Gugatan Tim Pembela Kebebasan Pers terhadap tindakan pemerintah membatasi dan memblokir akses layanan data telekomunikasi di Papua dan Papua Barat pada Agustus lalu akan disidangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Pembela Kebebasan Pers menggugat tindakan pemerintah membatasi dan memblokir akses layanan data telekomunikasi di Provinsi Papua dan Papua Barat pada Agustus lalu. Gugatan ini akan segera disidangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Safenet mengajukan gugatan ini pekan lalu. Mereka didampingi beberapa kuasa hukum, meliputi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), serta Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dengan nomor perkara 230/G/2019/PTUN-JKT.
Ketua AJI Abdul Manan mengatakan, gugatan ini akan menjadi preseden baik bagi pihak-pihak yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. ”Pemblokiran internet di Papua sangat merugikan. Pertama, karena kita menganggap tindakan memblokir internet ini dilakukan dengan kebijakan yang tidak pantas, yaitu hanya dengan mengeluarkan siaran pers. Ini benar-benar langkah yang tidak elok dan tak terukur untuk sebuah kebijakan yang berdampak sangat besar kepada kehidupan publik,” ucapnya, Selasa (3/12/2019), di Jakarta.
Gugatan ini akan menjadi preseden baik bagi pihak-pihak yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah.
Dengan pemblokiran tersebut, pemerintah telah mengambil hak masyarakat untuk mengetahui informasi. Jika memang kebijakan pemutusan internet terpaksa harus diambil, pemerintah semestinya menyiapkan dasar hukum yang benar-benar kuat, bukan sekadar siaran pers.
Kedua, menurut Manan, pemblokiran bukan tidak boleh dilakukan. Hanya saja, Tim Pembela Kebebasan Pers ingin memastikan bahwa pemblokiran itu dilakukan dengan cara yang cukup akuntabel, misalnya pemerintah harus mempersiapkan argumentasi yang cukup kuat, yaitu melalui pengadilan, untuk melakukan tindakan semacam ini.
Proses ”dismissal”
Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam proses dismissal atau pengecekan kewenangan pengadilan, Senin, 2 Desember, menyatakan, hakim bisa menyidangkan perkara gugatan Tim Pembela Kebebasan Pers karena perkara tersebut masuk dalam kewenangan PTUN. Proses dismissal ini menggunakan peraturan baru, yakni Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019. Ini merupakan gugatan pertama yang menggunakan Perma No 2/2019 sejak peraturan ini terbit.
”Segala tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hukum akan diproses ke PTUN. Selanjutnya, mereka akan menunjuk hakim untuk menyidangkan perkara ini,” kata Direktur LBH Pers Ade Wahyudin.
Tindakan pemerintah memutus akses internet di Papua dan Papua Barat dianggap tidak berdasar hukum dan melanggar hukum. Tindakan tersebut merugikan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi secara keseluruhan.
Dalam proses dismissal, perwakilan pemerintah yang hadir hanya Kementerian Kominfo selaku tergugat dua. Sementara itu, pihak tergugat pertama, yaitu Presiden Joko Widodo, tidak mengirimkan perwakilan.
Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto mengatakan, pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus lalu benar-benar merugikan masyarakat secara luas. Gugatan ini bergulir ke pengadilan lantaran keberatan yang sudah disampaikan sebelumnya tidak digubris oleh pemerintah.
Gugatan ini bergulir ke pengadilan lantaran keberatan yang sudah disampaikan sebelumnya tidak digubris oleh pemerintah.
”Tanggapan dari pemerintah agak mengecewakan karena sampai hari ini kami tidak menerima jawaban atas keberatan tersebut. Proses lanjutan dari proses keberatan, ya, ke pengadilan, untuk mempertanggungjawabkannya,” ucapnya.
Menurut Damar, pembatasan dan pemblokiran akses layanan data telekomunikasi menyebabkan masyarakat Papua dan Papua Barat terhambat mengabarkan situasi keselamatan diri mereka dan kesusahan mendapatkan informasi pada saat terjadi kerusuhan Agustus lalu. Pembatasan dan pemblokiran juga mengganggu perputaran roda perekonomian, menghambat kegiatan masyarakat yang mengandalkan internet.
Direktur Eksekutif ICJR Anggara juga mengatakan, pembatasan, bahkan pemblokiran, akses layanan telekomunikasi di Papua dan Papua Barat merupakan tindakan sewenang-wenang. Keputusan ini pun tidak sesuai dengan kewenangan pemerintah dalam Pasal 40 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pembatasan akses internet tidak sesuai dengan semangat Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi serta Pasal 19 Deklarasi Umum HAM yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi.