Target produksi minyak 1 juta barel per hari pada 2030 ibarat misi mustahil. Pasalnya, realisasi produksi dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun dan tak pernah lagi mencapai 700.000 barel per hari.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Pekan lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Komisi VII DPR sepakat mematok target produksi siap jual (lifting) minyak pada 2024 sebanyak 615.000-640.000 barel per hari. Dari sisi realisasi lifting, hingga 9 Juni 2023 sebanyak 608.773 barel per hari atau di bawah target APBN 2023 yang sebanyak 660.000 barel per hari. Realisasi tersebut menunjukkan tren menurun dalam beberapa tahun terakhir.
Padahal, pada 2020 pemerintah telah mematok target produksi minyak sebanyak 1 juta barel per hari pada 2030. Artinya, waktu yang tersisa untuk mewujudkan target tersebut sekitar enam tahun saja. Sementara realisasi produksi dari tahun ke tahun semakin menjauhi target 1 juta barel per hari.
Sumur-sumur minyak yang ada saat ini di Indonesia rata-rata berusia tua atau puluhan tahun dan telah melewati masa puncak produksi. Sumur-sumur itu memang masih menghasilkan, tetapi volumenya kian berkurang. Di samping itu, tak ada lagi penemuan cadangan baru minyak di Indonesia yang setidaknya mengandung potensi 500 juta barel setara minyak atau yang disebut sebagai penemuan besar.
Minyak bumi adalah sumber energi utama yang digunakan di seluruh dunia. Sebagian besar transportasi dan industri bergantung pada minyak bumi sebagai bahan bakar.
Apabila kondisi tersebut tidak berubah, ketergantungan Indonesia pada impor minyak mentah dan impor bahan bakar minyak (BBM) akan tetap tinggi. Dengan kemampuan produksi sekitar 600.000 barel per hari, impor minyak mentah dan BBM Indonesia masih besar lantaran konsumsi BBM nasional rata-rata 1,5 juta barel per hari. Ketergantungan pada impor minyak sangat tak menguntungkan bagi sebuah negara.
Kendati kampanye transisi energi semakin kencang belakangan ini, posisi minyak bumi sebagai energi fosil masih strategis. Minyak bumi adalah sumber energi utama yang digunakan di seluruh dunia. Sebagian besar transportasi dan industri bergantung pada minyak bumi sebagai bahan bakar.
Sektor minyak bumi juga memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi di banyak negara. Ekspor minyak bumi dapat memberikan pendapatan besar bagi negara-negara produsen minyak.
Dari sisi geopolitik, ketersediaan dan akses terhadap minyak bumi dapat berdampak besar dalam hubungan internasional. Negara-negara yang memiliki cadangan minyak bumi yang melimpah sering kali memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang signifikan.
Masalah klasik
Lantas, dengan begitu vitalnya peran minyak bumi, bagaimana upaya Indonesia untuk mandiri memenuhi kebutuhan energinya dari minyak bumi?
Pemerintah kerap berujar bahwa sumber daya minyak di Indonesia disebut-sebut masih besar dan banyak. Hal itu berdasarkan fakta masih ada sekitar 70 cekungan di Indonesia yang belum dieksplorasi. Namun, belum ada yang memastikan bahwa puluhan cekungan itu sudah pasti mengandung minyak dalam jumlah besar. Perlu penelitian lebih jauh untuk membuktikan bahwa ada cadangan terbukti di cekungan-cekungan itu.
Apalagi, lapangan yang sudah terbukti memiliki cadangan saja tak kunjung berproduksi. Contohnya adalah Blok Masela di Maluku yang menyimpan gas lebih dari 10 triliun kaki kubik. Ditemukan sejak tahun 2000, hingga kini kandungan gas Blok Masela masih tersimpan di perut bumi tanpa kejelasan kapan bisa diproduksi.
Birokrasi rumit dan masalah perizinan di Indonesia turut berkontribusi pada lambannya urusan eksekusi lapangan-lapangan migas yang ada. Masalah regulasi pun demikian. Sampai kini tak ada kejelasan nasib revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Soal skema bagi hasil, nasibnya serupa. Kerap berubah-ubah. Dulu dikenal dengan istilah biaya produksi yang dipulihkan (cost recovery) yang diubah dengan bagi hasil berdasarkan produksi bruto (gross split), kini diubah lagi dengan istilah new simplified gross split.
Birokrasi rumit dan masalah perizinan di Indonesia turut berkontribusi pada lambannya urusan eksekusi lapangan-lapangan migas yang ada. Masalah regulasi pun demikian.
Persoalan lain adalah infrastruktur, seperti jaringan pipa, terminal, dan fasilitas pengolahan, yang masih terbatas di beberapa wilayah di Indonesia. Hal ini membatasi kemampuan untuk mengangkut dan mengolah minyak dan gas bumi secara efisien.
Terakhir, masalah niat. Setelah segala pokok masalah berikut pemetaannya sudah diketahui, tinggal butuh eksekusi pelaksanaan dan penyelesaian. Hal itu bergantung pada niat dan kualitas kepemimpinan. Kecuali memang selamanya ingin menjadi negara pengimpor minyak.