Pemerintah Kaji Pemindahan Pangkalan Nelayan Natuna
Lokasi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu Natuna saat ini dinilai tidak tepat karena berdekatan dengan pangkalan TNI Angkatan Laut. Pemerintah mengkaji pemindahannya dari selatan ke utara Natuna.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah mengkaji rencana pemindahan lokasi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu atau SKPT Natuna Selat Lampa di selatan Natuna ke wilayah bagian utara. Lokasi SKPT Natuna saat ini dinilai tidak tepat karena berdekatan dengan pangkalan TNI Angkatan Laut. Sejumlah investor asing siap masuk membangun fasilitas Natuna.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, timnya telah melakukan survei di Natuna bagian utara yang akan disiapkan menjadi tempat pangkalan ikan atau SKPT Natuna. Hal ini telah dibicarakan dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
“Kami ingin wilayah selatan (Natuna) untuk (pangkalan) TNI AL saja. Sedangkan pangkalan nelayan dibuat khusus di (wilayah) utara dengan dilengkapi fasilitas direct call (ekspor langsung ke negara tujuan) untuk hasil-hasil perikanan,” kata Luhut dalam acara Coffee Morning dengan media massa di Jakarta, Jumat (17/1/2019).
Menurut Luhut, beberapa negara telah menyatakan minatnya untuk bekerja sama dalam pemasaran produk perikanan asal Natuna, antara lain Amerika Serikat, Jepang, dan China. “Buat kita, (investor) mana saja bisa,” katanya.
Pelaksana Tugas Deputi Sumber Daya Maritim, Safri Burhanuddin menyatakan, lokasi SKPT Natuna di Selat Lampa saat ini dinilai tidak tepat karena berdekatan dengan pangkalan TNI AL.
“Usulannya (SKPT Natuna) dipindahkan ke bagian utara, karena penangkapan ikan banyak dilakukan di Laut Natuna Utara. Kami pelajari lokasi (pemindahan) dermaga dengan tetap mempertimbangkan kondisi perairan di wilayah bagian utara (Natuna) yang ombaknya cukup besar,” kata Safri.
Investor Asing
Saat ini beberapa investor asing siap masuk untuk membangun fasilitas di SKPT Natuna, di antaranya Korea Selatan dan Jepang. Investor asal Korea Selatan berminat untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya dan angin, sedangkan Jepang ingin menggarap pasar ikan di Natuna. Dengan investasi itu, diharapkan mendorong sistem pasar berskala ekspor.
Safri menambahkan, kapasitas sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) yang masih terbatas akan dibenahi. Beberapa pembenahan SKPT Natuna antara lain kesiapan bahan bakar minyak untuk mencukupi kebutuhan ratusan kapal ikan pendatang hingga akses pasar tujuan ekspor. Selain itu, pembangunan bandar udara untuk kepentingan kargo dan pariwisata di Natuna.
Selain itu, peningkatan kapasitas gudang pendingin yang saat ini baru 200 ton. Dibutuhkan kapasitas gudang pendingin 1.000 ton jika SKPT Natuna akan didorong untuk ekspor langsung ke negara tujuan (direct call). Pihaknya meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan 3 komoditas unggulan perikanan yang akan dikembangkan di Natuna.
Modifikasi Cantrang
Terkait pemindahan nelayan, pemerintah tetap memprioritaskan nelayan lokal Natuna. Penempatan nelayan dari luar Natuna akan diarahkan ke zona penangkapan di luar perairan teritorial, yakni di atas 12 mil hingga ke laut lepas. Sedangkan, wilayah tangkap nelayan Natuna diutamakan di perairan teritorial dengan zona di bawah 12 mil.
Pemerintah tetap memprioritaskan nelayan lokal Natuna.
Saat ini, sebanyak 500 kapal nelayan berukuran di atas 100 gross ton (GT) dari pantai utara Jawa siap merapat ke Natuna. Namun, pemerintah memastikan proses pemindahan nelayan akan bertahap. Apalagi, muncul penolakan dari nelayan lokal terkait kapal pendatang dan alat tangkap cantrang yang menyerupai alat tangkap pukat harimau (trawl) yang dilarang.
Pemakaian cantrang dilarang pemerintah dalam Peraturan Menteri Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI. Alat tangkap yang tergolong pukat tarik itu dinilai merusak lingkungan.
Safri mengakui, alat tangkap cantrang menyerupai pukat harimau (trawl). Kapal-kapal besar dari pantai utara Jawa umumnya menggunakan alat tangkap cantrang. Namun, ia berpendapat, penggunaan cantrang dimungkinkan di sepanjang zona perairan di atas 12 mil, karena cocok untuk menangkap ikan demersal di laut dalam.
“Kapal asing yang masuk ke Indonesia rata-rata pakai trawl yang menyerupai cantrang. Ini hanya masalah nama. Kami sedang mempelajari apakah diperlukan modifikasi alat cantrang agar namanya bukan lagi cantrang, tetapi filosofi cara kerjanya ya (tetap) cantrang atau trawl,” katanya.