Aturan Celup Tinta Diterapkan untuk Awasi Pendistribusian Minyak Goreng di Palembang
Pemerintah menerapkan aturan yang lebih ketat dalam pelaksanaan operasi pasar minyak goreng di Palembang. Warga yang sudah membeli minyak diharuskan menyertakan kartu identitas dan membubuhkan tinta pada jarinya.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemerintah menerapkan aturan yang lebih ketat dalam pelaksanaan operasi pasar minyak goreng di Palembang. Setiap warga yang sudah membeli minyak diharuskan menyertakan kartu identitas dan membubuhkan tinta pada jarinya. Kebijakan ini dikeluarkan untuk mencegah terjadinya penyelewengan dalam pendistribusian minyak goreng, terutama risiko penimbunan di tingkat rumah tangga.
Skema ini mulai dilakukan pada operasi pasar di kantor Kelurahan Srijaya, Kecamatan Alang-Alang Lebar, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (9/3/2022). Ratusan warga tampak antre di halaman kantor kelurahan untuk membeli paket sembako.
Syamsiah, warga Kelurahan Srijaya, ikut mengantre. Sebelum membeli, dia menyerahkan fotokopi KTP kepada petugas kelurahan. Sekitar 20 menit menunggu, namanya pun dipanggil.
Di sana dia membeli satu karung beras seberat 5 kilogram dan dua liter minyak goreng seharga Rp 72.000 per paket. Setelah menerima barang, dia mencelupkan jari kelingkingnya di sebuah gelas plastik yang berisi tinta biru.
Setelah selesai mendapatkan paket sembako, ia pun bergegas pulang. Syamsiah bersyukur mendapatkan paket beras dan minyak goreng. ”Sekarang minyak masih langka. Kalaupun ada, harganya bisa sampai Rp 18.000 per liter,” katanya.
Karena sulitnya mendapatkan minyak, dia tidak keberatan untuk memfotokopi KTP-nya. ”Yang terpenting saya sudah dapat minyak. Setidaknya cukup untuk satu minggu ke depan,” kata Syamsiah.
Wakil Wali Kota Palembang Fitrianti Agustinda mengatakan, skema celup jari pada tinta dalam pelaksanaan operasi pasar dilakukan sebagai bentuk pengawasan distribusi minyak goreng di lapangan.
”Jangan sampai orang yang sudah beli minyak pada operasi pasar sebelumnya bisa membeli lagi pada operasi pasar selanjutnya. Cara itu sudah tergolong penimbunan,” kata Fitrianti.
Dia menyadari praktik membeli minyak goreng secara berulang-ulang pada setiap operasi pasar pasti terjadi. Namun, dia meyakini tidak banyak orang yang melakukan hal itu. ”Kalaupun ada persentasenya hanya 10 persen,” ujarnya. Karena itu, prosedur celup tinta harus ditempuh untuk mengurangi risiko penyelewengan dalam distribusi minyak goreng.
Jangan sampai orang yang sudah beli minyak pada operasi pasar sebelumnya, bisa membeli lagi pada operasi pasar selanjutnya. Cara itu sudah tergolong penimbunan. (Fitrianti Agustinda).
Sebenarnya, ungkap Fitrianti, pasokan minyak goreng di Palembang sudah mencukupi. Data yang diperoleh, jelas Fitrianti, kebutuhan minyak goreng warga Palembang pada September 2021 hanya sekitar 600.000 liter per bulan. Namun, per bulan Februari lalu, jumlahnya 1 juta liter. ”Kami terus melakukan evaluasi mengapa fenomena itu bisa terjadi,” ujarnya.
Namun, hal yang paling mungkin adalah adanya fenomena beli panik di masyarakat sehingga berapa pun pasokan minyak dikucurkan, persediaannya langsung habis. Padahal, kebiasaan tersebut, ujar Agustinda, dapat memicu terjadinya kelangkaan minyak di pasar.
Ke depan, pihaknya akan terus melakukan operasi pasar dan inspeksi mendadak di setiap penyedia minyak goreng untuk memastikan pasokan yang diproduksi benar-benar disalurkan kepada masyarakat dan tidak ditimbun.
”Kami akan memastikan produsen dan distributor minyak goreng mengalokasikan setidaknya 60-70 persen dari total produksi minyak goreng di Palembang,” ujarnya.
Dirut PD Pasar Palembang Jaya Abdul Rizal menyatakan, selama ini distribusi masih menjadi masalah. Terkadang, agen di pasar tidak menerima barang dari produsen. Kalaupun ada jumlahnya terbatas.
”Untuk sekarang, yang lebih mudah ditemui adalah minyak curah. Namun tidak semua pelanggan yang mau membelinya,” kata Abdul.
Namun, pihaknya berkomitmen untuk terus memantau aktivitas pedagang agar tidak menyimpan minyak goreng. Jika ditemukan adanya penyelewengan, akan segera dilaporkan ke pihak berwenang. Di sisi lain, operasi pasar ini diharapkan, pelanggan yang tidak bisa mendapatkan minyak di pasar dapat terpenuhi kebutuhannya sampai pasokan minyak kembali normal.
Berkoordinasi
Ketua Harian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumsel Affandi Udji sedang mengalkulasi kekurangan pasokan minyak di pasaran dan akan berkoordinasi dengan seluruh pengusaha minyak sawit mentah (CPO) di Sumsel.
Sejumlah pengusaha mengaku bahwa kewajiban alokasi 20 persen dari seluruh hasil produksi, sebenarnya sudah didistribusikan ke pasar lokal.
Sekarang tinggal mencari simpul kemungkinan ada penyelewengan. Jika ada penumpukan atau penimbunan oleh para cukong, pihaknya akan berkoordinasi dengan aparat yang berwajib. ”Jika memang ada oknum yang bermain tentu harus ditindak,” ujarnya.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel Alex Sugiarto mengatakan, sebenarnya kebutuhan bahan baku minyak sawit untuk industri dalam negeri sudah tercukupi. Konsumsi dalam negeri untuk pangan, biodiesel, dan oleokimia sekitar 36 persen dari total produksi nasional.
Namun, selama ini industri minyak goreng tidak terintegrasi dengan perkebunan atau pabrik kelapa sawit sehingga kenaikan harga CPO akan turut memengaruhi biaya produksi industri minyak goreng.
Kepanikan memicu permintaan minyak goreng meningkat (Alex Sugiarto)
Harga CPO di pasar dalam negeri meningkat seiring dengan kenaikan harga di pasar global dan minyak sawit bersaing dengan minyak nabati lainnya di pasar global. Namun, Alex menegaskan, industri minyak sawit menjamin ketersediaan CPO dalam negeri sebagai bahan baku minyak goreng.
Terkait kelangkaan minyak goreng di pasaran dan minimnya ketersediaan kemungkinan diakibatkan perubahan kebijakan yang cepat sehingga membuat pelaku industri dari hulu ke hilir butuh waktu untuk meresponsnya.
Khususnya produsen minyak goreng kebingungan setelah pemerintah berkali-kali mengubah kebijakan. Padahal, setiap ada perubahan, pelaku industri perlu waktu untuk menyesuaikan dengan sistem dan prosedurnya, termasuk alur distribusi perlu dikoordinasikan dengan distributor.
Di sisi lain, Alex berharap masyarakat tenang. Karena faktor penyebab lain kelangkaan minyak goreng adalah jika ada oknum penimbun dan masyarakat yang akhirnya panik, dengan melakukan pembelian yang berlebihan dari kebutuhan normalnya.
Secara nasional, kata Alex kebutuhan minyak sawit untuk konsumsi pangan sekitar 8,9 juta ton per tahun. Dari jumlah ini, kebutuhan untuk konsumsi minyak goreng dalam negeri di kisaran 3 juta ton per tahun.
Berdasarkan hasil survei BPS, konsumsi minyak goreng sawit di tingkat rumah tangga di Indonesia tahun 2021 adalah 11,58 liter per kapita per tahun. ”Kepanikan memicu permintaan minyak goreng meningkat,” ujarnya.