Persoalan anak-anak di Tanah Air membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah dan pemangku kebijakan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Persoalan anak-anak di Tanah Air membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah dan pemangku kebijakan. Kendati ada program-program pemerintah, hingga kini anak di perkotaan maupun di pedesaan masih mengalami kekerasan fisik, seksual, dan psikis, perkawinan anak, pekerja anak, disabilitas, dan berhadapan dengan hukum, serta hidup dalam situasi konflik dan terdampak bencana.
Situasi dan kondisi anak di Indonesia saat ini disampaikan sejumlah anak dan remaja perwakilan dari 10 provinsi (Jawa dan luar Jawa) kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), saat berdialog dengan Deputi Tumbuh Kembang Anak KPPPA Lenny N Rosalin, Senin (25/11/2019) di Kantor Kementerian PPPA (KPPPA).
Dialog anak bersama KPPPA digelar bersama Koalisi Nasional NGO Pemantau Hak Anak dan Aliansi Penghapusan Kekerasan Anak dan Perempuan, dalam rangka Peringatan 30 Tahun Konvensi Hak Anak (KHA).
Thomas, salah satu perwakilan anak dari Nusa Tenggara Timur berharap ke depan tidak di Indonesia tidak ada lagi kekerasan, anak dapat dapat diajak dalam membuat laporan tentang pelaksanaan Konvensi Hak Anak (KHA) untuk PBB, dan diikutkan dalam Musyawarah Rencana Pembangunan.
“Kami ingin pembuatan akte kelahiran tidak dipersulit dan mempertegas hukuman bagi pelaku kekerasan terlebih pelakunya orang dewasa. Terakhir kami berharap Bapak Presiden dapat bertemu langsung dengan anak untuk mendengarkan kami,” ujarnya.
Kami ingin pembuatan akte kelahiran tidak dipersulit dan mempertegas hukuman bagi pelaku kekerasan terlebih pelakunya orang dewasa.
Perwakilan anak-anak juga menulis harapan dalam kartu pos yang akan dikirim kepada Presiden Joko Widodo. Bahkan, seorang anak dari Palu, Sulawesi Tengah dalam kartu posnya meminta kepada Presiden untuk lebih peduli kepada anak-anak yang terkena bencana, dengan memberikan hunian yang layak, karena dia dan anak-anak pengungsi hingga kini masih tinggal di hunian sementara.
Berbagai persoalan
Lenny yang didampingi Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi, KPPPA, Ciput Eka Purwianti mendengarkan suara anak-anak yang mengangkat berbagai isu. Sejumlah isu itu meliputi antara lain akta kelahiran dari perkawinan antarnegara, kekerasan fisik, anak buruh migran, anak terdampak bencana, anak terdampak konflik sosial, anak korban eksploitasi seksual, perkawinan anak, anak yang dipekerjakan, anak disabilitas, dan anak berhadapan dengan hukum.
Dalam sesi tersebut, perwakilan anak-anak itu juga menyampaikan pengaruh rokok terhadap anak, dan meminta pemerintah menghentikan iklan-iklan tentang rokok. Anak-anak juga mengungkapkan berbagai praktik perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah, sehingga anak-anak merasa tidak aman saat berada di sekolah.
Menanggapi aspirasi anak-anak itu, Lenny menyatakan pemerintah terus melakukan sejumlah program demi kepentingan anak. Salah satunya Indonesia Layak Anak (Idola), demi mewujudkan rasa aman kepada anak-anak. Untuk pemenuhan hak anak, KPPPA membentuk forum anak di tingkat pusat hingga desa sebagai wadah partisipasi anak, demi menyuarakan aspirasi anak-anak.
KPPPA juga memberikan perhatian khusus terkait perkawinan anak. “Ayo anak-anak harus bergerak, tunjukkan kalian sebagai pelopor pencegahan perkawinan anak, agar perkawinan anak tidak semakin menjadi-jadi, menjadi banyak di daerah kalian,” ujar Lenny yang menunjukkan rangking daerah-daerah tertinggi dalam kasus perkawinan anak.
Ciput menambahkan berbagai persoalan yang disampaikan anak-anak seperti banyaknya kekerasan dialami anak-anak di sekolah, akan kian mendorong pemerintah untuk memperluas sosialisasi kepada guru maupun orangtua.
Sehari sebelumnya, Minggu (24/11/2019), Mikiko Otani, Anggota UN Convention on the Rights of the Child (UNCRC) juga berdialog dengan anak-anak perwakilan dari 10 daerah. Ia mengapresiasi anak-anak yang berani menyuarakan berbagai persoalan yang terjadi di daerah mereka.
Sekolah harus aman untuk anak
Secara terpisah, enam organisasi non pemerintah/NGO kemanusiaan yang berfokus pada hak anak, yang tergabung dalam Indonesia Joining Force (IJF) to End Violence Against Children (EVAC), dalam pernyataan bersama menyampaikan sekolah harus jadi ruang yang aman bagi anak-anak, sehingga mendorong anak untuk ikut berpartisipasi dalam proses belajar.
Enam NGO itu terdiri dari, ChildFund International di Indonesia, Yayasan Plan International Indonesia, SOS Children’s Villages Indonesia, Yayasan Sayangi Tunas Cilik, Yayasan PKPA bersama Federasi Internasional Terre des Hommes, dan Wahana Visi Indonesia.
Laura Hukom, Project Manager IJF mendorong berbagai pihak, termasuk media, untuk meningkatkan kesadaran terkait isu kekerasan pada anak, khususnya hukuman fisik di sekolah. “Mari sama-sama ciptakan sekolah sebagai lingkungan yang aman dan nyaman untuk anak-anak belajar dan beraktivitas,” ujarnya.
Berdasarkan baseline study tahun 2019 yang digagas oleh IJF menemukan fakta hanya 16,8 persen siswa yang menyatakan mereka merasa aman di sekolah. Sisanya menyebutkan mereka tidak merasa aman bahkan merasa amat tidak aman. Toilet dan kantin merupakan area sekolah paling sering jadi lokasi kekerasan di sekolah.
Temuan IJF didukung oleh Data International Centre for Reseach of Women dan Yayasan Plan International Indonesia yang menemukan 84 persen anak-anak mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik, emosi, dan seksual di sekolah.