Jakob Oetama, ”Berdialoglah dengan Sejarah”
Persoalan membangun masyarakat madani sebagai kelanjutan pembangunan bangsa dan karakter bangsa amatlah mendesak.
Artikel opini tulisan almarhum Jakob Oetama berikut ini pernah terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2001, yang juga edisi khusus memperingati 100 Tahun Bung Karno. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id karena pesan tulisan masih relevan untuk situasi dan kondisi Tanah Air saat ini. Penting, berdialog dengan sejarah.
Setiap tanggal 17 Agustus, peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Bung Karno pidato. Pidatonya yang terakhir tanggal 17 Agustus 1966. Pidato itu ia beri judul ”Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah!”
Ia mengutip Presiden Abraham Lincoln: One cannot escape history, orang tidak dapat menghindarkan dari sejarah. Bung Karno tegaskan, bukan saja tidak mungkin orang menghindari dari sejarah, melainkan jangan sekali-sekali kita meninggalkan sejarah.
Sungguh suatu ironi, justru setelah pidato itu, tidak saja Bung Karno yang ditinggalkan, tetapi dengan meninggalkan salah seorang pembuat sejarah Indonesia itu, bangsa Indonesia meninggalkan sejarahnya sendiri.
Sejarah Indonesia seakan-akan dipersingkat serta disederhanakan. Proklamasi diperingati, tetapi dilepas dari akar sejarahnya. Pancasila disakralkan, tetapi lagi-lagi dicabut dari akar sejarahnya.
Padahal, menurut Bung Karno, suatu bangsa ibarat hidup dalam kekosongan jika tanpa sandaran sejarahnya. Suatu bangsa menjadi bangsa yang serba pragmatis manakala dicabut dari akar sejarahnya. Dan, memang itulah yang kemudian kita alami bersama.
Periode 1966 sampai 1998 bukannya tanpa prestasi, tetapi jika ada kelemahannya, kelemahan periode itu ialah terapungnya bangsa Indonesia seakan-akan mengambang tanpa sosok landasan, tanpa ideologi dan visi yang berakar pada sejarah. Segala sesuatu seakan-akan kosong, jika berisi, isinya adalah semata-mata faham dan praktik pragmatisme.
Bukannya tanpa prestasi, berlakunya ideologi dan visi pragmatis, tetapi amat mudah terseret pada dinamikanya kekuatan ekonomi pasar serta konsumerisme. Hanyut akan kemudahan hidup tanpa bercucurannya keringat keuletan serta cerdasnya otak dan cerahnya budi luhur.
Akhirnya orang surut ditelan gelombangnya konspirasi antara kekuasaan dan kemudahan-kemudahan ekonomi. Beberapa generasi harus menerima warisannya. Tidak hanya warisan utang, hutan gundul, dan kekayaan alam gersang, tetapi juga warisan kemiskinan cita-cita, motivasi, perspektif sejarah.
Bung Karno mengutip kata bijak pemikir Inggris, Thomas Carlyle: ”orang belajar sejarah agar bijak sebelumnya”. Sampailah jalannya pemikiran, apa yang harus dilakukan oleh generasi sekarang, tidak saja menghindari sejarah, tidak pula sekadar jangan meninggalkan sejarah, tetapi berdialog dengan sejarah. Ya, berdialog dengan sejarah.
Itulah di antaranya makna momentum yang dicetuskan oleh 100 tahun usia Bung Karno. Suatu momentum yang membangkitkan kesadaran dan kemauan kita untuk berdialog dengan sejarah. Belajar sejarah, mendalami dan menarik pengalaman dan pelajarannya. Menjadi lebih bijak sebagai bangsa karena tidak membebek begitu saja, melainkan belajar sejarah secara mendalam dan secara kritis.
Misalnya, orang tidak akan habis-habisnya mengikuti, mengapa Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dan para Bapak Pendiri Bangsa itu membuat pilihan hidup secara sadar dan secara sengaja, belajar keras mendalami ilmu, sekaligus berjuang untuk pergerakan nasional, pembangunan bangsa serta Indonesia Merdeka.
Mengapa dan bagaimana mereka itu cerdas dan ulet dalam belajar, tetapi sekaligus rela keluar masuk penjara, datang pergi ke pembuangan sejak usia muda.
Mengapa dan bagaimana mereka itu cerdas dan ulet dalam belajar, tetapi sekaligus rela keluar masuk penjara, datang pergi ke pembuangan sejak usia muda. Soekarno tampil di pengadilan kolonial Bandung dengan pledoi yang terkenal sebagai Indonesia Menggugat. Mohammad Hatta membela diri di pengadilan Belanda dengan pembelaan cemerlang yang dikenal sebagai Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka). Mereka umumnya menyelesaikan studinya. Terbuka pilihan bagi orang- orang muda bergelar itu bergabung pada pemerintah kolonial atau melanjutkan perjuangan dan menolak bergabung pada pemerintah kolonial yang menjanjikan kehidupan lebih nyaman.
Kepribadian dan karakter mereka sungguh menonjol dan merupakan pembawa obor bagi pergerakan dan perjuangan bangsanya.
Tidak ada sikap setengah-setengah, bahkan kata bersayap yang sering dikutip Bung Karno adalah ungkapan, ”Tuhan benci kepada orang yang setengah-setengah”. Totalitas kehidupannya diberikan kepada pergerakan dan perjuangan.
Ingat Bung Karno, ingat pembangunan bangsa, pembangunan karakter bangsa, pembangunan negara Indonesia Merdeka. Apa bangsa dan negara itu? Mempunyai wilayah, memiliki Tanah Air, memiliki penduduk, memiliki visi, sosok, landasan hidup bersama.
Pancasila yang kemudian menjadi sendi bangsa dan negara Indonesia harus dipahami dan dihayati dari pergulatan sejarah, menggali dari Bumi Pertiwi, sekaligus menggali secara kritis-reflektif dari faham dan visi bangsa-bangsa lain. Indonesia sebagai bangsa lahir dari guagarba-nya... nasionalisme dan internasionalisme. Mestinya, Indonesia harus tidak kagok dengan globalisasi, yang sedikit banyak merupakan kelanjutan dari faham internasionalisme seperti digambarkan Bung Karno.
Pencarian, penggalian, dan pergulatan bukan sebatas penjiplakan dan peniruan. Sosok bangsa dan negara Indonesia semacam itulah yang meskipun masuk kategori negara miskin, negara terbelakang teknologi dan ilmunya, masuk kategori negara berkembang, tetpi dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Sanggup menyampaikan pesan To Build the World Anew, yang gaungnya bersambut di banyak negara.
Tidak dapat dialpakan begitu saja, faham kemanusiaan universal yang menjadi landasan dan tujuan perjuangan dan pemikiran Bung Karno dan tokoh-tokoh seangkatannya. Benar-benar asli, diterapkan pada prioritas dan urgensi zamannya, yakni pembebasan rakyat dan bangsa-bangsa dari belenggu penjajahan dan sistem ekonomi yang menyertainya serta mengisap.
Tidak dapat dialpakan begitu saja, faham kemanusiaan universal yang menjadi landasan dan tujuan perjuangan dan pemikiran Bung Karno dan tokoh-tokoh seangkatannya.
Pengalaman sampai hari ini membuat kita semakin pandai dalam memahami, betapa prinsip-prinsip universal itu, sebutlah demokrasi, tidak sederhana begitu saja ketika akan dilaksanakan. Ternyata, kecuali ide-ide besar dan agung yang menggerakkan, ada pula realitas masyarakat. Realitas masyarakat itu harus diemansipasikan, harus dicerahkan, harus dikokohkan peradabannya sejalan dengan dilaksanakannya demokrasi.
Menyadap ide demokrasi relatif mudah. Membangun masyarakat yang membuat demokrasi terlaksana memerlukan pekerjaan dan upaya-upaya besar. Inilah yang perlu kita warisi apinya. Mereka para Founding Fathers mati-matian dengan penuh pengorbanan membangun bangsa dan negara, membebaskan dari belenggu kolonial. Generasi sekarang harus pula mati-matian membebaskan rakyat dari kemiskinan, keterbelakangan. Pendidikan dan pencerahan, itulah pekerjaan besar yang menanti.
Berkeadaban adalah istilah yang berkali-kali digunakan Bung Karno, di antaranya dalam pidato Lahirnya Pancasila. Beragam secara Beradab, Hidup Bersama sebagai Bangsa secara Beradab. Bukankah ada gaung sinonim di dalamnya dengan tugas besar yang kini disebut sebagai membangun masyarakat madani.
Sekarang pun, persoalannya sama, ada kebebasan, mana tanggung jawabnya, ada individualisme, mana komitmen sosialnya, ada demokrasi, mana kultur politiknya yang mendukung. Ada ekonomi pasar, mana komitmennya untuk berkeadilan sosial. Ada globalisasi, mana porsinya yang adil dan fisibel bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia.
Orang ramai membicarakan pemikiran Anthony Giddens perihal Jalan Ketiga. Orang terus-menerus menggugat dan mencari, jalan dan arah pembangunan politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan yang semakin memenuhi tuntutan kebebasan dan tanggung jawab sosial, kemakmuran dan keadilan, komunitas global dengan komunitas nasional serta komunitas lokal.
Dalam konteks itu sedang berlangsung arus balik mencari keseimbangan baru di beberapa negara, termasuk Indonesia. Dari sentralisme ke otonomi, dari pertumbuhan ekonomi ke keadilan sosial serta kesejahteraan seluruh rakyat, dari pembangunan masyarakat bangsa dan negara dengan segala fondasi serta perangkat dan atribut-atributnya ke otonomi. Otonomi politik, sosial, ekonomi dan kultural.
Pencarian Jalan Ketiga bukankah juga telah merupakan pergulatan historis para Founding Fathers kita, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka,. Bung Karno jelas-jelas mencoba mencari Jalan Ketiga itu. Demikian pula Mohammad Hatta.
Memang, tidaklah sederhana menemukan Jalan Ketiga, merumuskan serta mewujudkannya sebagai kebijakan dan program. Kecuali tidak mudah, prosesnya memerlukan waktu serta memerlukan perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara.
Banyak faktor menghambat. Di antaranya, proses pembangunan bangsa dan negara yang belum selesai serta masih terganggu oleh pendewasaan serta pemberian sosok, misalnya kepada nation dan character building itu sendiri.
Ide persatuan dan kesatuan bangsa dan negara melahirkan kemauan. Kemauan mendorong tindakan. Namun, ketiga rangkaian ide, kemauan, dan tindakan itu memerlukan proses waktu. Setiap kali ditantang oleh tuntutan perkembangan dan perubahan zaman.
Bahkan, akhirnya kita berada dalam kondisi serba krisis yang mendalam dewasa ini. Kondisi serba krisis dewasa ini membangkitkan banyak gugatan dan pertanyaan. Di antaranya, memadaikah, kondisi serba krisis dewasa ini sekadar dihadapi dengan pemikiran dan agenda tambal-sulam. Ataukah, kondisi serba terpuruk dewasa ini harus membangkitkan momentum, yakni momentum yang merangsang kita sebagai bangsa bersama-sama berdiri di depan kaca besar. Bersama-sama kita menggugat muka, sosok, dan hati kita. Bersama-sama merefleksikan secara mendalam, komprehensif serta secara kritis, penyegaran visi, sosok serta jati diri kita sebagai sesama warga dan bangsa Indonesia.
Namun, jangan pula disia-siakan hadirnya kesempatan dan momentum untuk mendalami secara kritis pemikiran-pemikiran besar Bung Karno, Bung Hatta, dan lain-lain.
Inilah yang menyebabkan orang berpendapat, seratus tahun Bung Karno bukan sekadar suatu koinsidensi, tetapi tindakan sebaiknya kita tangkap dan kita tanggapi sebagai suatu momentum yang bertanya diri, membangun kembali jati diri dan kebersamaan. Menyegarkan lagi pemikiran-pemikiran para Founding Fathers, tentu saja untuk dicermati secara kritis, disegarkan serta didialogkan dengan perkembangan zaman.
Dua jalur kita tempuh. Jalur keluar dari krisis dan kemacetan politik sekarang ini kita prioritaskan. Namun, jangan pula disia-siakan hadirnya kesempatan dan momentum untuk mendalami secara kritis pemikiran-pemikiran besar Bung Karno, Bung Hatta, dan lain-lain. Jangan sekadar tambal-sulam, tetapi mendalami, menggugat, menyegarkan lewat dialog dengan para Founding Fathers, lewat dialog dengan sejarah.
Banyak catatan kaki, harus kita lakukan dari pengalaman sejarah kita, juga pengalaman dengan pergulatan Bung Karno. Salah satu catatan yang penting dan menentukan, bagaimana sebenarnya kita memahami faham kekuasaan dan praktik kekuasaan. Bung Karno pun terperosok dalam dilema kekuasaan.
Memang, akhirnya, apalagi dalam politik, kekuasaan sentral, posisi, peranan dan pengaruhnya. Sepintas ditemukan tiga faktor yang berpengaruh besar. Pertama, proses menjadi Indonesia yang terus- menerus disertai gejolak, pergulatan, pencarian. Kedua, faham, kultur dan struktur feodal yang berlaku kuat, terutama menyangkut kekuasaan. Ketiga, proses nation dan character building harus dilengkapi dengan visi, prinsip, serta terutama nilai-nilai berikut perangkat jaringannya bagi hadirnya masyarakat madani, civil society.
Persoalan membangun masyarakat madani sebagai kelanjutan pembangunan bangsa dan karakter bangsa amatlah mendesak. Krisis dewasa ini, terutama dalam bentuk konflik dan sikap prasangka, menunjukkan terjadi erosi interaksi yang positif di antara sesama warga dan masyarakat, menipisnya mutualitas dan solidaritas serta buyarnya kepercayaan sosial. Tanpa ketiga pilar itu, sudah ada masyarakat madani.
Terhadap character building alias pembangunan watak bangsa, tampak tantangan yang tidak dapat ditunda-tunda jawabannya. Yakni bagaimana membangun watak dan sosok bangsa yang mempunyai budaya bekerja keras secara cerdas, hemat, pandai memelihara, proaktif mengembangkan kemampuan wirausaha, serta pantang menerima nasib begitu saja.
Untuk berdialog dengan sejarah itulah, harian Kompas, memperingati Seratus Tahun Bung Karno, menerbitkan edisi khusus. Beragam tulisan, pemikiran, dan analisis disajikan sebagai bahan berdialog dengan sejarah.
Jakob Oetama, Pendiri Harian Kompas