Pemilik Mobil Mewah Lari dari Kewajiban Bayar Pajak
Pemilik mobil mewah mencoba menghindari kewajibannya membayar pajak atas barang yang dimiliki. Mereka mencatut nama orang lain sebagai pemilik mobilnya. Kenyataan yang perlu jadi pelajaran pemilik kartu kependudukan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/ADITYA DIVERANTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pajak Retribusi Daerah DKI Jakarta menemukan 158 pemilik mobil mewah yang melakukan pembelian kendaraan dengan kartu tanda penduduk milik orang lain. Modus ini kerap digunakan untuk menghindari pajak progresif daerah dan menutupi jejak sumber uang pembelian mobil mewah tersebut. Ironisnya, pemilik KTP asli berasal dari kelompok penerima bantuan sosial.
Berdasarkan catatan Badan Pajak Retribusi Daerah (BPRD) DKI per Rabu (27/11/2019), dari total 1.140 pemilik mobil mewah yang belum melunasi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), ada 158 pemilik kendaraan yang melakukan pembelian dengan KTP milik orang lain. Hal itu terungkap setelah petugas BPRD DKI menagih langsung tunggakan PKB ke rumah-rumah para wajib pajak.
Modus ini menyulitkan pemerintah daerah untuk melacak keberadaan pemilik kendaraan mewah. Akibatnya, upaya penarikan pajak pun tidak berjalan optimal.
”Pertama, potensi untuk (pengenaan pajak) progresif kami (DKI Jakarta) tidak kena. Kedua, kami jadi tak punya basis data pembawa kendaraan sebenarnya,” ujar Kepala BPRD DKI Jakarta Faisal Syafruddin.
Belakangan ini, Pemerintah DKI gencar mengejar pendapatan pajak daerah, salah satunya PKB. Dari total 1.140 penunggak pajak kendaraan mewah, potensi pajak yang dihasilkan bisa mencapai Rp 30 miliar.
Penerima bantuan
Faisal menjelaskan, setelah ditelusuri berdasarkan alamat KTP pembeli mobil mewah, petugas BPRD tidak menyangka tempat tinggal mereka ada di gang-gang sempit. Bahkan, mereka merupakan penerima bantuan sosial, Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus. ”Jadi, mereka (pengemplang pajak) menggunakan identitas orang lain, terutama pemilik KJP,” ucap Faisal.
Salah satu warga yang namanya dicatut bernama Dimas Agung Prayitno (21), lelaki yang tinggal di Jalan Mangga Besar IV P, Tamansari, Jakarta Barat. Dimas tercatat menunggak pajak mobil Rolls-Royce Phantom sebesar Rp 200 juta. Ayah Dimas, Rejo bindagyo (55), terkejut ketika petugas BPRD DKI mendatangi rumahnya yang berdinding tripleks di gang sempit pada Selasa, 19 November.
Rejo menyebutkan, Dimas adalah korban dari penyelewengan penggunaan KTP tersebut. Anaknya yang sehari-hari bekerja sebagai ojek dalam jaringan (daring), menurut dia, tak mungkin membeli mobil mewah.
”Saat ada petugas, ya, seadanya aja ngomong. Logikanya, mobil Rolls-Royce, gitu. Mobilnya bentuknya seperti apa saja kami enggak pernah tahu,” ujar Rejo, yang juga penerima bantuan KJP Plus.
Rejo mengatakan, pada 2017, KTP anaknya pernah dipinjam pemilik mobil mewah saat menjadi kuli bangunan di rumah pemilik kendaraan itu. Namun, Dimas tak pernah berprasangka buruk bahwa KTP-nya itu dipinjam untuk membeli mobil mewah.
”Setelah KTP dikembalikan, nomor orang itu (pemilik kendaraan) tak bisa dihubungi. Hilang begitu saja. Setelah kejadian ini, saya minta anak-anak untuk lebih hati-hati. Jangan segampang itu pinjemin KTP,” tutur Rejo.
Edi Hartono (49), warga RT 009 RW 010, Tebet Timur, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, juga dicatut identitasnya atas kepemilikan mobil mewah. Dalam tagihan pembayaran pajak kendaraan pada Oktober lalu, ia tercatat bertanggung jawab atas kepemilikan dua mobil merek Mercedes-Benz dan satu merek Ferrari per Januari 2019.
Edi yang tinggal mengontrak bersama seorang istri dan dua anak terkejut atas data kepemilikan mobil mewah tersebut. Sebab, ia yang tinggal mengontrak sambil berdagang sepatu merasa tidak pernah memiliki mobil mewah. Apalagi, ia tidak mampu untuk membayar tunggakan.
Tunggakan tersebut kontras dengan kehidupannya yang pas-pasan serta termasuk penerima bantuan KJP Plus. Sementara itu, dalam catatan Samsat Jakarta Selatan, total tunggakan pajak ketiga mobil yang dipasang atas namanya itu mencapai Rp 25 juta.
Ia menduga, kepemilikan mobil mewah yang tercatat di tunggakan pajak berasal dari KTP-nya yang hilang saat mengurusi formulir peremajaan angkot pada 2017. Sebelumnya, ia pernah menjadi sopir angkutan kota (angkot) nomor M34 untuk trayek Pasar Minggu-Manggarai.
”Waktu itu, KTP saya memang hilang karena digunakan untuk mengurusi peremajaan angkot. Tidak tahu apakah saat proses itu KTP saya kemudian disalahgunakan. Gara-gara ini pun, saya sampai dipanggil oleh sekolah anak karena dianggap sudah tidak bisa menerima bantuan KJP, padahal beli sepeda motor saja masih mencicil,” tutur Edi saat ditemui pada Rabu malam.
Proses hukum
Faisal menyampaikan, saat ini, data mobil mewah yang menggunakan KTP palsu telah diblokir sehingga pemilik kendaraan harus mengurus balik nama ke kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat). ”Nanti, kami umumkan juga di media massa agar mereka (pengemplang pajak) lapor dan segera melakukan balik nama sama pemilik asli,” katanya.
Terhadap kasus ini, menurut Faisal, warga yang dipinjami KTP untuk pembelian mobil mewah itu sangat bisa menuntut secara hukum. Sebab, pelanggaran itu sudah termasuk pemalsuan dokumen. ”Dia (pemilik KTP), kan, enggak tahu KTP-nya dipakai. Jadi, memang sudah ada niat jahatnya dari yang punya (mobil mewah),” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Fahri Siregar menyampaikan, apabila ada yang merasa dirugikan, warga dipersilakan untuk melapor ke Polri. ”Nanti Polri akan melakukan penyelidikan dan penyidikan terkait hal ini,” ucap Fahri.
Modus jahat
Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, selain motif untuk menghindari pajak progresif daerah, ada motif lain di luar itu yang harus didalami lebih lanjut.
Pertama, apabila pengemplang pajak berasal dari kalangan pejabat, yang dihindari oleh mereka adalah laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Kedua, modus ini digunakan agar tidak tercatat dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT).
”Pada ujungnya, ini adalah penyamaran asal-usul penghasilan. Jadi, harus ditelusuri sampai sana, analisis profil, apakah ada motif delik tindak pidana pencucian uang. Kita harus punya dugaan sampai ke ultimate beneficial owner,” tutur Prastowo.
Alangkah lebih baik, menurut Prastowo, Pemerintah Provinsi DKI bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dengan begitu, bisa diketahui lebih dalam, apakah SPT dilaporkan dengan benar dan importasi barang mewah dilakukan sesuai prosedur.
”Seharusnya, kalau memang dia (pengemplang pajak) adalah pengusaha dan semua clear, mending declare itu miliknya dan taat bayar pajak progresif. Toh, dia kuat beli mobil, ya, konsekuensinya harus bayar pajaknya. Kalau semua itu tak dilakukan, sangat janggal,” lanjutnya.
Prastowo menyampaikan, masalah ini bisa muncul karena belum ada integrasi sistem administrasi antara Samsat dan pajak. Kedua, optimalisasi identitas tunggal.
”Harusnya, NIK (nomor induk kependudukan) menjadi identitas tunggal tiap orang bertransaksi apa pun. Kalau itu yang dipakai, kan, dari awal sudah ada alert dari sistem ketika masyarakat berpenghasilan rendah membeli barang mewah,” ucap Prastowo.
Ia pun memperkirakan, hal serupa bisa terjadi di luar Jakarta yang juga menerapkan pajak progresif kendaraan bermotor.