DKI Makin Gencar Sosialisasikan Larangan Pemakaian Kantong Plastik
Pemprov DKI Jakarta menggencarkan sosialisasi terkait larangan pemakaian kantong plastik kepada asosiasi-asosiasi pengusaha dan penanggung jawab pusat perbelanjaan. Per 1 Juli DKI akan larang penggunaan kantong plastik.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus menggencarkan sosialisasi terkait larangan pemakaian kantong plastik kepada asosiasi-asosiasi pengusaha dan penanggung jawab pusat perbelanjaan. Sementara itu, sejumlah pedagang menilai, larangan tersebut tak akan berjalan optimal apabila tak ada pelarangan produksi kantong plastik sejak hulu dan konsumen.
Larangan pemakaian kantong plastik ini berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat. Pemerintah akan menyosialisasikan kantong ramah lingkungan enam bulan ke depan. Aturan ini akan berlaku per 1 Juli.
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta sudah memulai sosialisasi penggunaan kantong belanja ramah lingkungan. Salah satunya dengan menerima audiensi Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia dan produsen kantong belanja, Senin pagi. Dalam audiensi itu, Dinas Lingkungan Hidup menjelaskan tentang pasal-pasal terkait penggunaan kantong belanja ramah lingkungan.
”Kami juga menggandeng Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya untuk sosialisasi penggunaan kantong belanja ramah lingkungan ke pasar-pasar tradisional. Ada pasar yang akan dijadikan percontohan. Sedang disiapkan teknisnya,” ujar Kepala Seksi Humas Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta Yogi Ikhwan, Senin (13/1/2020).
Dalam Pergub DKI Nomor 142 Tahun 2019 Bab VII Pasal 22 hingga Pasal 29 diatur soal sanksi administratif. Sanksi akan diberikan kepada pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat apabila kelak ada pedagang yang tetap menyediakan kantong plastik sekali pakai. Sanksi tersebut berupa teguran tertulis, denda atau uang paksa, hingga pencabutan izin usaha.
Kepala Seksi Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Rahmawati mengatakan, teguran tertulis akan diberikan secara bertahap sampai tiga kali. Apabila teguran itu tak diindahkan, pengelola bisa dikenai denda mulai dari Rp 5 juta hingga Rp 25 juta.
”Misalnya, jika dia sudah kena Rp 5 juta, lalu seminggu kemudian masih menyediakan (kantong plastik sekali pakai), dendanya berlipat Rp 5 juta menjadi Rp 10 juta sampai Rp 25 juta,” kata Rahmawati.
Sementara itu, sanksi pembekuan izin, seperti yang diatur di dalam Pasal 27, akan diberikan terhadap pengelola yang tidak kunjung membayar denda uang paksa dalam waktu lima pekan. Pembekuan izin diberikan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) berdasarkan rekomendasi dari Dinas Lingkungan Hidup.
Larangan pemakaian kantong plastik ini berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Nomor 142 Tahun 2019. Pemerintah akan menyosialisasikan kantong ramah lingkungan enam bulan ke depan. Aturan ini akan berlaku per 1 Juli.
Jika pengelola sudah diberikan sanksi pembekuan izin, tetapi tetap tidak membayar uang paksa, izin usahanya akan dicabut.
”Sanksi pencabutan izin diberikan Dinas PM-PTSP berdasarkan persetujuan Gubernur atas usulan Dinas Lingkungan Hidup,” ujar Rahmawati.
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta Ellen Hidayat, larangan penggunaan kantong plastik salah sasaran apabila sanksi dibebankan kepada pengelola pusat belanja yang menyewakan kios. Sebab, kata dia, semua kios yang disewakan telah menjadi milik individu.
Ellen menjelaskan, bisnis pengelola pusat belanja adalah menyewakan unit usaha. Pengelola tidak melakukan penjualan langsung dan tidak bersentuhan dengan kantong plastik.
”Pengelola mal hanya mengurus keamanan dan kebersihan. Jadi, tidak mungkin bisa mengatur pemilik kios tersebut. Sementara itu, sanksi mudahnya dibebankan ke pusat belanja. Ini sangat tidak masuk akal,” ujar Ellen.
Sebagai contoh, apabila di satu pusat belanja terdapat 300 kios dan kebetulan ada satu kios yang ditemui memakai kantong plastik, izin mal bisa dicabut. Menurut Ellen, perlakuan tersebut tidak adil karena malah merugikan 299 kios lain.
”Mereka tidak bisa berbisnis lagi. Padahal, pusat belanja menyerap tenaga kerja yang cukup banyak,” kata Ellen.
Ellen berharap, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta bisa menekan pemakaian kantong plastik secara berkesinambungan dengan mencegahnya dari hulu, yaitu membatasi atau meniadakan produksi kantong plastik sekali pakai tersebut.
Selain itu, Dinas Lingkungan Hidup juga harus terus-menerus mengedukasi masyarakat terkait bahaya penggunaan kantong plastik terhadap lingkungan hidup. Segala masukan itu, ujar Ellen, akan disampaikan kepada Gubernur DKI.
”Kami sedang ajukan waktu bertemu. Kami ingin meminta agar pergub tersebut dapat diperbaiki, terutama perihal sanksi yang tidak wajar atau tidak tepat sasaran kepada kami selaku pengelola pusat belanja,” kata Ellen.
Associate Director Climate Policy Initiative Tiza Mafira berpendapat, pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat wajib memastikan pelaku usaha yang berada di wilayah menyediakan plastik ramah lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan Perda DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah. Secara hukum, Pergub Nomor 142 Tahun 2019 harus mengacu pada Perda Nomor 3 Tahun 2013.
Dalam Pasal 21 Perda Nomor 3 Tahun 2013 tertulis bahwa penanggung jawab atau pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat wajib menggunakan kantong belanja yang ramah lingkungan.
”Secara praktis, tanggung jawab pengelola pusat perbelanjaan itu mewajibkan tenant-nya (penyewa toko) menggunakan plastik ramah lingkungan. Untuk itu, pengelola harus memberikan sosialisasi, mengawasi, dan memberikan teguran apabila aturan itu tidak diterapkan. Hal tersebut hanya bisa dilakukan pengelola pusat perbelanjaan,” kata Tiza.
Ia menyatakan bahwa sanksi yang diberikan apabila pedagang tidak menggunakan plastik ramah lingkungan lebih dibebankan kepada pengelola pusat perbelanjaan dibanding pedagangnya. Dalam Pergub Nomor 142 Tahun 2019, pengelola dikenai sanksi administratif berupa uang paksa maksimal Rp 25 juta hingga pencabutan izin. Para pedagang sementara itu hanya dikenai sanksi berupa teguran tertulis.
”Serba salah juga kalau memberikan sanksi terlalu besar kepada pelaku usaha. Namun, ini bukan masalah ringan atau beratnya sanksi. Yang penting, pengawasan berjalan dengan baik. Si pengelola juga tidak mungkin diberikan sanksi kalau tidak melanggar kewajibannya mengelola pedagangnya. Pengelola enggak mungkin diberikan sanksi atas ketidakpatuhan si pedagang,” tutur Tiza.
Terkait larangan pemakaian plastik, Rizki (34), pedagang aksesori dan pakaian di Pasar Tanah Abang, tidak mempermasalahkan dan setuju dengan aturan tersebut. Namun, ia tidak setuju jika beban hukum diberatkan kepala pelaku usaha. Menurutnya, aturan tidak menyasar pada produsen plastik dan konsumen (pembeli).
”Jika mau mengurangi sampah plastik, seharusnya semua dikenai aturan. Contoh untuk konsumen, ya, harus bawa tempat belanja sendiri, dong. Nah, ini, sudah sadar belum mereka. Jangan menyasar pelaku usaha saja. Permintaan penggunaan plastik itu juga karena konsumen, kok,” kata Rizki.