Komisi Pemberantasan Korupsi terus mengembangkan unit akuntansi forensik untuk memaksimalkan upaya pemulihan aset kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi terus mengembangkan unit akuntansi forensik untuk memaksimalkan upaya pemulihan aset kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Sebab, kerugian negara akibat korupsi yang berhasil dikembalikan ke negara baru sekitar 10 persen.
Data Fakultas Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Gadjah Mada menunjukkan, kerugian keuangan negara di Indonesia akibat korupsi terhitung dari 2001-2015 mencapai Rp 203,9 triliun. Namun, hukuman finansial hanya Rp 21,26 triliun atau sekitar 10 persen yang diputus dalam sidang pengadilan.
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menyampaikan, unit akuntansi forensik penting untuk menangani kasus-kasus korupsi yang berkaitan dengan isu transaksional. Dengan begitu, setiap transaksi dan aliran dana yang terjadi dapat terpantau.
Namun, jumlah auditor dalam unit akuntansi forensikmasih kurang dari 100 orang atau kurang dari 5 persen total pegawai KPK. Sementara kebutuhannya masih sangat jauh.
”Saya pikir itu (unit akuntansi forensik) menjadi efektif kalau resource-nya dikembangkan. Jadi, ini masih cikal bakal, nanti secara berlanjut dikembangkan oleh periode (pimpinan KPK) berikutnya,” kata Saut,Selasa (26/11/2019).
Para auditor, kata Saut, akan terus berkembang sejalan dengan pengembangan organisasi lainnya agar dapat berkoordinasi. Misalnya, dengan unit pelacakan aset, pengelolaan barang bukti, dan eksekusi; unit gratifikasi, unit laporan harta kekayaan penyelenggara negara; dan unit lain baik di penindakan, pencegahan, ataupun pengaduan masyarakat.
Dalam proses kerjanya, unit akuntansi forensik dapat bekerja di depan dalam konteks pengembangan kasus, dapat juga bekerja di belakang pasca-kegiatan tangkap tangan, atau melalui case building. Tentu sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, harus terdapat minimal dua alat bukti untuk melaksanakannya.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyampaikan hal yang sama. Sebagian auditor yang bekerja dalam unit akuntansi forensik masih dalam tahap pelatihan karena mereka akan bekerja untuk menyelidiki kasus-kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang rumit.
”Pelatihan dilakukan dengan melibatkan banyak pelatih dari accounting firms yang terkenal di Jakarta dan dibantu juga oleh The Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong, The Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika Serikat, dan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Harapannya, jika nanti sudah benar-benar mapan, kasus-kasus (korupsi) besar akan semakin banyak diungkap,” ujar Syarif.
Mantan Wakil Ketua KPK 2003-2007 Amien Sunaryadi menyampaikan, akuntansi forensik yang menjalankan tugas investigasi sejenis audit investigatif merupakan alat utama untuk mengungkap adanya suap. Pelatihan cara mengungkap suap, itu yang menjadi penting.
”Secara sederhana, untuk melakukan investigasi terhadap kasus suap, kalau dicari di pembukuan yang menerima tentu enggak akan ketemu. Mencarinya itu harus di pembukuan yang memberi, misalnya pihak ketiga atau vendor. Itu yang dibongkar,” ujarnya.
Hambatan
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Firdaus Ilyas, mengatakan, hambatan dalam melakukan audit investigasi, yakni belum adanya fungsi koordinasi antarinstansi terkait mekanisme pertukaran data dalam konteks penegakan hukum. Tidak sebatas saat masuk ke penyidikan, tetapi seharusnya bisa dari awal saat pengembangan kasus.
”KPK diharapkan dapat menjadi role model mengembangkan akuntansi forensik, tidak hanya itu tapi investigasi forensik. Melalui mekanisme ini, KPK sebenarnya tidak melulu harus bergantung pada OTT, tetapi bisa lebih memaksimalkan case building,” kata Firdaus.
Meski begitu, Firdaus tegas menyatakan peraturan pemerintah pengganti undang-undang KPK tetap harus dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo. Sebab, apabila melalui OTT, kerja unit akuntansi forensik tetap saja akan terhambat.
Kehadiran Dewan Pengawas (Dewas) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kata Saut, akan menjadi penghambat bagi kerja unit akuntansi forensik. Salah satunya, karena Dewas berwenang menyetujui tidaknya proses penyidikan.
”Kalau Dewas bilang jangan, enggak perlu didalami, di situlah malapetakanya. Meskipun misalnya para auditor sudah menemukan adanya ketidakwajaran dalam suatu laporan keuangan. Ini yang aneh bin ajaib,” kata Saut.
Untuk itu, Dewas harus diisi oleh orang-orang yang berintegritas. Namun, tetap saja, Saut tetap mempertanyakan kewenangan Dewas di bidang penindakan. ”Kalau kewenangannya begitu, siapa yang akan mengawasi Dewas?” ujarnya.