Kendati dilindungi negara dan diakui secara universal, Perempuan Pembela HAM masih mengalami teror, ancaman, dan kekerasan yang dilekatkan dengan ketubuhan dan peran-peran jendernya sebagai perempuan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kendati Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia dilindungi negara dan diakui secara universal, hingga kini mereka mengalami ancaman dan berbagai bentuk pelanggaran HAM. Bahkan Perempuan Pembela HAM mengalami teror, ancaman, dan kekerasan yang dilekatkan dengan ketubuhan dan peran-peran jendernya sebagai perempuan.
Berbagai kasus terus menimpa Pembela HAM karena masih belum adanya pengakuan terhadap Pembela HAM, dan belum ada jaminan perlindungan bagi pembela HAM. Pemahaman pemerintah dan publik akan kehadiran pembela HAM juga belum maksimal. Bahkan hingga kini masih ada kekosongan hukum terkait turunan regulasi tentang jaminan perlindungan ke dalam kebijakan yang lebih operasional atau terprogram.
Hal ini terungkap dalam Seminar “Mewujudkan Perlindungan bagi Perempuan Pembela HAM dalam Kepemimpinan Baru Indonesia” yang diselenggarakan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Koalisi Pembela HAM di Museum Nasional Jakarta, Jumat (29/11/2019). Seminar yang digelar bertepatan dengan Peringatan Hari Perempuan Pembela HAM Internasional yang jatuh pada tanggal 29 November, yang juga dengan rangkaian Kampanye Nasional 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Seminar menghadirkan pembicara kunci, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Vennetia R Dannes. Seminar juga mendengarkan paparan dari Hairansyah (Wakil Ketua Internal Komnas HAM) tentang Agenda Perlindungan Pembela HAM/Perempuan Pembela HAM sebagai Bagian dari Advokasi HAM Ke Depan, Yuniyanti Chuzaifah (Wakil Ketua Komnas Perempuan) tentang Perempuan Pembela HAM dan Isu HAM Perempuan, serta Ilyas Asaad (Inspektur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) tentang Membangun Regulasi Perlindungan Pembela HAM Lingkungan Hidup.
Vennetia menegaskan, Perempuan Pembela HAM adalah individu atau kelompok perempuan yang memperjuangkan hak asasi manusia khususnya hak-hak perempuan dan kelompok rentan lainnya. Mereka bisa berasal dari mana saja dan dari berbagai kalangan antara lain dari akademisi, politisi dan bahkan para penyintas
“Perempuan Pembela HAM mendapatkan perhatian dalam isu HAM secara internasional melalui Deklarasi Marakesh di Maroko yang disepakati oleh negara-negara anggota PBB pada Oktober 2018. Deklarasi tersebut memandatkan kepada negara anggota untuk terus mempromosikan HAM dan peran Perempuan Pembela HAM,” ujar Vennetia.
Selain internasional, dalam konteks nasional, sosok Pembela HAM juga disebut dalam sejumlah regulasi, meskipun dengan terminologi yang bervariasi. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial, menyebut “Pembela Hak Asasi Perempuan”.
Meski demikian, Vennetia mengakui masih ada kekosongan hukum terkait turunan regulasi tentang jaminan perlindungan ke dalam kebijakan yang lebih operasional atau terprogram. Akibatnya, implementasi jaminan perlindungan kepada Pembela HAM belum efektif, sehingga rentan mengalami ancaman maupun kekerasan.
“Tantangan perlindungan kepada Perempuan Pembela HAM masih belum menjadi prioritas, meskipun di sisi lain sudah semakin mengupayakan perlindungan untuk kasus kekerasan berbasis jender,” katanya.
Peran Pembela HAM
Hairansyah para Pembela HAM, dengan berbagai latarbelakang profesi, baik petani, nelayan, buruh, jurnalis, pengacara, peneliti, seniman, maupun berbagai profesi lainnya, berkontribusi dalam memajukan hak asasi manusia hingga saat ini.
“Pembela HAM merupakan salah satu pilar penting dalam mendorong konsolidasi demokrasi serta dikenal kristis terhadap pemerintah, guna memastikan bahwa negara melakukan tindakan yang diperlukan untuk menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM,” katanya.
Namun kerja-kerja pembelaan HAM kerap mendapat tantangan, dan dianggap sebagai ancaman tidak hanya bagi pelaku, akan tetapi juga oleh rezim yang berkuasa. Berbagai bentuk pelanggaran hak asasi, mulai dari ancaman, pelecehan, kriminalisasi, kekerasan, penculikan, bahkan sampai pembunuhan, umum dialami oleh para Pembela HAM.
Yuniyanti juga mengungkapkan berbagai temuan Komnas Perempuan terkait Perempuan Pembela HAM yang antara lain rentan mengalami kekerasan berulang, kekerasan berbasi jender, stigma yang bernuansa agama. Bahkan dalam kekerasan konteks sumber daya alam juga menguat dalam bentuk penyerangan deng pelibatan preman. Kekerasan yang dialami pun semakin sadis.
Karena itu Komnas Perempuan terus mendesak kepada pemerintah agar memberikan pengakuan atas keberadaan Perempuan Pembela HAM, memperkuat dukungan kerjanya, memastikan perlindungan dan keamanan, serta melakukan pemulihan.
Dari Laporan Pemetaan Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia 2018 (Sebuah Ringkasan) yang disusun Forum Pengada Layanan untuk Perempuan Korban Kekerasan (FPL) menemuka bahwa perempuan Pembela HAM tidak mengakui bahwa mereka sebenarnya adalah perempuan Pembela HAM. Kondisi tersebut menyebabkan mereka berada pada posisi rentan atas diskriminasi, kekerasan dan ancaman
Oleh sebab itu, FPL memberikan rekomendasi agar perlindungan Perempuan Pembela HAM harus mencakup aspek perlindungan menyeluruh baik perlindungan dari ancaman dan kekerasan karena fokus pekerjaannya, karena keperempuannya maupun perlindungan dari keterpurukan standar kemanusiaan karena tidak terpenuhinya kebutuhan dasar hidupnya. Negara bersama dengan Komnas Perempuan harus duduk bersama untuk merumuskan mekanisme perlindungan bagi perempuan Pembela HAM dalam bentuk kebijakan, minimal jangka pendek, dan menengah.