Pemda Minta Dilibatkan dalam Pembahasan ”Omnibus Law”
Pemerintah daerah dinilai berperan penting untuk terlibat dalam pembahasan ”omnibus law”. Sebab, penerapan undang-undang ini ke depan akan berimplikasi langsung kepada pemerintah daerah dan pelaku usaha.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah dinilai berperan penting untuk terlibat dalam pembahasan omnibus law. Sebab, penerapan undang-undang ini ke depan akan berimplikasi langsung kepada pemerintah daerah dan pelaku usaha. Namun, sampai saat ini keterlibatan pemerintah daerah masih kurang dalam pembahasan omnibus law oleh pemerintah pusat.
Omnibus law adalah sebuah undang-undang yang dibuat untuk mengamendemen sejumlah undang-undang sekaligus. Konsep omnibus law terutama terkait dengan banyaknya tumpang tindih peraturan, terutama dalam persoalan investasi hingga perizinan usaha.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, partisipasi dari pemerintah daerah (pemda) dan keterbukaan data menjadi poin penting dalam proses pembahasan omnibus law. Jika tidak dilibatkan, bukan tidak mungkin omnibus law akan digugat ke Mahkamah Konstitusi nantinya.
”Kita minta pemerintah (pusat) jangan bekerja senyap, jangan bekerja sepihak, jangan bekerja sendiri. Kan, izin itu di daerah, jadi jangan seolah-olah omnibus law menjadi produk dari pemerintah pusat,” ujar Endi, di Jakarta, Minggu (15/12/2019).
Jumat (13/12/2019), kata Endi, pemerintah pusat sempat mengundang pemerintah daerah. Namun, pembahasan masih sekadar formalitas. ”Selanjutnya, harus ada pembahasan yang intensif dan komprehensif,” tuturnya dalam diskusi media bertemakan ”Refleksi Otonomi 2019 dan Arah Perbaikan ke Depan”.
Secara terpisah, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) periode 2016-2020 Airin Rachmi Diany menyampaikan, memang pemda belum dilibatkan dalam proses penyusunan omnibus law, baik terkait Cipta Lapangan Kerja maupun Perpajakan. Sebab, draf rancangan undang-undang omnibus masih disiapkan oleh pemerintah.
”Intinya, kami menyambut positif omnibus law ini karena tujuannya menyederhanakan aturan dan untuk menciptakam iklim investasi yang lebih kuat. Namun, yang perlu menjadi catatan bahwa daerah juga harus dibantu agar mampu semakin kuat fiskalnya,” ujar Airin.
Kami menyambut positif omnibus law ini karena tujuannya menyederhanakan aturan dan untuk menciptakam iklim investasi yang lebih kuat. Namun, yang perlu menjadi catatan bahwa daerah juga harus dibantu agar mampu semakin kuat fiskalnya.
Wali Kota Tangerang Selatan ini juga mencontohkan, penguatan fiskal dapat dilakukan melalui pajak daerah. Perlu juga dicatat, pengaturan untuk penguatan investasi di setiap daerah semestinya tidak sama karena keberagaman kondisi atau potensi setiap daerah yang berbeda.
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto juga menyatakan, omnibus law merupakan terobosan yang sangat diperlukan, tetapi memang perlu proses yang partisipatif dan inklusif dari para pemda. Sejauh ini, menurut dia, pemda kurang dilibatkan.
”Baiknya Apeksi serta asosiasi pemerintah kabupaten dan juga provinsi diminta masukan. Jangan sampai ketika sudah tuntas, (omnibus law) tidak bisa diberlakukan maksimal karena realita berbeda,” ujar Bima.
Faktor penghambat
Catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga November 2019, ada 10.190 regulasi dengan berbagai bentuknya. Adapun sekitar 74 undang-undang yang menghambat investasi harus diselaraskan oleh omnibus law.
Analis Kebijakan dari KPPOD, Naomi Simanjuntak, memaparkan, dari 190 kasus investasi pada kelompok kerja empat Kementerian Koordinator Perekonomian RI, faktor utama penghambat perizinan usaha yaitu tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Secara khusus, terkait kewenangan pemberian izin dan kelembagaan perizinan.
Faktor penghambat lain, yakni ketidaklengkapan petunjuk pelaksanaan (NSPK) pelayanan perizinan. Ketidakpastian standardisasi prosedur, waktu, dan biaya juga menjadi penghambat.
”Itulah mengapa peringkat kemudahan berusaha di Indonesia saat ini masih di posisi ke-73 dari target pemerintah di posisi ke-40. Bahkan, turun satu peringkat dibandingkan 2018, yaitu di posisi ke-72,” kata Naomi.
Melalui omnibus law, kata Naomi, juga akan ada reformasi struktur izin yang dilakukan pemerintah, yaitu perizinan akan didorong dengan pendekatan berbasis risiko. Dengan begitu, setiap pelaku usaha yang mengurus izin akan dilihat terlebih dahulu seberapa besar kegiatan usahanya memberikan risiko pada kesehatan, keamanan dan keselamatan, serta lingkungan.
Pendekatan ini membedakan jenis izin yang akan diurus. Dasar penentuan akan dilihat berdasarkan sektor dan risiko yang akan dilibatkan untuk mengklasifikasikan apakah termasuk sektor usaha risiko tinggi, sedang, atau rendah.
”Kalau berisiko tinggi, maka harus mengurus izin, risiko sedang cukup memenuhi standar, sementara risiko rendah hanya cukup melakukan registrasi atas usahanya. Semakin besar risiko bisnis, maka semakin banyak izin yang harus diurus. Pemerintah pun dapat mengontrol lebih ketat,” ujar Naomi.