Kedaulatan Negara di Tengah Transnasionalisme Gelombang Ketiga
Munculnya gelombang transnasionalisme telah memporak-porandakan kedaulatan negara, khususnya di negara-negara yang rapuh secara ekonomi dan politik. Jalan yang paling rasional adalah membuat negara yang adaptif.
Oleh
ADE MARUP WIRASENJAYA
·4 menit baca
Kedaulatan (souvereignty) merupakan elemen distingtif yang dimiliki negara sebagai entitas politik internasional yang membedakannya dari entitas sosial-politik lainnya (Buzan, 1982: 40). Kedaulatan juga menjadi elemen yang dalam kurun waktu sangat panjang dijadikan basis legitimasi untuk operasi negara, baik ke dalam maupun ke luar teritori mereka.
Tulisan ini berangkat dari kenyataan bahwa cara yang selama ini dianggap baku untuk memaknai kedaulatan, ternyata tidak selalu bisa dipakai, khususnya dalam melihat fenomena dan tatanan dunia kontemporer. Praksis berkedaulatan memperlihatkan panorama ini: satu demi satu aktor non-negara dan kekuatan sosial transnasional muncul, mengamplifikasi sejumlah isu dan menjadikannya agenda global yang melintas batas-batas negara.
Di seberang lainnya, praktik berkedaulatan juga memperlihatkan betapa makin lemah dan gagapnya negara dalam menangani isu-isu yang oleh ilmuwan hubungan internasional di jalur non-positivis disebut sebagai isu non-tradisional. Akan halnya perang, yang selama ini dianggap menjadi urusan negara, juga semakin menunjukkan bahwa ia benar-benar merupakan hasil transaksi berbagai aktor yang ada.
Meskipun berlangsung proses fiksasi yang begitu rupa, gagasan kedaulatan dalam dunia kontemporer secara diam-diam telah mengalami rekonstruksi, oleh hadirnya kekuatan masyarakat yang oleh Robert Cox disebut gerakan sosial transnasional (transnasional social forces) dan oleh Linklater disebut komunitas politik pasca Wesphalian (Cox, 1981; Linklater, 1998). Hadirnya kekuatan-kekuatan baru yang mengisi eksemplar hubungan internasional serta mengajukan isu-isu kolektif yang melampaui keterlibatan negara untuk menanganinya, pada gilirannya menyajikan apa yang oleh Thomas Khun (1962) disebut “paradigm shift” atau pergeseran paradigma.
Gelombang ketiga
Bagi Raia Prokhovnik (2007), klaim-klaim kedaulatan sejak awal selalu terkait dengan politik kedaulatan (politics of souvereignty) yang dilakukan oleh kekuatan sosial-politik dominan. Karena klaim kedaulatan bersifat politis, maka secara konseptual ia tak pernah netral karena terkait dengan struktur historis yang melingkupinya. Sebagai sebuah produksi gagasan, kedaulatan selalu terkait dengan struktur produksi pengetahuan yang berlangsung pada saat ia dibentuk.
Strukturisasi gagasan atau ide sangat terkait dengan order atau tatanan dominan. Bagi Prokhnovik (2007), mengkonstruksi kedaulatan dengan logika Westphalian dalam konteks politik global hari ini merupakan sesuatu yang ahistoris. Kedaulatan pada era Westphalian sangat dipengaruhi oleh cara produksi dari struktur historis pada saat itu, khususnya dari negara yang secara eksesif ingin menguasai berbagai sumber daya.
Gelombang transnasionalisme pertama telah melahirkan kolonialisme, dimana negara-negara dari bedua Eropa menjadi berbagai sumber daya alam untuk memperkuat basis produksi mereka.
Gelombang transnasionalisme pertama telah melahirkan kolonialisme, dimana negara-negara dari bedua Eropa menjadi berbagai sumber daya alam untuk memperkuat basis produksi mereka. Gelombang kedua transnasionalisme berlangsung ketika kekuatan-kekuatan korporasi global mencari tanah-tanah baru untuk investasi dan juga eksploitasi.
Kini, gelombang ketiga transnasionalisme muncul melalui menyatunya gerakan sosial di berbagai belahan dunia. Sebagian datang dengan kritik atas dua gelombang sebelumnya, sebagian lainnya hanya memapankan cara produksi global yang pernah berlangsung. Corak yang pertama muncul dalam berbagai gerakan anti-globalisasi. Corak yang kedua datang dengan agenda-agenda lanjut dari globalisasi. Yang pasti, munculnya gelombang transnasionalisme telah memporak-porandakan kedaulatan negara, khususnya di negara-negara yang rapuh secara ekonomi dan politik.
Negara, barangkali masih punya cukup artikulasi dan legalitas sangat kuat dalam membangun konsensus global. Namun kini telah hadir gerakan-gerakan yang muncul dari struktur historis baru yang mengajukan agenda-agenda kemanusiaan dan keplanetan (biosperic).
Kedaulatan negara bukan satu-satunya yang terlibat dalam aransemen masalah-masalah dunia kontemporer. Kedaulatan juga bukan lagi menjadi privelege yang dimiliki negara-bangsa. Kedaulatan telah mengalami pergeseran, perluasan dan pendalaman baik dari sisi konseptual maupun dari sisi praksis. Kedaulatan mengalami rekonfigurasi di tengah munculnya kekuatan sosial transnasional yang berbasis pada isu dan nilai tertentu (value groups) atau koalisi advokasi transnasional (Keck and Sikkink, 1998; Cerny, 2010).
Dua agenda pendalaman
Apakah terhadap desakan dari gelombang transnasionalisme tersebut negara harus tunduk atau memperkuat dirinya dengan misalnya membangun semangat “anti-asing”? Atau melakukan penyerahan dan menjadikan negara sebagai instrumen berbagi konsesi? Tidak mudah menjawabnya. Perlu dicatat, struktur yang menghubungkan manusia saat ini adalah struktur-struktur produk revolusi teknologi yang kemudian mempengaruhi mekanisme dan prosedur politik di hampir semus level. Jalan yang paling rasional adalah membuat negara yang adaptif dan menyiapkan dirinya dengan infrastruktur ekonomi-politik yang kompetitif.
Di luar itu, hadirnya pemimpin dan elite yang kongruen dengan cara produksi demokrasi hari ini adalah keniscayaan. Tidak mungkin negara ini diisi oleh pemimpin dan elite yang basis produksinya mengandalkan model-model lama: lewat jaringan keluarga, lewat politik uang, atau lewat lelang jabatan sekalipun. Pendalaman (deepening of democracy) dan pendalaman industri (deepening of industry) adalah dua hal staregis yang harus disiapkan. Keduanya penting supaya mekanisme dan kebijakan politik dan ekonomi tidak diproduksi secara oligarkhis dan hanya menjadi “arena bermain” kelompok-kelompok pemilik kuasa dan modal.
Ade Marup Wirasenjaya, Dosen HI UMY, Sedang Menyelesaikan Riset Doktoral tentang “Transaksi Kedaulatan Transnasional” di Program Ilmu Politik UGM