Kasus HAM Berat Tak Kunjung Tuntas, Komnas HAM Ingin ”Hybrid Court”
Dukungan internasional digalang untuk mendorong dibentuknya "hybrid court" guna menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Langkah ini ditempuh karena elemen hukum nasional dinilai gagal.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berencana menggalang dukungan komunitas internasional untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Penggalangan dukungan menjadi langkah awal untuk mewujudkan peradilan campuran atau hybrid court sebagai solusi buntunya penyelesaian kasus oleh elemen hukum nasional.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam, menilai, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu oleh elemen hukum nasional telah gagal. Indikasi itu tecermin dari ketidakseriusan pemerintah menuntaskannya.
Temuan penyelidikan Komnas HAM atas kasus-kasus HAM masa lalu tak kunjung ditindaklanjuti Kejaksaan Agung (Kejagung). Kejagung selalu berdalih alat bukti yang dikumpulkan Komnas HAM tidak memadai.
Yang terbaru terlihat dari sikap Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang menyebutkan tragedi Semanggi I dan II tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Burhanuddin mengutip pendapat Panitia Khusus (Pansus) Kasus Trisakti serta Semanggi I dan II yang melaporkannya dalam Rapat Paripurna DPR, 9 Juli 2001. Pansus menyebutkan tidak ada pelanggaran HAM dalam peristiwa itu.
”Mekanisme nasional gagal. Makanya sekarang tanggung jawab internasional untuk mengambil alih kasus tersebut dan membuat hybrid court,” ujar Choirul saat dihubungi di Jakarta, Selasa (21/1/2020).
Peradilan campuran adalah salah satu mekanisme dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat. Mekanisme itu dilakukan di dalam negeri dengan menggunakan cara persidangan yang berlaku di dunia internasional.
Untuk merealisasikannya, langkah pertama, Komnas HAM akan menggalang dukungan dari komunitas internasional. Caranya bisa melalui Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau melalui negara-negara yang tergabung dalam Koalisi Internasional untuk Papua.
”Komnas HAM bisa langsung melobi negara-negara pihak yang dianggap strategis. Bisa juga menyampaikan secara resmi pada mekanisme yang ada, baik di Dewan HAM maupun di mekanisme Komnas HAM Internasional, misalnya,” kata Choirul.
Dia menekankan, kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu harus dibawa ke pengadilan, tidak semata agar para pelaku kejahatan kemanusiaan dihukum. Lebih dari itu, dengan dibawa ke pengadilan, kebenaran akan terungkap.
Choirul mencontohkan ketika mekanisme peradilan campuran digunakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan Perdana Menteri Pol Pot di Kamboja. Rezim Pol Pot dituding melakukan banyak kejahatan kemanusiaan. Pol Pot ditakuti di Kamboja karena dia seorang diktator.
”Ketika dia diadili, banyak orang terbelalak. Masyarakat akhirnya tahu bagaimana Pol Pot melakukan kejahatan kemanusiaan. Banyak pernyataan dan temuan yang diungkap dalam pengadilan,” ujar Choirul.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berpendapat, wacana untuk menempuh peradilan campuran perlu dikonsultasikan seluas mungkin dengan semua pemangku kepentingan. Ikhtiar itu untuk memastikan semua prosesnya ditempuh dengan mematuhi kaidah hukum yang ada.
Menurut Usman, dalam diskursus HAM, peradilan campuran itu dimaksudkan untuk menyusun badan pengadilan yang campuran dari segi komposisi dan yurisdiksi, baik dari aspek nasional maupun internasional. Biasanya, mekanisme hibrida diterapkan di wilayah di mana kejahatan terjadi.
Usman memandang upaya itu bisa jadi solusi menuntaskan perkara pelanggaran HAM masa lalu dan memberikan keadilan bagi keluarga korban ketika hukum di dalam negeri tak kunjung bisa menyelesaikannya.
Namun, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengingatkan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat peradilan campuran tetap membutuhkan persetujuan pemerintah dan DPR.
Persetujuan dibutuhkan karena mekanisme itu akan mendatangkan hakim dan penyidik dari luar negeri. Mereka tak akan memiliki otoritas jika tak diizinkan negara.
Oleh karena itu, upaya Komnas HAM menggalang dukungan internasional saja tidak cukup. Perlu ada kemauan politik dari pemerintah dan DPR untuk mewujudkannya.