Bagaimana dan siapa yang nanti menyisir APBD, sementara jumlah pemda itu ratusan? Pasti sulit dan melelahkan menyisir 576 dokumen APBD yang terdiri dari 34 APBD provinsi dan 542 APBD pemerintah kota dan kabupaten.
Oleh
Dedi Haryadi
·5 menit baca
Kemendagri menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyisir dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) demi memastikan tak adanya penyimpangan dalam pengelolaan anggaran pemerintah pusat yang ditransfer ke daerah (Kompas, 30/10/2019).
Rencana ini dipicu berbagai kasus korupsi APBD di daerah, termasuk kasus ganjilnya rencana belanja Pemprov DKI. Diberitakan Pemprov DKI pada tahun fiskal 2020 akan belanja lem, bolpoin, storage, dan komputer yang nilainya ratusan miliar rupiah.
Boleh jadi praktik penyusunan anggaran seperti Pemprov DKI juga dilakukan pemda lain. Karena itu, ide menyisir dokumen APBD bagus dan oke saja. Tapi bagaimana dan siapa yang nanti menyisir APBD, sementara jumlah pemda itu ratusan?
Pasti sulit dan melelahkan menyisir 576 dokumen APBD yang terdiri dari 34 APBD provinsi dan 542 APBD pemerintah kota dan kabupaten. Dua pertanyaan itu mengarah pada perlunya instrumen yang efisien dan efektif dalam menyisir dokumen APBD.
Informasi yang didapat dari penyisiran itu berguna untuk merancang aksi pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi, termasuk memberikan apresiasi kepada pemda yang pengelolaan APBD-nya sudah sangat baik. Apakah ada instrumen seperti itu? Ada.
Sejak 2006, International Budget Partnership (IBP) mengembangkan Open Budget Index atau Indeks Keterbukaan Anggaran (OBI). Indeks ini menangkap praktik—bukan aturan normatif seperti yang diatur dalam undang-undang atau peraturan—pengelolaan anggaran di suatu negara. Ada tiga praktik pengelolaan negara yang ditangkap dalam indeks ini, yaitu transparansi anggaran, pelembagaan partisipasi publik, dan akuntabilitas pengelolaan anggaran negara.
Ada tiga praktik pengelolaan negara yang ditangkap dalam indeks ini, yaitu transparansi anggaran, pelembagaan partisipasi publik dan akuntabilitas pengelolaan anggaran negara.
”Standar” transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas pengelolaan anggaran negara itu disusun berdasarkan praktik terbaik (best practices) pengelolaan anggaran di negara maju. Indeks itu juga merekam proses dan siklus anggaran suatu negara secara lengkap, dimulai dari perencanaan, pengesahan, implementasi, hingga auditing.
Dengan indeks ini bisa diketahui 1) pasang surut keterbukaan anggaran suatu negara sepanjang waktu; 2) perbandingan keterbukaan anggaran dari negara ke negara; dan 3) peringkat keterbukaan anggaran antarnegara sepanjang waktu.
Pasang surut keterbukaan anggaran suatu negara dapat dilihat dari kategorisasi skor indeks. Skor OBI itu dari nol sampai 100. Ada lima kategori skor indeks: Extensive (81-100), Substansial (61-80), Limited (41-60), Minimal (21-40), dan Scant atau None (0-20).
Lima negara yang anggarannya paling terbuka saat ini berdasarkan hasil survei 2017 adalah 1) Selandia Baru, 2) Afrika Selatan, 3) Swedia, 4) Norwegia, 5) Georgia. Kelima negara itu menyajikan data dan informasi anggaran secara ekstensif kepada warganya. Posisi ini relatif tak berubah dibandingkan hasil survei 2015, kecuali Georgia dan AS. Peringkat Georgia membaik dari ke-16 menjadi ke-5, AS memburuk dari ke-5 menjadi ke-8.
Perubahan skor OBI dan peringkat keterbukaan anggaran menunjukkan komitmen dan konsistensi pemerintah dalam mengembangkan keterbukaan anggaran. Selandia Baru, Afsel, Swedia, dan Norwegia menunjukkan komitmen dan konsistensi tinggi menyediakan informasi anggaran secara ekstensif kepada warganya, bahkan termasuk informasi anggaran pertahanan dan keamanan (militer).
Di banyak negara, termasuk Indonesia, informasi anggaran militer masih dianggap rahasia atau sangat rahasia. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dalam dengar pendapat dengan Komisi I DPR bulan ini, menganggap informasi anggaran militer bersifat rahasia, bahkan di lingkungan parlemen sekalipun.
Perubahan skor OBI dan peringkat keterbukaan anggaran menunjukkan komitmen dan konsistensi pemerintah dalam mengembangkan keterbukaan anggaran.
Modifikasi indeks
Bagaimana indeks keterbukaan anggaran kita? Pada 2015 Indonesia menduduki peringkat ke-26 dengan skor OBI 59, dari 100 negara yang disurvei. Dua tahun kemudian (2017) berada di peringkat ke-23 dengan skor 64. Kita naik kelas dari kategori Limited ke Substansial.
Agenda advokasi kebijakan yang penting dan mendesak ke depan adalah bagaimana terus mendorong keterbukaan sehingga kita bertengger di peringkat lima besar. Dengan kian terbukanya data dan informasi anggaran, risiko korupsi akan kian terkendali.
Keempat negara yang anggarannya paling terbuka juga punya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang baik. Artinya, makin baik keterbukaan anggaran suatu negara, akan makin kecil risiko korupsi negara itu.
Pengalaman IBP mengembangkan OBI bisa menjadi inspirasi bagi kita dalam mengembangkan, sebut saja, Indeks Keterbukaan Anggaran Daerah (IKAD). Kalau penyisiran APBD yang akan dilakukan Kemendagri dan KPK itu dikontekskan dalam penyusunan dan pengembangan IKAD, penyisiran itu tampak akan lebih sistematis dan programatis.
Jadinya, penyisiran APBD itu megandung tiga elemen penting: 1) disclosure dokumen APBD sehingga publik dapat mengakses dokumen itu; 2) pelembagaan partisipasi publik dalam proses penganggaran lokal; 3) meningkatkan akuntabilitas kebijakan dan alokasi anggaran. Dengan ketiga hal itu, penyisiran APBD itu ditempatkan dalam konteks memperbaiki tata kelola pemerintahan yang baik.
Kemendagri dan KPK tak punya pengalaman dan kompetensi cukup dalam menyusun IKAD. Oleh karena itu, kerja sama keduanya harus diperluas dengan melibatkan lembaga lain. Sebenarnya perguruan tinggi atau lembaga penelitian swasta bisa juga menyusun dan menerbitkan IKAD.
Meskipun demikian, sebaiknya BPS yang menyusun dan menerbitkan IKAD secara berkala dan teratur. BPS lebih berpengalaman, punya SDM cukup, anggaran teratur, dan jaringan kerja luas sehingga bisa menjangkau semua pemda di Tanah Air dan juga lebih bebas dan mandiri.
Sebenarnya perguruan tinggi atau lembaga penelitian swasta bisa juga menyusun dan menerbitkan IKAD. Meskipun demikian, sebaiknya BPS yang menyusun dan menerbitkan IKAD secara berkala dan teratur.
Tanpa harus mengganggu kebebasan dan kemandiriannya, BPS bisa bekerja sama dengan lembaga donor atau lembaga pembangunan internasional, seperti IBP, misalnya, untuk mengembangkan indeks ini.
Dengan IKAD ini, kita bisa mengetahui pasang surut transparansi APBD sepanjang waktu, perbandingan transparansi APBD antar-pemda, dan peringkat transparansi APBD antar-pemda sepanjang waktu.
Kalau mau, informasi ini bisa menjadi dasar Kemendagri memberikan penghargaan kepada pemda yang sukses dan terbaik dalam mengelola APBD. Hanya pemda dengan skor dan peringkat IKAD tertinggi yang berhak mendapatkan penghargaan, bukan yang paling tinggi daya serap APBD-nya.
(Dedi Haryadi,Staf Ahli pada Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi)