Demokrasi itu sejatinya apa? Demokrasi adalah sistem yang menjamin partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.Demokrasi juga merupakan sistem yang dibangun atas konsep ”dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Oleh
R Siti Zuhro
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Spanduk dengan foto Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartato menghiasi lokasi Musyawarah Nasional X Partai Golkar di Jakarta, Rabu (4/12/2019).
Untuk menggerakkan mesin demokrasi diperlukan pilar-pilar penting, khususnya parpol. Parpol sebagai pilar demokrasi memiliki fungsi dan peran signifikan, secara internal maupun eksternal. Secara internal, parpol harus mampu menjadikan dirinya sebagai partai kader, tempat atau wadah bagi kader-kader yang notabene akan menjadi calon pemimpin.
Partai juga jadi tempat pelatihan kepemimpinan, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Partai juga melakukan pelembagaan (institusionalisasi) nilai-nilai demokrasi. Secara eksternal, parpol melakukan pendidikan politik, menyerap dan mengakomodasi aspirasi rakyat, melakukan pendewasaan politik. Mengingat fungsi-fungsi itu, partai menjadi kunci utama proses demokrasi. Baik buruknya demokrasi, sehat beradabnya demokrasi yang kita jalani, akan sangat bergantung pada kualitas partai kita.
Secara umum partai di Indonesia belum mampu membangun dirinya sebagai institusi demokrasi. Konsistensi para elite politik sangat rendah untuk melakukan hal itu. Tarikan kepentingan yang mengutamakan vested interest lebih menonjol. Ini jadi bukti pragmatisme dan oportunisme partai.
Baik buruknya demokrasi, sehat beradabnya demokrasi yang kita jalani, akan sangat bergantung pada kualitas partai kita.
Realitas saat ini
Dinamika politik Indonesia berkembang cukup pesat sejak 1998, ditandai dengan makin menguatnya civil society, perubahan sistem kepartaian, peran DPR (parlemen), dan pemilu. Parpol dan parlemen cenderung mendominasi kekuatan politik di Indonesia.
Ingar-bingar politik Indonesia tak dapat dilepaskan dari aktivitas parpol dan DPR. Menguatnya peran parpol dan parlemen ini berpengaruh pada peta politik Indonesia meski pengaruhnya tak seluruhnya positif. Contohnya, fragmentasi parpol yang terjadi belakangan ini menyebabkan parpol tak solid. Jumlah fraksi dari periode ke periode cenderung meningkat. Ironisnya, fragmentasi kepartaian kian meningkat ketika kebijakan untuk menaikkan electoral threshold diterapkan.
Padahal, ketika electoral threshold dinaikkan, jumlah partai yang punya kekuatan signifikan di DPR menurun karena kekuatan politik kian terkonsentrasi. Seiring dengan itu, jumlah fraksi partai juga kian mengecil sehingga pekerjaan DPR lebih mudah diprediksi. Masalahnya, tingkat ketakpuasan massa pada parpol cenderung kian tinggi. Aspirasi dan kepentingan massa tak terwakili dalam proses pengambilan keputusan/kebijakan publik. Parpol tak melakukan fungsi intermediasi secara maksimal.
Representasi yang seharusnya dilakukan parpol untuk menyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat absen. Parpol juga tampak sibuk dan terjebak dalam pergulatan kepentingannya sendiri dan mengabaikan massa yang jadi pendukungnya dalam pemilu. Proses pengabaian ini secara lambat tetapi pasti telah mendelegitimasi eksistensi parpol. Bagi massa, parpol gagal melaksanakan peran dan fungsinya dan cenderung menggunakan institusi hanya untuk memperjuangkan kekuasaan dan kepentingannya sendiri.
Karena itu, rakyat akan mencari solusi atau jalannya sendiri, baik melalui demonstrasi, protes, maupun gerakan-gerakan yang dibangun untuk menunjukkan soliditas dan eksistensinya. Muncul tokoh-tokoh politik perseorangan yang kian marak belakangan ini, seperti terbentuknya komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi. Juga gerakan kaum muda yang menginginkan adanya perubahan riil dan kemajuan Indonesia semakin mengedepan.
Gagalnya parpol melakukan terobosan penting dalam mendorong peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat akan memunculkan lebih banyak lagi komite/komunitas baru atau gerakan massa baru yang menuntut perubahan dan menawarkan tokoh-tokohnya. Atas nama keterpurukan ekonomi, meningkatnya jumlah kemiskinan dan pengangguran dan kekecewaan masyarakat terhadap elite politik, ke depan sulit dihindarkan munculnya gerakan massa baru. Kecenderungan departaisme seiring menguatnya peran tokoh tersebut tampaknya akan berlangsung terus apabila partai tak melakukan reformasi.
Pergulatan politik ke depan akan diwarnai oleh maraknya kompetisi antartokoh yang ada seperti yang kita saksikan dalam pemilu legislatif dan pilpres satu dekade belakangan ini. Keinginan merampingkan jumlah partai untuk mewujudkan pemerintahan presidensial yang efektif kian menguat. Ini diharapkan jadi langkah awal merealisasikan terbentuknya pemerintahan yang didukung partai yang memperoleh suara mayoritas (50 persen + 1) di parlemen. Dengan cara itu, pemerintah relatif lebih mudah menghadapi adangan parlemen, dan parpol diharapkan dapat bekerja lebih profesional.
Problematika parpol
Absennya beberapa fungsi yang tak dilakukan parpol membuat kepercayaan rakyat ke parpol menurun drastis. Parpol belum jadi partai kader, tetapi lebih mengandalkan peran ketokohan ketua partai atau ketua dewan pembina. Pembenahan partai tampak kian sulit di tengah maraknya kasus korupsi partai atau politisi di parlemen. Upaya menyehatkan politik tak kunjung jadi realitas di saat distorsi makin intensif.
UU Partai Politik diharapkan dapat memperbaiki sistem kepartaian yang ada, tetapi yang muncul justru kontroversi dan ketidakpuasan.
Sejak 1999 Indonesia dikuasai parpol. Dan dampaknya sangat krusial terhadap sistem politik dan demokrasi di Indonesia. Salah satu pengaruhnya, perubahan dan terobosan politik yang dibuat selama ini cenderung melompat-lompat dan tak substansial.
Sebagai payung hukum, UU Partai Politik diharapkan dapat memperbaiki sistem kepartaian yang ada, tetapi yang muncul justru kontroversi dan ketidakpuasan. Padahal, baik buruknya parpol akan berpengaruh terhadap penguatan dan peningkatan efektivitas sistem pemerintahan. Bahkan, praktik sistem presidensial banyak menghadapi kendala di tengah pelaksanaan sistem multipartai.
Rekomendasi
Penyederhanaan sistem kepartaian sangat relevan untuk diterapkan dalam rangka menciptakan sistem multipartai sederhana, yaitu sederhana dalam jumlah partai dan dalam pengelompokan ideologis. Kepengurusan partai pusat dan daerah minimal terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan ketua-ketua departemen. Parpol baru boleh ikut pemilu apabila minimal sudah berusia lima tahun dari sejak didirikan atau dibentuk. Penguatan pelembagaan partai diperlukan untuk mendorong partai kader dan kemandirian dana.
Sebagai konsekuensi partai kader, partai dilarang memiliki underbouw. Partai hanya boleh mengefektifkan cabang dan ranting-rantingnya. Satgas partai dilarang menyerupai simbol-simbol dan atribut militer. Partai dituntut memperketat sistem dan pola perekrutan keanggotaan partai, membangun sistem kaderisasi dan kepemimpinan, serta memiliki program yang jelas dalam memenuhi fungsi-fungsinya.
Salah satu problem partai politik di Indonesia adalah ketiadaan political merit system. Partai-partai di Indonesia pada akhirnya tidak dapat menjalankan fungsi politik, yaitu pendidikan politik, integrasi politik, dan artikulasi kepentingan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya ideologi yang kuat sebagai landasan dalam menyusun platform dan tidak adanya proses kaderisasi parpol yang baik.
Salah satu problem partai politik di Indonesia adalah ketiadaan political merit system.
UU Parpol perlu direvisi. UU Parpol harus mengatur syarat-syarat umum perekrutan dan sistem pengaderan yang diterapkan oleh partai politik, dan fungsi pendidikan politik, integrasi politik, dan artikulasi kepentingan. Ini penting untuk mengurangi kecenderungan pola partai massa yang hanya sibuk menjelang pemilu, sistem keanggotaan yang sangat longgar, tidak ada seleksi ketat dalam perekrutan keanggotaan, dan partai yang tak memiliki sistem pengembangan kaderisasi dan pemimpin yang kuat. Karena itu, partai gagal membangun kader-kader yang berdedikasi dan berkarakter.
Agar sistem partai kader bisa tercipta, underbouw parpol tak dibutuhkan lagi. Ini juga dimaksudkan agar ada pembatasan jelas antara political society dan civil society, dan parpol harus dibedakan dengan ormas. Selain itu, kemandirian parpol diperlukan agar parpol tak senantiasa mencari ”cantolan” ke penguasa sehingga intervensi kepengurusan partai oleh penguasa dapat diminimalkan.