Distribusi Minyak Goreng di Sumsel Perlu Pengawasan dari Hulu ke Hilir
Kelangkaan minyak di Sumsel ditengarai terjadi lantaran kekacauan distribusi. Pengawasan dari hulu hingga hilir diperlukan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemerintah perlu melakukan pengawasan distribusi minyak goreng dari hulu ke hilir agar masyarakat kecil bisa mendapatkan minyak goreng dengan harga wajar. Di sektor hulu, daerah perlu dilibatkan mengawasi pelaksanaan domestic market obligation (DMO), sedangkan di hilir, distribusi perlu diawasi agar tepat sasaran dan menghindari warga membeli secara panik.
Demikian benang merah wawancara Kompas dengan berbagai pihak di Sumsel, Senin (7/3/2021).
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumsel Sumarjono Saragih berpendapat, kelangkaan minyak goreng di Sumsel terjadi karena carut-marut distribusi di tingkat tapak atau pascaproduksi. Jika dilihat dari sisi pengusaha, sebenarnya mereka tidak akan berani bermain-main dalam hal produksi minyak goreng karena untuk saat ini minyak goreng menjadi isu yang sensitif.
Pengawasan aktivitas produksi pasti akan lebih ketat agar tidak melenceng dari kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui skema domestic market obligation (DMO). Kebijakan tersebut mewajibkan pengusaha untuk memberikan 20 persen dari total produk yang diekspor untuk konsumsi lokal. ”Mereka (para pengusaha) pasti tidak ingin mengambil risiko,” katanya.
Padahal, saat ini pengusaha juga dihadapkan dengan permasalahan yang cukup berat, yakni harga bahan baku yang melambung tinggi. Bahkan, dari sisi bisnis, kata Sumarjono, sudah tidak lagi menguntungkan.
”Jika harga minyak sawit mentah (CPO) sudah Rp 16.000 per liter, tetapi harus dijual seharga Rp 13.500 per liter, dari mana lagi pengusaha bisa mendapat untung selain dari ekspor. Bayangkan jika perusahaan itu hanya bermain pasar domestik, bukan tidak mungkin mereka akan berhenti berproduksi,” kata Sumarjono.
Simon Panjaitan, Head Unit Sumbagsel PT Sinar Alam Permai, mengakui, produksi minyak goreng di perusahannya belum optimal. Pada kondisi normal, perusahaan mampu memproduksi sekitar 15 juta liter minyak goreng per bulan untuk wilayah Sumatera bagian selatan yakni Lampung, Sumsel, Jambi, Bengkulu, dan Bangka Belitung.
Namun, masih mahalnya harga bahan mentah di pasar membuat produksi belum optimal.
Meskipun begitu, kata Simon, perusahaanya tetap berkomitmen membantu pemerintah menjalankan program minyak goreng sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET).
Belum ada juknis
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Provinsi Sumsel Rudi Arpian mengakui pengawasan di tingkat hulu belum optimal karena sampai sekarang pemerintah daerah belum mendapatkan petunjuk teknis terkait pengawasan pada penerapan skema DMO di daerah. "Kami belum bisa memastikan apakah pengusaha sudah menjalankan kewajibannya untuk menyediakan 20 persen dari total minyak yang diekspor," ucapnya.
Bagi pengusaha, ujar Rudi, pada kondisi saat ini mengekspor produk turunan kelapa sawit pasti akan lebih menguntungkan dibanding menjualnya di dalam negeri. Hal ini terjadi karena harga menyak sawit mentah (CPO) melonjak di pasar global karena beragam gejolak utamanya akibat serangan Rusia ke Ukraina.
Memang Sumsel menjadi salah satu daerah penghasil kelapa sawit di Indonesia dengan produksi CPO mencapai 3,3 juta ton per tahun dengan lahan garapan seluas 1,2 juta hektar. Namun aktivitas ekspor masih sulit dipantau.
Kami belum bisa memastikan apakah pengusaha sudah menjalankan kewajibannya untuk menyediakan 20 persen dari total minyak yang diekspor, (Rudi Arpian)
Apalagi, ujar Rudi, tidak semua CPO asal Sumsel diekspor melalui Sumsel, tetapi ke daerah lain, seperti Lampung, Riau, dan Sumatera Utara.
Sekretaris Umum Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia Sumatera Selatan Irwansyah Musry membeberkan alasan minyak langka di pasar karena pedagang kesulitan mendapatkan barang. ”Pedagang pun harus mencari ke mana-mana untuk mendapatkan minyak. Tidak heran mereka menjual (minyak goreng) dengan harga yang lebih mahal,” katanya.
Karena itu, dia meminta pemerintah segera melakukan intervensi agar minyak yang dibutuhkan mudah didapat sehingga pedagang dapat menjual minyak sesuai HET.
”Kami mengapresiasi adanya operasi pasar. Namun, kemudahan mendapatkan minyak itu yang lebih kami butuhkan sekarang,” katanya.
Ari, pedagang gorengan di Palembang, mengatakan masih sulit mendapatkan minyak goreng. Kalaupun ada, harganya melonjak. ”Sekarang harga minyak goreng curah Rp 15.000- Rp 17.000 per liter. Masih lebih baik dibandingkan dengan beberpa bulan lalu yang bisa mencapai Rp 21.000 per liter,” katanya.
Akibat kenaikan sejumlah bahan, seperti terigu, tahu, tempe, dan minyak, dirinya pun terpaksa mengikis ukuran gorengan menjadi lebih kecil dan keuntungan pun berkurang hingga 30 persen. ”Sekarang semua serba susah,” kata Ari yang sudah delapan tahun menjadi tukang gorengan.
Kepala Dinas Perdagangan Sumatera Selatan Ahmad Rizali mengatakan, sampai sekarang produksi minyak goreng baru mencapai 10 juta liter per bulan, belum sesuai dengan kebutuhan warga Sumsel sekitar 15 juta liter. Minyak tersebut pun tidak hanya dipasok dari dua produsen yang ada di Sumsel, tetapi dari beberapa produsen di luar Sumsel.
Karena itu, operasi pasar terus dilakukan agar tidak terjadi gejolak harga akibat kelangkaan minyak. ”Operasi pasar akan terus berlangsung sampai kondisi pasar sudah membaik,” kata Ahmad. Dia pun memprediksi, pada akhir Maret distribusi minyak goreng sudah membaik.