Setahun lebih rusak akibat gempa, SD Aisyiyah 2 Mataram kini telah berdiri lagi. Bantuan mengalir untuk sekolah yang menampung anak-anak dari keluarga prasejahtera ini. Salah satunya dari para bankir pemberdaya.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
Kiprah Nurhayati di Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, identik dengan sejumlah orang dan lembaga yang disebut James Tooley dalam The Beautiful Tree sebagai pihak yang menggerakkan pendidikan di daerah kumuh, kawasan miskin, dan pedalaman terpencil. Lewat Sekolah Dasar Aisyiyah 2 Mataram, dia dan lembaganya berupaya menyediakan pendidikan layak bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera.
Tooley dalam buku yang diterjemahkan menjadi Sekolah untuk Kaum Miskin (Alvabet: 2013) antara lain menceritakan kiprah Reshma dan Anwar di kawasan miskin di Hyderabad, India; BSE di Makoko, Nigeria; Theophilus di Bortianor, Ghana; Xing di pegunungan terpencil di Gansu, China; dan Jane di kawasan kumuh di Nairobi, Kenya. Mereka berupaya mengenali keinginan orangtua untuk mendapatkan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya dan memutuskan bahwa cara terbaik untuk maju adalah dengan mendirikan sekolah.
Keyakinan serupa menggerakkan Nurhayati. ”Saya tak peduli apakah mereka (orangtua siswa) mampu bayar atau tidak, yang penting mereka mau mengantar anak-anak ke sekolah untuk belajar, keperluan belajar mengajar biar kami usahakan,” kenang Nurhayati saat merintis sekolah itu tahun 2015.
Nurhayati merintis sekolah dasar di bangunan bekas gudang di lahan seluas 1.600 meter persegi di Gang Melati, Jalan Energi, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Sekolah ini berada di wilayah pesisir barat Pulau Lombok yang sebagian dihuni oleh keluarga tidak mampu. Orangtua para siswa SD Aisyiyah 2 Mataram antara lain bermata pencarian nelayan, pedagang kecil, dan buruh.
Wilayah Ampenan bukan kekurangan sekolah atau warga kesulitan mengakses pendidikan. Namun, kata Nurhayati, warga khususnya dari keluarga tidak mampu memerlukan alternatif sekolah yang layak dan terjangkau oleh siapa pun. ”Pada tahap awal, kami datangi warga, dari rumah ke rumah, untuk mengajak anak-anak ke sekolah,” ujarnya.
Pada tahun pertama, hanya ada tujuh anak yang mendaftar sebagai siswa. Namun, Nurhayati dan beberapa pengurus Pimpinan Wilayah Aisyiyah (Aisyiyah, organisasi otonom Wanita Muhammadiyah) Nusa Tenggara Barat tak henti mengajak anak-anak ke sekolah. Khususnya menjelang tahun ajaran baru.
”Setiap tahun, kami datangi rumah warga, dari pintu ke pintu, mengajak anak-anak sekolah,” kata Kepala SD Aisyiyah 2 Mataram Sri Rahmatyas saat ditemui di ruang guru sekolah itu, Kamis (7/11/2019).
Upaya itu membuahkan hasil. Tahun ini, sebanyak 17 anak mendaftar sehingga total ada 56 siswa yang belajar di SD Aisyiyah 2 Mataram saat ini dari kelas 1 hingga kelas 5. Sekolah dikelola oleh 10 tenaga pengajar, termasuk kepala sekolah, dengan iuran bulanan ”seikhlasnya” sesuai kemampuan orangtua. Sri dan Nurhayati menyebutnya sebagai infak, bukan iuran, karena sifatnya memang tidak wajib.
Gempa
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Gempa secara beruntun melanda Lombok pada Juli-Agustus 2018. Seperti sejumlah bangunan di pulau itu, SD Aisyiyah 2 Mataram rusak parah akibat gempa. Dinding tembok retak-retak. Sebagian atap dan plafon ambruk. Ruang kelas tak bisa dipakai lagi karena dinilai rawan runtuh sehingga membahayakan siswa dan guru.
Akibat gempa beruntun, terutama pada 29 Juli 2018 yang bermagnitudo 6,4 dan pada 5 Agustus 2018 yang bermagnitudo 7,0, aktivitas pendidikan di Nusa Tenggara Barat terganggu. Sampai 3 September 2018, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, total satuan pendidikan yang terdampak gempa Lombok mencapai 1.235 unit, termasuk di Sumbawa dan Bali. Sebanyak 4.713 ruang kelas rusak dan proses belajar mengajar bagi 218.493 siswa terganggu (Kompas, 10/9/2018).
Menurut Sri, aktivitas sekolah terganggu setelah gempa pada Juli-Agustus 2018. Sejumlah siswa trauma dan tak mau sekolah. Sampai beberapa bulan kemudian, proses belajar mengajar dilakukan di tenda yang didirikan di halaman sekolah.
Keterbatasan dana membuat niat memperbaiki bangunan menjadi tidak mudah. Apalagi, pada saat yang sama, bangunan sekolah, perkantoran, dan rumah warga yang rusak akibat gempa juga butuh biaya untuk rekonstruksi.
Rehabilitasi
Beruntung bantuan datang untuk para korban gempa. Salah satunya dari PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah Tbk (BTPN Syariah) untuk SD Aisyiyah 2 Mataram. Menurut Communication Head BTPN Syariah Ainul Yaqin, para karyawan dan manajemen mengumpulkan bantuan senilai Rp 265 juta. Awalnya, belum ada sasaran, siapa yang akan dibantu dengan dana itu.
Akan tetapi, para bankir di lapangan, khususnya community officer dan para bankir pemberdaya, menyisir wilayah terdampak untuk mencari korban yang dinilai paling membutuhkan bantuan. ”Akhirnya, kami bersepakat membantu SD Aisyiyah 2 Mataram. Kondisi bangunannya memprihatinkan. Apalagi, visinya memberikan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat prasejahtera sejalan dengan visi kami,” ujarnya.
Pada April 2019, SD Aisyiyah 2 Mataram dibangun lagi. Menurut Ainul, secara total bantuan tersalur mencapai sekitar Rp 350 juta. Selain untuk merehabilitasi bangunan yang rusak serta membangun aula untuk menampung kegiatan sekolah dan warga, bantuan digunakan untuk membantu operasional sekolah.
Kini ruang kelas baru telah berdiri. Kegiatan belajar mengajar pun digelar lagi tanpa khawatir ada genteng atau plafon ambruk. Halaman sekolah pun bersih dari puing-puing dan reruntuhan sisa gempa.
Selain itu, warga juga bisa memanfaatkan aula untuk musyawarah, pelatihan, atau bahkan menggelar hajatan. Di antara hunian yang berimpit dan fasilitas sosial yang kurang, aula itu jadi oase bagi warga, sekadar untuk bertemu atau mengobrol. ”Kami berterima kasih atas semua bantuan ini,” kata Nurhayati.