Perdebatan membangun ibu kota negara lebih produktif apabila diskursus menyelami isu-isu esensial, antara lain dengan pendalaman esoterik.
Oleh
J Kristiadi
·3 menit baca
Lanskap politik tahun 2022 kelihatan semburat, tetapi juga temaram karena publik bertungkus lumus oleh ingar-bingar panggung politik yang disesaki adu siasat, pencitraan, serta akal-akalan untuk memikat rakyat dalam Pemilu 2024.Panorama semakin meredup dipicu perdebatan emosional dan berbau suku, agama, ras, dan antargolongan tentang pembangunan ibu kota negara Nusantara.
Perdebatan membangun ibu kota negara (IKN) lebih produktif apabila diskursus menyelami isu-isu esensial, antara lain dengan pendalaman esoterik. Cara pandang ini diharapkan dapat membantu memahami isu tidak hanya mengandalkan akal sehat, tetapi juga budaya, rasa, dan karsa sehingga dapat menembus fenomena lebih dalam. Pendekatan ini merupakan konsekuensi masyarakat Indonesia yang multikultural.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Wawasan tersebut bernuansa mistis karena melampaui jangkauan akal manusia biasa yang berhasrat mengalami dan merasakan emosi Tuhan. Cara pandang ini bukan klenik (perdukunan), seperti pengobatan dengan cara sangat rahasia dan tidak masuk akal, tetapi dipercaya. Maka, pemahaman ini sering kali memerlukan alat bantu rohani agar peka mendengarkan detak hasrat dan roh mereka yang melontarkan gagasan mulia demi kepentingan bangsa dan negara.
Uji hasrat sangat diperlukan agar pemikiran tersebut tidak berhenti sekadar retorika politik, tetapi benar-benar dapat diwujudkan demi kesejahteraan rakyat. Vista ini mencoba memahami dan menjawab pertanyaan mengapa pemerintahan Presiden Joko Widodo mendesakkan agenda membangun IKN meskipun cukup banyak kalangan menganggap masih banyak agenda yang lebih mendesak.
Perdebatan membangun ibu kota negara (IKN) lebih produktif apabila diskursus menyelami isu-isu esensial, antara lain dengan pendalaman esoterik. Cara pandang ini diharapkan dapat membantu memahami isu tidak hanya mengandalkan akal sehat, tetapi juga budaya, rasa, dan karsa sehingga dapat menembus fenomena lebih dalam.
Sudut pandang ini mempunyai sejarah panjang yang berakar pada konsep kekuasaan budaya Jawa yang feodalistik; kekuasaan diperoleh melalui olah batin, mati raga, dan sejenisnya. Simbol dan atribut kekuasaan adalah kekayaan dan gelar kebangsawanan. Praktik demokrasi Indonesia mulai awal abad ke-20 sampai setelah reformasi masih mewarisi budaya tersebut, bahkan tidak sedikit yang tetap percaya perdukunan.
Malahan parpol sebagai pilar demokrasi kecanduan budaya paternalistik. Daulat rakyat belum mampu memutus mata rantai kultur kekuasaan Mataram abad ke-16 sampai abad ke-19. Manifestasi kehadiran warisan adiluhung itu antara lain terbitnya UU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta; sintesis aristokrasi dan demokrasi.
Demokrasi belum mencerminkan kedaulatan rakyat karena merajalelanya politik uang (kekayaan). Sebagai simbol kebangsawanan, para elite politik rajin menguber dan mengumpulkan titel akademik dan gelar jabatan akademi (doktor dan profesor) sebagai atribut aristokrasi modern. Terkadang deretan gelarnya melebihi panjang namanya. Julukan akademik dan kekayaan adalah metafor dari manajemen kekuasaan demokrasi dewasa ini.
Kontroversi pembangunan IKN tecermin dalam jajak pendapat Kompas. Meskipun dukungan parlemen cukup kuat, opini publik mendua. Jajak pendapat menyebutkan, 50 persen responden yakin proyek IKN berhasil dilaksanakan 2024. Namun, 45,5 persen responden mengaku tak yakin; dan hampir 60 persen responden tak mengetahui bahwa RUU IKN telah disahkan DPR (Kompas, 31/1/2022). Hal ini juga menunjukkan indikasi demokrasi Indonesia berjalan mundur.
Mungkin para pendukung pembangunan IKN memandang ”kesaktian” pemerintahan Joko Widodo karena memiliki rekam jejak mampu mengeksekusi kebijakan yang pada masa lalu adalah kemustahilan karena dipandang muskil dilakukan. Bagi mereka yang menolak, alasannya juga cukup banyak dan masuk akal. Misalnya, isu tentang sumber keuangan, masalah sosial, lingkungan hidup, dan jauh dari ibu kota sebelumnya.
Salah satu alat ukur derajat hasrat pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah rekam jejak mengeksekusi kebijakan spektakuler yang dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Bagi para pendukung IKN, pemerintahan Joko Widodo dianggap mampu mewujudkan kebijakan mengagumkan. Misalnya, Indonesia berhasil menguasai 51 persen saham Freeport setelah lebih dari setengah abad dikuasai asing. Demikian pula blok raksasa Rokan dan Blok Mahakam kini dikelola PT Pertamina (Persero).
Di bidang pembangunan infrastruktur, ribuan jalan tol dibangun. Trans-Papua 3.642 kilometer tersisa sekitar 180 kilometer. Trans-Jawa sepanjang 1.056,38 sudah dapat dilalui. Sementara itu, di daerah-daerah lain, Sumatera, Kalimantan, dan wilayah lain, juga sedang dilakukan pembangunan infrastruktur sejenis.
Mungkin para pendukung pembangunan IKN memandang ”kesaktian” pemerintahan Joko Widodo karena memiliki rekam jejak mampu mengeksekusi kebijakan yang pada masa lalu adalah kemustahilan karena dipandang muskil dilakukan. Bagi mereka yang menolak, alasannya juga cukup banyak dan masuk akal. Misalnya, isu tentang sumber keuangan, masalah sosial, lingkungan hidup, dan jauh dari ibu kota sebelumnya. Maka, para pendukung pembangunan IKN wajib berdoa sekhusyuk-khusyuknya agar pembangunan sukses. Mereka yang tidak setuju silakan mengkritik sekeras-kerasnya agar niat mulia itu dapat berhasil dan berguna untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk proyek mercusuar dan ambisi pribadi.