Abdi Negara Penjarah Uang Rakyat
Selama Januari-Oktober 2019, KPK menangkap tujuh kepala daerah yang terdiri dari enam bupati dan satu gubernur.

Terdakwa Gubernur Riau nonaktif Nurdin Basirun menjalani sidang lanjutan pemberian gratifikasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Awal Oktober lalu, Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam operasi tangkap tangan. Penangkapan ini merupakan operasi pemberantasan korupsi paling mutakhir pada 2019 yang dilakukan KPK terhadap kepala daerah. Selama Januari-Oktober 2019, KPK menangkap tujuh kepala daerah yang terdiri dari enam bupati dan satu gubernur.
Di antara tujuh kepala daerah tersebut, Bupati Lampung Utara adalah yang paling muda. Saat ditangkap, dia berusia 37 tahun, sementara enam lainnya berumur 42-62 tahun. Meski termuda, ia tak bisa mengelak dari virus korupsi seperti generasi kepala daerah yang lebih tua.
Sejak KPK bertugas di tahun 2003 hingga 2019, terdapat sembilan kepala daerah berusia kurang dari 40 tahun yang masuk bui karena korupsi. Di samping sembilan kepala daerah usia muda tersebut, terdapat 112 kepala daerah yang juga terjerat korupsi. Komposisinya adalah 24 kepala daerah berusia antara 40-49 tahun dan 88 kepala daerah berusia lebih dari 50 tahun.
Usia tampaknya tidak bisa menjamin integritas kepala daerah. Dari jumlah tersebut, ada satu kepala daerah yang usianya bahkan baru 30 tahun saat ditangkap pada 2018, yaitu Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra. Dia menjabat wali kota ketika saat menginjak usia 28 tahun, menggantikan ayahnya, Asrun, yang menjabat Wali Kota Kendari dua periode, 2007-2017. Sementara itu, di tingkat provinsi, Gubernur Jambi Zumi Zola menjadi gubernur termuda sebagai terdakwa korupsi.
Usia muda juga tak berarti memiliki jenjang pendidikan rendah. Sembilan kepala daerah usia muda di atas memiliki jenjang pendidikan tinggi. Lima di antaranya bergelar S-1, tiga S-2, dan bahkan satu kepala daerah muda ini bergelar S-3, yaitu Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar. Sama seperti Adriatma Dwi Putra, Irvan Rivano juga menggantikan ayahnya, Tjetjep Muchtar Soleh, sebagai Bupati Cianjur. Tjetjep menjabat Bupati Cianjur selama dua periode, 2006-2016.
Melihat tingkat pendidikan para kepala daerah yang terjaring KPK, proporsi hampir berimbang antara jenjang sarjana strata satu dan dua, yaitu 42,6 persen serta 41,9 persen. Adapun jenjang sarjana strata tiga dimiliki oleh 12 persen kepala daerah. Dengan melihat komposisi ini, mayoritas kepala daerah yang korup tergolong kaum berpendidikan tinggi. Tampaknya, tingkat pendidikan yang tinggi tak menjamin integritas mereka.
Birokrasi
Catatan KPK menunjukkan, sejak 2004 hingga 2018, KPK menindak 998 koruptor. Dari jumlah itu, proporsi terbanyak sebagai pelaku korupsi berturut-turut adalah politisi di parlemen (24,74 persen), pihak swasta (23,84 persen), birokrasi eselon I-IV (19,93 persen), serta kepala daerah (12,12 persen).
Meskipun proporsi kepala daerah pelaku korupsi lebih sedikit dibandingkan dengan proporsi pelaku lainnya, penjeratan kepala daerah dalam tindak pidana korupsi oleh KPK terjadi sejak 2004, tahun awal KPK mulai aktif memberantas korupsi. Adapun jeratan pidana korupsi kepada politisi di parlemen baru mulai marak dilakukan pada 2007.
Gubernur Aceh Abdullah Puteh merupakan kepala daerah pertama yang dijerat kasus korupsi, yakni kasus pembelian helikopter MI-2 tahun 2004. Dua tahun berikutnya, jumlah kepala daerah yang didakwa korupsi bertambah, tak hanya gubernur tetapi juga bupati/wali kota dan wakilnya.
Dari 2006 hingga 2013, rata-rata tiap tahun ada enam kepala daerah digiring ke pengadilan karena korupsi. Tahun 2014 jumlahnya melonjak hingga 15 kepala daerah ditangkap KPK. Pada 2015, jumlahnya berkurang menjadi tujuh kepala daerah, lalu naik menjadi 10 kepala daerah pada 2016, dan terbanyak pada 2018, yakni mencapai 32 kepala daerah.
Selain kepala daerah, birokrasi eselon I-IV mulai dijerat KPK tahun 2004. Jumlahnya bahkan lebih banyak, rata-rata 15 orang per tahun. Eselon I-IV merupakan jabatan struktural birokrasi yang berada di kementerian/lembaga maupun di pemerintahan daerah. Kepala daerah dan birokrasi eselon I sampai IV membentuk satu bangunan birokrasi yang menggerakkan roda pemerintahan dan pembangunan.
Banyaknya kepala daerah maupun pejabat birokrasi di daerah yang dijerat korupsi bisa jadi berhubungan dengan perubahan konstelasi politik saat reformasi. Desentralisasi politik memindahkan sumber-sumber kekuasaan politik dan ekonomi ke daerah. Elite politik (kepala daerah, birokrasi daerah, anggota DPRD) dan ekonomi (pengusaha, pihak swasta) di daerah mendapat peluang membentuk persekutuan untuk menguasai sumber ekonomi, termasuk menggunakan cara yang melawan hukum.
Sumber-sumber ekonomi yang umumnya menjadi sasaran persekutuan antara lain anggaran daerah, sumber daya alam beserta izin pengelolaannya, proyek infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, serta alokasi jabatan di birokrasi daerah. Sumber ekonomi tersebut terbukti menjadi sasaran praktik korupsi para kepala daerah yang sudah didakwa KPK.
Dari 139 perkara korupsi yang menjerat 121 kepala daerah, proporsi tertinggi adalah perkara suap di sektor infrastruktur (22,3 persen). Proyek ini sering kali sangat menguntungkan para pihak yang terlibat sehingga di satu sisi kelompok-kelompok bisnis akan berupaya keras mendapatkannya. Di sisi lain kelompok politik akan menjadikannya sebagai sumber pendapatan dengan memanfaatkan kekuasaan politik yang dimilikinya atas proyek tersebut.
Kasus suap Bupati Tulungagung Syahri Mulyo bisa menjadi contoh. Bupati dan Kepala Dinas PUPR Tulungagung bersekutu memuluskan proyek infrastruktur jalan di Tulungagung dengan menerima suap Rp 2,5 miliar dari pihak swasta.
Perkara korupsi anggaran menjadi perkara terbanyak kedua (14,4 persen) yang dilakukan para kepala daerah. Sejak otonomi daerah diberlakukan, penguasa politik di daerah mendapatkan wewenang pengelolaan anggaran. Bagi elite politik lokal, anggaran yang berlimpah sumber pendapatan pribadi atau kelompok.
Kasus korupsi Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo termasuk dalam kategori perkara korupsi anggaran. Ia menggunakan APBD untuk keperluan pribadi Rp 66,7 miliar. Kewenangan pengelolaan anggaran membuka peluang kepala daerah untuk menyalahgunakannya bagi kepentingan pribadi.

Menghancurkan
Tindak pidana korupsi tak hanya merugikan, tetapi juga menghancurkan kehidupan banyak orang. Kajian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, kerugian negara akibat korupsi sepanjang tahun 2018 mencapai Rp 9,29 triliun. Adapun data kajian Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM menyatakan jumlah kerugian akibat korupsi 2001-2015 mencapai Rp 203,9 triliun.
Apa yang bisa dilakukan dengan uang Rp 9,29 triliun? Sebagai perbandingan, biaya pembangunan jalan tol sepanjang 99 kilometer yang menghubungkan Samarinda dan Balikpapan, Kalimantan Timur, membutuhkan anggaran Rp 9,9 triliun. Artinya, dengan uang Rp 9,29 triliun, pemerintah bisa membangun puluhan kilometer jalan tol untuk mempercepat transportasi barang dan orang.
Kerugian akibat korupsi tak bisa dihitung hanya dari nominal kerugian negara, tetapi juga biaya sosial yang ditimbulkannya. Menurut ahli ekonomi Rimawan Pradiptya, biaya sosial korupsi dihitung 2,5 kali dari angka kerugian negara. Hal ini dilakukan untuk menghitung dampak ikutan yang ditimbulkannya.
Korupsi pembangunan jembatan, misalnya, mengakibatkan durasi ketahanan jembatan berkurang, dari yang seharusnya 50 tahun menjadi hanya 30 tahun. Seharusnya, selama 20 tahun tidak perlu ada dana pembangunan jembatan, tetapi karena dananya dikorupsi, terpaksa diambil dana pembangunan sektor lain seperti pendidikan untuk membangun jembatan. Akibatnya, banyak anak tidak bisa bersekolah karena anggaran renovasi sekolah dipakai bagi keperluan membangun jembatan. Oleh karena itu, korupsi sesungguhnya tak hanya merugikan negara, tetapi juga menghancurkan kehidupan masyarakat di berbagai sektor.
Uang hasil korupsi umumnya digunakan pelaku untuk akumulasi kekayaan pribadi dan kelompoknya. Sehingga korupsi oleh para kepala daerah merupakan bentuk penjarahan sumber daya negara oleh para abdinya sendiri. (Litbang Kompas)