Ibarat manusia, Bulog saat ini mengalami obesitas. Jika tak segera ditangani, bisa berlanjut menjadi sakit yang lebih parah. Penyebabnya, perusahaan pelat merah ini terus ”makan” beras, tetapi kesulitan ”mengeluarkan”.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·3 menit baca
Di pengujung 2019, ada 20.000 ton cadangan beras pemerintah rusak karena terlampau lama menumpuk di gudang. Akibatnya, kualitas beras yang seharusnya dipakai untuk kondisi darurat, bencana alam, dan operasi pasar itu menurun. Kerugian ditaksir mencapai Rp 160 miliar.
Bukan tidak mungkin kondisi itu berulang pada 2020. Sebagai gambaran, stok beras Perum Bulog Kantor Cabang Cirebon, Jawa Barat, mencapai hampir 99.000 ton. Kapasitas gudang Bulog yang tersebar di Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Majalengka, dan Kuningan, 111.832 ton setara beras.
Dengan stok itu, Bulog diprediksi mampu menjamin kebutuhan beras di Cirebon dan sekitarnya hingga Juli 2021. Asumsinya, jika ada penyaluran 5.000 ton beras setiap hari. ”Maret dan April nanti sudah panen raya. Nanti kalau nyerap beras petani, mau nyimpen di mana?” kata salah satu pimpinan Perum Bulog Wilayah Jabar, Benhur Ngkaimi, saat diskusi terkait BPNT (bantuan pangan nontunai) di Cirebon, akhir Desember 2019. Turut hadir anggota DPR Komisi IV dari PDI-P, Ono Surono.
Kalau Bulog tidak membeli, harga pasti hancur.
Benhur bukan mengancam tidak membeli gabah petani saat panen. Apalagi, jika harga jatuh, Bulog paling dicari petani. Namun, dia menggambarkan nasib Bulog yang kerap diminta menyerap hasil panen petani. Sebaliknya, Bulog tidak mendapat kepastian jumlah pendistribusian beras seperti saat skema beras sejahtera. Sejak 2017, skema itu berganti menjadi BPNT yang tidak mengharuskan Bulog sebagai penyalur utama. ”Kalau dihitung, penyaluran beras Bulog untuk BPNT kurang dari 30 persen. Sisanya masih bersumber di luar Bulog,” katanya.
Ada Surat Edaran Menteri Sosial Nomor 1/MS/K/07/2019 tentang Perum Bulog sebagai Penyedia Komoditas BPNT pada 8 Juli 2019. Namun, surat edaran itu tidak punya konsekuensi hukum kalau tidak ditaati. Menurut Benhur, jika pemerintah menaruh perhatian pada petani, surat edaran itu seharusnya terlaksana. Beras Bulog sumbernya dari petani. Apalagi, musim panen rendeng kali ini dibarengi dengan curah hujan tinggi.
”Pada musim rendeng biasanya harga gabah turun karena basah. Kalau Bulog tidak membeli, harga pasti hancur,” kata Ketua Gabungan Kelompok Tani Panguragan Cirebon H Amrin. Maret tahun lalu, harga gabah kering panen (GKP) di petani anjlok hingga Rp 3.400 per kilogram. Sementara harga pembelian pemerintah untuk GKP Rp 3.700 per kg.
Karena itu, Benhur berharap pihaknya menjadi sumber utama penyaluran BPNT. ”Kami sanggup menyalurkan beras BPNT berapa pun. Ini bukan monopoli karena Bulog yang menjembatani kepentingan petani dan konsumen,” ujarnya. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Sosial Kabupaten Cirebon Iis Krisnandar mengatakan, tidak masalah jika Bulog menjadi penyalur 100 persen beras untuk BPNT. Namun, ia menuntut kualitas beras Bulog harus baik, tidak seperti ketika Bulog menyalurkan beras untuk rakyat miskin.
Terkait BPNT, pihaknya masih menerima keluhan soal kualitas beras. Namun, Iis tak tahu sumber beras yang buruk itu dari mana karena tidak ada label. Benhur menjamin kualitas beras Bulog terjaga. Beras Bulog berlabel biru untuk premium dan merah untuk medium. Ia menyatakan, kalau ada staf yang berlaku curang akan ditindak tegas. Desember 2019, ada 28 pegawai Bulog Jabar dipecat.
Ono Surono berpendapat, Bulog seharusnya menjadi penyalur utama BPNT. Dengan begitu, jika ada keluhan soal kualitas beras, pemerintah mudah mengevaluasi ke Bulog. Apalagi, besaran BPNT direncanakan naik dari Rp 110.000 menjadi Rp 150.000 untuk setiap keluarga penerima manfaat BPNT.
Dia menilai, ada kebijakan tidak sinkron di antara lembaga pemerintah. Ketika Bulog membuat Rumah Pangan Kita sebagai kios penjualan produk, Kemensos membuat e-warung. Belum lagi data yang berbeda dari Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik. ”Akhirnya, pemerintah impor beras (2017/2018) sehingga Bulog overstock,” katanya. Jika masalah ini tak ditangani, bukan tidak mungkin Bulog bakal bangkrut.