Rancangan Perpres KPK Rawan Timbulkan Gugatan Praperadilan
Rancangan peraturan presiden terkait pengelolaan organisasi dan tata kerja pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai rawan menimbulkan gugatan praperadilan dari tersangka korupsi.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan peraturan presiden terkait pengelolaan organisasi dan tata kerja pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai rawan menimbulkan gugatan praperadilan dari tersangka korupsi. Sebab, dalam rancangan perpres, pimpinan KPK kembali memiliki status sebagai penyidik dan penuntut umum.
Status pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum telah dihapus dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hasil revisi dari UU No 30/2002. Sebelumnya, status tersebut tertera dalam Pasal 21 Ayat 4 UU No 30/2002 yang mengatakan pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum.
Namun, status penyidik dan penuntut umum kembali disebutkan dalam rancangan perpres terkait pengelolaan organisasi dan tata kerja (OTK) pimpinan KPK. Dalam Pasal 2 Ayat 2 dikatakan bahwa dalam melaksanakan tugas, pimpinan KPK merupakan penyidik dan penuntut umum.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai, perpres seharusnya merupakan turunan dari sebuah UU, bukan untuk menambahkan materi muatan. Hal ini diatur dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan juga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
”Dengan kata lain, desain kelembagaan KPK sudah selesai di UU No 19/2019 dan tidak ada lagi yang bisa diubah melalui perpres. Kehebohan soal status penyidik dan penuntut umum yang diberikan lagi kepada pimpinan KPK, menurut UU No 12/2011, enggak bisa karena merupakan materi muatan UU, tidak bisa di perpres,” ujar Bivitri, Minggu (5/1/2020).
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, juga menegaskan hal senada. Menurut dia, jika tetap dimasukkan dan dijalankan, bukan tidak mungkin nantinya akan dipakai oleh para tersangka korupsi sebagai bahan untuk mengajukan gugatan-gugatan terhadap tindakan penegakan hukum KPK.
Keadaan ini menunjukkan upaya pelemahan sistematis terhadap lembaga antirasuah masih berlanjut. ”Ini (pelemahan) akan terus berlanjut melalui regulasi dan kebijakan pimpinan yang dipilih Presiden Joko Widodo. Pada akhirnya sikap sesungguhnya Jokowi terhadap KPK terlihat dalam perpres ini,” kata Donal.
Tak hanya itu, pembahasan mengenai perpres OTK pimpinan KPK pun sama sekali tidak melibatkan unsur dari KPK. ”Untuk perpres Dewan Pengawas, KPK dilibatkan. Tapi, untuk perpres OTK dan manajemen aparatur sipil negara tidak (dilibatkan),” ujar Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Tak dihapus
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menegaskan, status penyidik dan penuntut umum terhadap pimpinan KPK tidak pernah dihapuskan. Hal ini merujuk pada Pasal 6e UU No19/2019 yang mengatakan KPK bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Pimpinan KPK yang dikatakan bukan lagi penyidik dan penuntut umum, menurut Ghufron, ini salah tafsir. Sebab, kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan merupakan tugas dari penegak hukum.
”KPK itu lembaga, tugasnya ada enam sebagaimana dalam Pasal 6 (UU No 19/2019) dan kami pimpinannya. Lantas, apalagi yang dipersoalkan, bahwa kami bukan hanya berwenang, melainkan memang berkewajiban atau bertugas melaksanakan enam hal tersebut. Itu logikanya,” kata Ghufron.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menyatakan, ia tetap menunggu perpres OTK pimpinan KPK yang saat ini masih berupa rancangan. ”Jika sudah jadi perpresnya, saya yakin Presiden tidak akan melakukan pelemahan kepada KPK,” ucapnya.
Kekeliruan sejak awal
Bivitri menilai, satu-satunya jalan untuk menghidupkan kembali KPK adalah mengembalikan ke UU No 30/2002. Perubahan yang ada dalam perpres adalah sebagian kecil dari perubahan besar-besaran desain kelembagaan KPK dalam UU No 19/2019.
”Selama UU-nya masih dengan UU No 19/2019, mau diubah di sana-sini dengan tambal sulam di perpres pun, sepanjang sesuai materi muatannya, tidak akan membuat KPK seefektif dahulu karena yang berpengaruh terhadap efektivitas dan independensi KPK adalah keseluruhan desain kelembagaannya,” tutur Bivitri.
Mengembalikan UU No 19/2019 ke UU No 30/2002 harus dengan mengubah UU-nya, bukan melalui perpres. Perubahan dapat dilakukan secara norma, yaitu dengan membahasnya dalam Program Legislasi Nasional oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti UU oleh presiden.
Donal pun kembali mengingatkan, posisi masyarakat sipil harus kuat untuk berkonsolidasi melawan elite-elite politik seperti ini. Sebab, kehadiran perpres bukan membuat posisi KPK diperkuat, melainkan posisi presiden yang diperkuat untuk menguasai KPK.