Kebocoran Limbah Medis Diduga Modus Kurangi Biaya Pengolahan
Kebocoran limbah medis ke pemulung dan tempat daur ulang sampah diduga merupakan modus mengurangi biaya pengolahan limbah. Kebocoran terjadi sejak dari fasilitas layanan kesehatan, pengangkutan, dan perusahaan pengolah.
CIREBON, KOMPAS - Kebocoran limbah medis ke lapak pemulung dan tempat daur ulang sampah diduga merupakan modus mengurangi biaya pengolahan limbah. Kebocoran bisa terjadi sejak dari fasilitas layanan kesehatan, pengangkutan, dan perusahaan pengolah limbah.
Hingga 2018, hanya tersedia 6 pengolah limbah medis berizin di Indonesia dengan kapasitas produksi 120,48 ton per hari. Padahal, menurut estimasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga 2018, timbulan limbah medis mencapai 300-340 ton per hari dari 2.781 rumah sakit pemerintah dan swasta. Sementara jumlah rumah sakit yang memiliki izin mengolah limbah medis hanya 107 rumah sakit dengan total kemampuan mengolah 50 ton limbah medis per hari.
Untuk memenuhi kekurangan itu, hingga akhir 2019, KLHK tampak menggenjot penerbitan izin pengolahan limbah medis. Jumlah pengolah limbah medis pun bertambah menjadi 12 perusahaan, dan kapasitas pengolahan meningkat jadi 301,7 ton per hari. Jumlah itu masih belum bisa memenuhi estimasi timbulan limbah medis yang bisa mencapai 340 ton/hari.
Selain masih kurang, perseberannya pun belum merata sehingga belum tersedia di setiap pulau. Sebanyak 8 perusahaan dari 12 perusahaan pengolah limbah medis, itu terkonsentrasi di Pulau Jawa, yakni PT Wastec International (Cilegon), PT Andhika Makmur Persada (Bogor), PT Wahana Pamunah Limbah Industri (Banten), PT Pengolahan Limbah Industri Bekasi (Bekasi), PT Tenang Jaya Sejahtera dan PT Jasa Medivest (Karawang), PT Arah Environment Indonesia (Sukoharjo), dan PT Putra Restu Ibu Abadi (Mojokerto).
Selebihnya, 4 perusahaan lainnya tersebar di PT Pengelola Limbah Kutai (Kutai), PT Balikpapan Environtmental Services (Balikpapan), PT Desa Air Cargo Batam (Batam), dan UPTD Pengolahan Limbah B3 Makassar (Makassar).
Baca juga : Limbah Medis Beredar Tak Terkendali
Namun di Pulau Jawa saja, dengan jumlah pengolahan limbah medis yang memadai, kebocoran limbah medis masih terus terjadi. Salah satu penyebabnya karena beberapa jenis barang dari limbah ini cukup diminati pasar daur ulang plastik, salah satunya wadah infus bekas. Di sisi lain, ada dugaan limbah itu sengaja dibocorkan untuk mengurangi biaya pengolahan limbah.
Di kalangan pemulung, biasanya mereka dapat mengumpulkan wadah infus bekas dari tempat sampah di dekat klinik dan bidan. Sedikit demi sedikit mereka kumpulkan limbah medis itu untuk dijual kepada lapak daur ulang. Wadah infus bekas ini cukup menjadi incaran karena laku dijual Rp 9.500 per kilogram untuk yang belum dicacah.
Abah (55), pemulung di Tempat Pembuangan Akhir Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat ini mengaku, dia sanggup menyediakan wadah infus bekas hingga 10 kilogram asalkan diberikan waktu sebulan untuk mengumpulkannya. Sebab, limbah itu hanya terbatas ditemukan di tempat sampah klinik, dan di timbunan sampah di TPA Sarimukti. Itu pun tak setiap hari bisa ditemukan.
“Saya harus cari dulu. Kadang (wadah infus bekas) ada di tempat sampah klinik atau bidan desa. Kadang ada juga di TPA. Tetapi tidak mesti juga (ada),” ucapnya.
Karena limbah medis juga hanya dihasilkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan, tak semua lapak daur ulang juga menyediakannya. Di Kota Bandung, setidaknya butuh waktu satu minggu untuk menemukan lapak daur ulang yang menyediakan wadah infus bekas dalam jumlah banyak.
Untuk menemukan limbah medis yang beredar di kalangan pelapak sampah daur ulang, informasi awalnya ditelusuri dari pemulung yang pernah menjual wadah infus ke lapak daur ulang. Setelah menemukan lapak daur ulang yang dimaksud pun belum tentu pemiliknya masih mengolah wadah infus bekas.
BA (38), salah satu pemilik lapak daur ulang yang biasa dijadikan tempat beberapa pemulung di TPA Sarimukti menjual wadah infus bekas ini mengaku sudah 2 tahun ini tak lagi memperjualbelikan limbah medis itu. Sebelumnya, ia mengaku rutin memperoleh wadah infus bekas dari 2 rumah sakit besar di Kota Bandung. Namun sejak pengolahan limbah medis ilegal di Cirebon diungkap dan pemiliknya ditangkap, BA tak lagi mengolah limbah itu. “Saya takut dipidana,” ucapnya.
Setelah mendatangi beberapa lapak daur ulang yang berada tak jauh dari tempat BA membuka usaha, baru ditemukan lapak milik Wiji yang menyediakan wadah infus bekas. Di lapaknya, Wiji menyediakan 1 kuintal wadah infus bekas. Dari wadah infus itu ditemukan beberapa di antaranya masih tertempel label Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Jumlah wadah infus bekas yang ditemukan di lapak Wiji itu merupakan yang terbanyak yang Kompas jumpai selama melakukan penelusuran. Tak jauh dari tempat Wiji menjalankan usahanya juga ditemukan lapak daur ulang milik Sidik yang juga mengolah wadah infus bekas. Namun Sidik menolak mengungkap jumlah wadah infus bekas yang dimiliki.
Untuk menemukan limbah medis yang beredar di kalangan pelapak sampah daur ulang, informasi awalnya ditelusuri dari pemulung yang pernah menjual wadah infus ke lapak daur ulang.
Dugaan kebocoran limbah medis adalah modus mengurangi biaya pengolahan pertama kali mengemuka dari temuan timbunan limbah medis pada 2017 lalu di Desa Panguragan Kulon, Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon. Total limbah medis yang pernah ditemukan di sana mencapai 450 ton. Sebanyak 250 ton yang diangkut oleh KLHK pada Desember 2017. Sekitar 200 ton lagi yang masih tertimbun di halaman belakang rumah salah satu warga bernama Agus Seri.
Hingga kini, timbunan limbah itu masih dilihat di pekarangan rumah Agus. Limbah memenuhi area pekarangan hampir 100 meter persegi dengan timbunan setinggi 1-2 meter. Diperkirakan volume timbunannya 200 meter kubik atau sekitar 200 ton.
Putusan pengadilan
Sebaliknya jumlah timbunan limbah medis terbesar dan paling beragam jenisnya tetap ditemukan di bekas tempat pengolahan limbah medis ilegal di Desa Panguragan Kulon, Kabupaten Cirebon. Meskipun tempat pengolahan limbah medis itu sudah ditutup sejak 2017 lalu, tetapi sumber kebocoran limbah ini belum juga diungkap.
Dalam putusan pengadilan terhadap para pelaku pengelola limbah medis ilegal di Cirebon tahun 2017, hakim menyebut dengan jelas asal usul timbunan limbah di Desa Panguragan Kulon. Hakim dalam pertimbangan putusan menyatakan, limbah diambil dari salah satu perusahaan pengolah limbah medis berizin, PT Tenang Jaya Sejahtera di Karawang, Jawa Barat.
Hingga kini, timbunan limbah itu masih memenuhi pekarangan rumah salah satu warga, Agus Seri. Limbah itu memenuhi areal pekarangan hampir 100 meter persegi dengan timbunan setinggi 1-2 meter. Diperkirakan volume timbunannya hampir 200 meter kubik atau sekitar 200 ton.
Padahal pada 2017, Kementerian LHK juga sudah mengangkut 250 ton limbah medis dari Desa Panguragan Kulon. Setidaknya 3 orang yang terlibat dalam pengolahan limbah medis ilegal itu telah diproses hukum, salah satunya Agus Seri.
Limbah medis yang ditimbun sangat beragam, sama persis seperti limbah medis yang baru diangkut dari rumah sakit ke tempat pengolahan limbah medis. Berbagai macam peralatan medis bekas pakai itu bercampur satu sama lain. Sampah itu dimuat dalam karung-karung besar berukuran 100 kilogram.
Namun karena limbah ini juga sudah ditimbun selama 2 tahun, limbah medis ini mulai berdebu, dan tak lagi menebarkan bau darah yang membusuk. Cairan darah yang masih tersisa di tabung plastik bekas tempat pengujian darah pun sudah mengental dan menghitam.
Selama 2017, bisnis ilegal ini dijalankan oleh oknum anggota TNI Sersan Mayor Tumpak Dolok Saribu dengan dibantu warga setempat, Agus Seri dan Nasikhin. Ketiganya telah dipidana terkait pencemaran lingkungan. Tumpak diadili di Pengadilan Militer Bandung, sementara Agus dan Nasikhin diadili di Pengadilan Negeri Sumber, Kabupaten Cirebon.
Dalam putusan Nomor 179/Pid.B/LH/2019/PN Sbr untuk perkara Agus dan Nomor 109/Pid.B/LH/2019/PN Sbr terkait perkara Nasikhin, disebutkan dalam pertimbangan hakim bahwa limbah medis yang diolah di Desa Panguragan itu diambil dari salah pengolah limbah medis berizin, PT Tenang Jaya Sejahtera di Karawang, Jawa Barat.
Dalam putusan itu juga disebutkan, bahwa di persidangan dihadirkan pula saksi dari 6 rumah sakit dan 1 lembaga yang limbah medisnya ditemukan di Desa Panguragan Kulon. Sebanyak 5 di antaranya mengaku selama periode 2017 memusnahkan limbah medisnya di PT Tenang Jaya Sejahtera.
Dengan rincian, 2 rumah sakit dan 1 lembaga berkontrak secara langsung dengan PT TJS untuk pengolahan limbah medis selama tahun 2017, yaitu Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin Bandung, RS Pusat Pertamina, dan Palang Merah Indonesia DKI Jakarta. Selanjutnya ada 2 rumah sakit yang hanya beberapa bulan bekerja sama dengan PT TJS pada 2017 itu, yakni RS Mitra Plumbon dan RS Gunung Jati.
Ada 2 rumah sakit lainnya yang dihadirkan sebagai saksi yang menyatakan tidak memusnahkan limbah medisnya di PT TJS selama 2017, yaitu RSUP Kariadi dan RS Sumber Waras Cirebon. Pihak RSUP Kariadi mengaku menyerahkan limbahnya kepada PT Arah Environmental Indonesia dan RS Sumber Waras Cirebon menyerahkannya kepada PT Prasadha Pamunah Limbah Industri.
BL (35), mantan pekerja di pengolahan limbah medis ilegal di Desa Panguragan Kulon ini pun mengaku, selama 2017 ia rutin mengangkut limbah medis dari PT Tenang Jaya Sejahtera ke Desa Panguragan Kulon. Dalam seminggu ia bisa mengangkut limbah B3 itu sebanyak 4 kali. Setiap kali angkut, ada 4 ton limbah yang dibawa.
“Isinya macam-macam. Ada jarum, ada mangkuk besi, suntikan, potongan tubuh, infus bekas,” jelasnya.
Saat dikonfirmasi Juru Bicara PT Tenang Jaya Sejahtera, Oland PH Sibarani menyampaikan, pihaknya tidak pernah dimintai keterangan oleh penyidik terkait pengolahan limbah medis di Desa Panguragan Kulon. “Saya juga gak paham (masalah ini),” ucapnya.
Ditambahkan Kepala Produksi PT Tenang Jaya Sejahtera, Bambang, pengolahan limbah medis ilegal di Desa Panguragan Kulon itu tak ada kaitannya dengan PT Tenang Jaya Sejahtera. Selama ini, menurutnya, jika ada masalah terkait pekerjaan, maka pihak PT Tenang Jaya akan mengadakan rapat yang dihadiri semua unit. “Karena biasanya kalau ada masalah, di PT Tenang Jaya itu dibahas. Pasti dipanggil semua itu yang menangani pekerjaan,” jelasnya.
Isinya macam-macam. Ada jarum, ada mangkuk besi, suntikan, potongan tubuh, infus bekas
Dalam berkas putusan pengadilan terkait Agus dan Nasikhin, memang tak ditemukan PT Tenang Jaya Sejahtera dihadirkan sebagai saksi. Namun perusahaan ini, dalam pertimbangan hakim, disebutkan sebagai tempat pengambilan limbah medis untuk diolah di Desa Panguragan Kulon.
Sementara timbunan limbah medis di Desa Panguragan Kulon jika ditotal mencapai 450 ton. Sebanyak 250 ton yang diangkut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Desember 2017. Sekitar 200 ton lagi yang masih tertimbun di halaman belakang rumah Agus.
Adanya timbunan limbah medis di Desa Panguragan Kulon, patut diduga ada biaya pengolahan yang tak dikeluarkan oleh pihak atau perusahaan yang bertanggung mengolah limbah tersebut. Jika biaya pengolahan limbah medis berkisar Rp 8.000-Rp 9.000 per kg, seperti diterapkan oleh beberapa pengolah limbah medis, maka dari 450 ton itu ada biaya pengolahan sebesar Rp 3,6 miliar yang tak dikeluarkan.
Kepala Subdit Penyidikan Pencemaran Lingkungan Hidup, Kementerian LHK, Anton Sardjanto mengungkapkan, ada banyak titik dalam proses pengangkutan limbah medis dari fasilitas pelayanan kesehatan ke pengolah limbah, itu yang rawan bocor. Klinik mandiri, salah satunya, masih banyak yang limbah medisnya bocor ke pemulung dan lapak daur ulang.
“Nah ini salah satu kendala kami (mengatasi kebocoran limbah medis). Saat saya konfirmasi ke Kementerian Kesehatan, mereka juga agak kesulitan mengawasi pengolahan limbah medis di klinik,” jelasnya.
Korporasi
Sementara untuk timbunan limbah medis dalam jumlah besar seperti ditemukan di Cirebon, menurut Anton, memang patut diduga itu dilakukan pihak korporasi, yakni perusahaan jasa pengolah limbah medis.
Ia mengaku, pada salah satu perusahaan jasa pengolahan limbah medis yang dicurigai, ditemukan ada neraca massa pengolahan limbah medis yang tak seimbang antara jumlah limbah yang diterima dengan limbah yang dimusnahkan. Untuk itu pihaknya telah mengeluarkan sanksi agar perusahaan tersebut mencari bukti manifes yang tak ditemukan.
Terkait neraca massa yang tak seimbang itu, Anton memberikan contoh, jika satu perusahaan menerima 10 kg limbah medis, kemudian hanya 9 kg yang diolah, maka sisanya harus diketahui tempat pemusnahannya. Biasanya pada pengolahan limbah medis, pihak perusahaan akan menyerahkan sisa limbah itu kepada PT Prasadha Pamunah Limbah Industri yang memiliki izin pengumpulan limbah.
“Nah dari temuan kami, ada yang tidak balance. Ini masih proses, dan saya minta dia (salah satu pengolah limbah medis) cari yang berapa ton ini kemana. Nah itu yang belum saya bicarakan lagi dengan pihak sanksi administrasi,” jelasnya.
Selain itu, dari pemetaan yang dilakukan pada penimbunan limbah medis di Cirebon, ditemukan pula banyak jasa pengangkut limbah medis yang ikut membuang limbah medis ke Cirebon selama 2017 itu. “Itu banyak juga transporter yang diduga buang ke sana,” ucap Anton.
Hanya untuk mengungkap sumber kebocoran limbah medis di Cirebon itu, lanjutnya, pihaknya masih membutuhkan satu alat bukti lagi yang kini tengah diupayakan. “Memang sudah ada di putusan hakim itu (terkait sumber kebocoran limbah medis di Cirebon). Kami ingin kejar dia. Tapi selain itu, harus ada satu alat bukti lagi. Karena keterangan saksi saja kadang tidak (cukup),” jelas Anton.
Selagi menuntaskan pengungkapan kasus di Cirebon, Anton mengungkapkan, pihaknya khawatir akan muncul lagi tempat yang dijadikan penimbunan limbah medis. “Intinya di Cirebon itu sudah tidak ada (yang menimbun limbah medis lagi). Tetapi saya khawatir ada di tempat lain (yang dijadikan tempat penimbunan limbah medis). Ini yang sedang kami cari,” jelasnya.
Baca juga : Limbah Medis yang Membuat Warga Resah
Direktur Kesehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, Imran Agus Nur Ali menyampaikan, memang ada dugaan, penimbunan limbah medis di Cirebon disebabkan ulah perusahaan pengolah limbah medis yang menerima limbah medis terlampau banyak dibandingkan kapasitas pengolahannya. Ia pun mengharapkan perusahaan pengolah limbah medis juga dapat dibina oleh Kementerian LHK.
“Ini yang membina (Kementerian LHK) para pengolah limbah ini bagaimana nih. Masa baru bergerak kalau sudah ada kasus,” ucapnya.
Melihat kasus pengolahan dan penimbunan limbah medis di Cirebon, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, jika di dalam pertimbangan hakim disebutkan ada perusahaan jasa pengolah limbah medis yang diduga menjadi tempat kebocoran limba medis, maka perusahaan itu dapat diajukan sebagai subjek hukum. “Dengan catatan, para terpidana melakukan pembuangan limbah medis karena menjalankan kebijakan perusahaan,” jelasnya.
Sementara Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3, Kementerian LHK, Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan, pihaknya mengharapkan agar semua pihak dapat melaksanakan pengolahan limbah medis sesuai dengan peraturan yang berlaku. “Kami mengharapkan agar mulai dari fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) hingga pihak jasa pengolah limbah medis, untuk selalu berkegiatan sesuai peraturan agar masalah timbunan limbah medis di Cirebon tidak terjadi lagi,” jelasnya.