Tren pemotongan hukuman terhadap terpidana korupsi menandai adanya perubahan pendekatan dalam melihat perkara korupsi. Hal ini mengusik rasa keadilan publik.
Oleh
Rini Kustiasih dan Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rangkaian pemotongan hukuman terhadap terpidana kasus korupsi beberapa waktu terakhir mengindikasikan adanya kecenderungan pergeseran pendekatan hukum terhadap koruptor. Padahal, hukuman ringan terhadap pelaku korupsi berpotensi menimbulkan inkonsistensi antara aturan tertulis dan praktik pemberian hukuman.
Awal pekan lalu, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan eks Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dalam kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1. Vonis Idrus menjadi dua tahun penjara, denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan.
Pada putusan Pengadilan Tipikor, Idrus divonis tiga tahun penjara, denda Rp 150 juta subsider dua bulan kurungan. Pada tingkat banding di Pengadilan Tipikor pada PT DKI Jakarta, hukumannya diperberat menjadi lima tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. Pengurangan hukuman terhadap terpidana kasus korupsi ini bukan yang pertama terjadi (Kompas, 4/12/2019).
Pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Agustinus Pohan, Rabu (4/1/2019), mengatakan, keluarnya putusan itu bisa dilihat sebagai bentuk refleksi atas sikap negara dalam menangani perkara korupsi. Penanganan terhadap korupsi yang seolah melunak dengan ditandai putusan yang ringan terhadap kasus korupsi menunjukkan adanya perubahan cara pikir negara dalam melihat perkara korupsi dan cara penanganannya.
”Pendekatannya seperti diubah karena melihat pendekatan hukuman yang berat ternyata belum berhasil mengakhiri korupsi. Kalau dilihat dari kacamata lain, seharusnya hukuman kian diperberat untuk memastikan efek jera itu berhasil,” katanya.
Sebelumnya, juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, menegaskan, putusan MA telah mempertimbangkan keadilan, tak hanya bagi kepentingan pencari keadilan, terpidana, atau terdakwa, tetapi juga masyarakat dan negara.
”Pemberian putusan yang dinilai ringan atau berat selalu dipertimbangkan secara matang. Tak mungkin hakim sewenang-wenang dalam menjatuhkan putusan,” katanya.
Keringanan hukuman
Menurut Agustinus, pendekatan lunak dalam pemberian keringanan hukuman badan harus pula diimbangi dengan pemberatan dari sisi lain. Misalnya dengan memberlakukan denda atau kewajiban mengembalikan dampak kerugian negara yang lebih berat.
Jika pemberian keringanan hukuman kepada pelaku tindak pidana korupsi tidak diiringi pemberatan dari sisi finansial, yang timbul adalah inkonsistensi dalam penerapan hukum.
Sementara itu, Abdul Fickar Hadjar, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, mengingatkan, kebebasan kekuasaan kehakiman dalam memutus perkara bukanlah kebebasan tanpa batas. Hal itu dibatasi undang-undang terkait kepastian hukum dan putusan kontekstual sesuai rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat.
Dia mengatakan, selain hal- hal itu, ada pula pertimbangan soal apakah kebebasan itu bermanfaat sebagai solusi yang baik bagi masyarakat, negara, atau pelaku.
”Jadi, penggunaan kebebasan itu sebuah pilihan yang seharusnya memenuhi tiga kepentingan itu sekaligus,” kata Fickar.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, tren vonis ringan bagi pelaku korupsi masih sering terjadi. ICW mencatat, sepanjang 2018 rata-rata hukuman terhadap pelaku korupsi dua tahun lima bulan penjara. Cita- cita memberikan efek jera kepada pelaku korupsi dinilai masih jauh dari harapan.
Putusan ringan bagi koruptor mengusik rasa keadilan publik. Sebab, perbuatan korup itu merugikan mereka sebagai warga negara.
”Sepertinya ada ketidaksatuan pandangan dalam melihat kejahatan korupsi. Semestinya, jika seseorang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi, tidak ada lagi pengurangan hukuman. Bahkan, akan lebih baik jika diberikan hukuman maksimal,” katanya.