Soal Grasi Koruptor Annas Maamun, Mahfud MD Enggan Berkomentar
Dasar pemberian grasi untuk terpidana korupsi Annas Maamun harus dijelaskan. Alasan kemanusiaan tak bisa diterima. Sebab, korupsi telah mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG dan INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alasan Presiden Joko Widodo memberikan grasi untuk terpidana korupsi yang pernah menjabat Gubernur Riau Annas Maamun menuai banyak pertanyaan. Pasalnya, hal itu bertolak belakang dengan agenda pemberantasan korupsi. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang diharapkan bisa menjelaskan justru memilih membisu.
Sepanjang Rabu (27/11/2019), Kompas mencoba menanyakan pemberian grasi itu kepada Mahfud MD. Sebagai pembantu Presiden yang salah satu tugasnya mengoordinasikan kebijakan di bidang hukum seharusnya dia mengetahui alasan Presiden memberikan grasi tersebut.
Namun, setiap kali ditanyakan persoalan itu, Mahfud enggan berkomentar. Seusai menghadiri seminar yang digelar Ombudsman Republik Indonesia di salah satu hotel di Jakarta Selatan, Rabu (27/11/2019) pagi, misalnya, dia hanya tersenyum saat Kompas menanyakan grasi Annas Maamun.
Saat Mahfud MD ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kompas bersama puluhan wartawan lain kembali coba menanyakan persoalan tersebut kepada Mahfud. Namun, seusai acara di Kemenkumham, dia memilih langsung meninggalkan Kemenkumham mengabaikan wartawan yang menunggunya.
Kemudian, seusai rapat dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Fachrul Razi di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, dia kembali enggan menjawab pertanyaan di luar materi pertemuan dengan Mendagri dan Menag. Pertemuan itu membahas soal izin Front Pembela Islam dan persoalan Habib Rizieq.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun, mengatakan, pemberian grasi terhadap terpidana korupsi menuai banyak pertanyaan. Sebab, grasi bertolak belakang dengan agenda pemberantasan korupsi, juga tak selaras dengan janji Presiden memperkuat pemberantasan korupsi.
Ditambah lagi, grasi diberikan di tengah pesimisme publik pada agenda pemberantasan korupsi setelah Presiden membiarkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Revisi UU KPK yang telah disahkan, pertengahan Oktober lalu, dinilai banyak kalangan bakal melemahkan KPK.
Oleh karena itu, pemerintah harus menjelaskan. Alasan pemberian grasi dengan pertimbangan kemanusiaan, menurut dia, tidak bisa diterima. Sebab, justru korupsi yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
”Presiden tidak boleh seenaknya membuat keputusan, apalagi yang berhubungan dengan agenda pemberantasan korupsi,” katanya.
Menurut Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Ade Kusmanto, Selasa (26/11/2019), grasi untuk Annas berupa potongan hukuman 1 tahun penjara diberikan dengan pertimbangan kemanusiaan. Annas yang saat ini berusia 78 tahun sering sakit-sakitan.
Dengan grasi tersebut, Annas yang semestinya baru bebas pada 3 Oktober 2021 bisa bebas lebih awal, yaitu pada 3 Oktober 2020.
Keputusan pemberian grasi dari Presiden yang bernomor 23/G Tahun 2019 tertanggal 25 Oktober 2019 ini seolah mengembalikan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jawa Barat, yang menghukum Annas 6 tahun penjara pada 2015. Namun, tahun 2018, hukumannya diperberat oleh majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) menjadi 7 tahun penjara.
Pasal 6A Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan, demi kepentingan kemanusiaan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berwenang meneliti dan melaksanakan pengajuan grasi tersebut. Presiden kemudian memutuskan setelah mendapat pertimbangan hukum tertulis dari MA.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa juga mempertanyakan alasan Presiden memberikan grasi kepada Annas. Menurut dia, pemberian grasi memang merupakan hak konstitusional Presiden, tetapi harus didasarkan alasan yang kuat.
”Harus dicek, benar atau tidak Annas sakit. Kalau alasannya bukan karena sakit, Presiden tidak bisa menepati janji-janjinya memberantas korupsi. Hal-hal seperti ini yang perlu menjadi pertanyaan,” ucapnya.
Namun, kalaupun sakit, seharusnya Annas diberikan kesempatan berobat terlebih dulu, bukan dengan mudahnya diberikan grasi.
Kasus Annas
Di tempat terpisah, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, KPK telah menerima surat dari Kemenkumham terkait grasi tersebut.
”Namun, pada saat yang sama, kami belum mendapat informasi apa alasan pemerintah menetapkan Pak Annas Maamun untuk mendapatkan grasi,” katanya di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Dia pun mengatakan, sekalipun Annas sudah ditahan, KPK masih belum tuntas menelusuri keterlibatan pihak lain dalam perkara korupsi yang menjerat Annas. ”Sebagian besar masih dalam penyidikan oleh KPK. Salah satunya dugaan keterlibatan PT Duta Palma,” katanya.
Karena belum tuntas, Laode berharap Annas tetap kooperatif jika kelak dia sudah dibebaskan. ”Kami pun berharap agar Annas bisa tetap kooperatif untuk menindaklanjuti kasus yang berhubungan dengan dirinya,” katanya.