Pemerintah Provinsi Sumatera Utara berniat mengusulkan ulos menjadi warisan budaya tak benda yang diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada tahun 2025.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sumatera Utara berniat mengusulkan ulos menjadi warisan budaya tak benda yang diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada tahun 2025. Oleh sebab itu, seluruh pihak terkait mulai dari pemerintah pusat hingga komunitas budaya dan perajin ulos harus menyelesaikan pekerjaan besar memastikan infrastrukturnya memadai dalam lima tahun ke depan.
”Hal pertama yang patut dilakukan ialah menyusun naskah akademik mengenai sejarah ulos dan maknanya dalam adat Batak. Kita selalu mendengar bahwa ulos diciptakan 4.000 tahun yang lalu sebagai sandang suku bangsa Batak, tetapi perlu lebih dari itu untuk menganalisis perkembangan ulos dalam budaya Batak,” kata Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi ketika membuka Festival Ulos di Museum Nasional, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Acara diselenggarakan oleh Batak Center, perkumpulan diaspora Batak di Indonesia.
Ia mengungkapkan cita-cita apabila naskah akademik sudah tersusun, ulos akan masuk ke kurikulum sekolah-sekolah di Sumut. Hal ini mencontoh di Pulau Jawa dan Bali yang pembuatan wastra tradisionalnya masuk muatan lokal, bahkan di SMK menjadi bidang kejuruan tersendiri sehingga terjadi revitalisasi dan regenerasi perajin wastra.
Edy mengatakan, layaknya wastra Nusantara, ulos tidak sekadar busana. Ada ketentuan cara memakainya. Bahkan, pada upacara-upacara adat tidak akan sah apabila pesertanya tidak mengenakan ulos jenis tertentu. Motif dan warna setiap ulos juga menyimbolkan berbagai aspek dalam kehidupan duniawi ataupun spiritualitas masyarakat Batak. Mulai dari kelahiran, kematian, persahabatan, hingga konflik memiliki simbol di dalam ulos.
Layaknya wastra Nusantara, ulos tidak sekadar busana. Ada ketentuan cara memakainya.
”Ulos juga mempersatukan masyarakat Batak. Di dalam keluarga Batak, perbedaan agama dan kepercayaan adalah hal biasa. Semua tetap rukun dan saling menyayangi. Contoh lainnya, ketika menikah, kedua orangtua mempelai bertukar ulos untuk menandakan bahwa dua pihak berbeda bisa menyatu sebagai keluarga,” tuturnya.
Tantangan
Kepala Dinas Pariwisata Sumut Ria Nofida Telaumbanua mengutarakan beberapa tantangan yang dihadapi dalam mengajukan ulos sebagai warisan budaya dunia tak benda kepada UNESCO tahun 2025. Pertama, beberapa wilayah sudah tidak memiliki petenun, misalnya di wilayah Karo. Ulos-ulos Karo dalam beberapa tahun terakhir dikerjakan oleh petenun dari wilayah lain.
Kedua, petenun memiliki ketergantungan bahan baku dari luar negeri. Benang dan pewarna yang dipakai sudah jarang yang alami. Umumnya dibeli di toko dan merupakan produk impor dari China ataupun India.
”Kita harus bersatu menggerakkan masyarakat untuk mulai menanam kembali kapas sebagai bahan benang dan mengajak generasi muda mau terjun ke dunia tenun. Ini tantangan besar karena sektor ekonomi kreatif, pendidikan, budaya, pertanian, dan industri harus terlibat,” ujarnya.
Dalam seminar itu, salah satu usulan dari peserta adalah mencari ragam benang lain, seperti dari serat nanas ataupun kulit pohon.
Komitmen
Kepala Subdirektorat Warisan Budaya Tak Benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Binsar Manulang meluruskan, UNESCO tidak mewajibkan bahan baku harus berasal dari wilayah setempat ketika sebuah budaya hendak didaftarkan. Akan tetapi, menjadi nilai tambah jika ada komitmen pelaku adat untuk memproduksi sendiri atau setidaknya mulai membangun sistem produksi, bahan baku secara lokal.
Terkait perajin, ia mengatakan, harus komunitas adat tersebut yang membuat ulos. Solusinya adalah menghidupkan kembali dunia tenun ulos Karo atau bisa juga diaspora Karo di suatu wilayah membuat perkumpulan petenun ulos sesuai pakem adat.
Solusinya adalah menghidupkan kembali dunia tenun ulos Karo atau bisa juga diaspora Karo di suatu wilayah membuat perkumpulan petenun ulos sesuai pakem adat.
”Hal penting lainnya selain naskah dan infrastruktur adalah bukti ulos memang bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Batak. Artinya, ulos tidak hanya muncul di acara-acara adat, tetapi sehari-hari dan ada produk turunannya. Contoh warisan tak benda yang sukses menerapkannya adalah batik yang kini menjadi busana harian hampir seluruh orang Indonesia,” tutur Binsar.
UNESCO memiliki evaluasi setiap lima tahun untuk melihat warisan budaya tersebut memang hidup dalam keseharian bangsa. Apabila tidak terbukti, status warisan budaya dunia tak benda itu akan dicabut.
Petenun ulos dari Tarutung, Tapanuli Utara, Jungjung Hutabarat, mengungkapkan, di kabupaten itu setidaknya sudah ada 12 laki-laki petenun berusia di bawah 40 tahun. Hal ini unik karena biasanya laki-laki Batak dilarang menenun karena dianggap pekerjaan perempuan.
Akan tetapi, menurut dia, regenerasi budaya ulos semestinya tidak lagi menekankan kewajiban menenun kepada perempuan saja. Semakin banyak anak muda Batak menenun ulos dan menciptakan desain-desain baru, semakin baik.