketat bahkan oleh lebih dari satu peer-reviewer yang berasal dari kalangan ilmuwan satu disiplin untuk sampai dinilai layak dipublikasikan.
Sementara itu, artikel opini di koran tentunya tidak mengalami proses peer-review seperti itu. Oleh karena itu, ilmuwan yang demikian sedianya sedang lebih memainkan perannya sebagai kolumnis, bukan peran profesinya sebagai ilmuwan dalam artian standar ilmu pengetahuan secara formal.
Nampaknya, memang reorientasi dari publikasi akademisi Indonesia belum diperlukan karena belum mengalami disorientasi. Yang diperlukan adalah mengawalnya agar segera dapat memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan, peradaban, kemanusiaan dan kesejahteraan.
Arief Anshory Yusuf Ketua Forum Dewan Guru Besar Indonesia (FDGBI)