KPK Bantu Polda Sulawesi Tenggara Tangani Dana Desa Fiktif
KPK mendukung Polda Sulawesi Tenggara mengusut dugaan penyelewengan keuangan negara dalam pengalokasian dana desa, termasuk pengalokasian dana desa ke desa-desa yang diduga fiktif di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Oleh
Sharon Patricia/Satrio Pangarso Wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — KPK mendukung Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara mengusut dugaan penyelewengan keuangan negara dalam pengalokasian dana desa, termasuk aliran dana desa ke sejumlah desa yang diduga fiktif. Diduga terdapat sejumlah desa fiktif yang disebutkan berada di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, diduga ada 34 desa yang bermasalah, 3 desa di antaranya fiktif, sementara 31 desa lainnya, meskipun keberadaannya nyata, surat keputusan pembentukan desanya dibuat dengan tanggal mundur atau back date. Saat desa tersebut dibentuk, sudah ada moratorium dari Kementerian Dalam Negeri sehingga, untuk mendapatkan dana desa, tanggal pembentukannya harus dibuat mundur.
Desa-desa tersebut diidentifikasi tidak sesuai prosedur karena menggunakan dokumen yang tidak sah sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara atau daerah atas dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD) yang dikelola beberapa desa di Kabupaten Konawe tahun anggaran 2016 sampai dengan tahun anggaran 2018.
Pada 24 Juni 2019, Febri menjelaskan, penyidik Polda Sulawesi Tenggara bersama KPK telah melakukan gelar perkara di tahap penyelidikan di Markas Polda Sulawesi Tenggara. Esoknya, dilakukan pertemuan antara pimpinan KPK dan Kapolda Sulawesi Tenggara Brigadir Jenderal (Pol) Merdisyam.
”Dalam pertemuan tersebut diminta agar KPK menyupervisi dan memberikan bantuan berupa memfasilitasi ahli dalam perkara ini. Perkara ini telah naik ke tahap penyidikan dan polda telah mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke KPK sesuai ketentuan Pasal 50 Undang-Undang KPK,” tutur Febri.
Salah satu bentuk dukungan KPK adalah memfasilitasi keterangan ahli hukum pidana dan kemudian dilanjutkan gelar perkara bersama pada 16 September 2019. Dukungan yang diberikan KPK pada penanganan perkara di kepolisian ataupun kejaksaan merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi trigger mechanism yang diamanatkan UU.
Dugaan adanya desa-desa fiktif penerimaan dana desa itu sudah diterima Kemendagri sejak dua pekan yang lalu, dalam sebuah rapat pimpinan antara Kemendagri, kejaksaan, dan KPK. Saat itu, KPK menyampaikan bahwa ada 56 desa fiktif.
”Kami berupaya semaksimal mungkin untuk tetap melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi agar anggaran yang seharusnya dinikmati rakyat tidak dicuri oleh orang-orang tertentu,” ujar Febri.
Berbeda data
Catatan Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri menyatakan bahwa ada empat desa yang diduga fiktif.
Dirjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan mengatakan, Kemendagri siap mencabut keberadaan desa-desa yang ditengarai fiktif tersebut. Namun, keputusan tersebut masih harus menunggu hasil investigasi yang dilakukan Kemendagri, Polda Sulawesi Tenggara, dan kejaksaan.
”Sikap kami dari Kemendagri, kalau memang benar-benar secara data dan administrasi jelas ada kekeliruan itu, kami akan cabut,” kata Nata.
Nata mengungkapkan, kemungkinan penyebab adanya desa fiktif tersebut berawal pada proses pemekaran wilayah yang ditetapkan melalui sebuah perda. Dari penelusuran awal ini, diduga ada kekeliruan pada perda pemekaran yang dikirimkan pemda setempat kepada Kemendagri.
”Karena ada perda yang sebetulnya tidak menetapkan (pemekaran) desa-desa tersebut,” kata Nata.
Nata mengatakan, usulan pemekaran sejumlah desa itu telah diterima Kemendagri pada 2011, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Saat itu, kata Nata, Kemendagri bersikap menerima usulan pemekaran tersebut, apalagi sudah ditetapkan melalui perda. ”Kami di Kemendagri percaya, dong, kalau sudah ditetapkan di perda, terus kami tolak, kan, tidak mungkin,” ujar Nata.
Dugaan adanya desa-desa fiktif penerima dana desa itu, kata Nata, sudah diterima Kemendagri sejak sekitar dua pekan yang lalu, dalam sebuah rapat pimpinan antara Kemendagri, kejaksaan, dan KPK. Saat itu, KPK menyampaikan bahwa ada 56 desa fiktif.
Menindaklanjuti rapat tersebut, Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri menurunkan tim pada 15-17 Oktober lalu ke Sulawesi Tenggara guna memverifikasi dugaan tersebut. Dalam proses verifikasi tersebut, ditemukan empat desa yang diduga fiktif.
Nata mengatakan, berdasarkan hasil komunikasi dengan Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa, keempat desa yang diduga fiktif tersebut sudah tidak menerima alokasi dana desa. Dana desa tidak digelontorkan lagi sejak 2017.
Anggota Ombudsman, Laode Ida, menilai persoalan ini ada pada persoalan moral pejabat daerah. Jika memang benar terjadi hal demikian, menurut dia pejabat daerah tersebut harus segera diberhentikan.
”Sejauh ini belum ada masukan laporan. Akan tetapi, kalau pemerintah sudah tahu, langsung saja copot pejabatnya karena sudah menyalahi beberapa ketentuan, salah satunya janji dia sebagai pejabat publik atau pejabat negara karena menyedot uang negara. Itu hak rakyat,” kata Laode menegaskan.