Cak Lontong Melipat Logika
“Aku tuh gituan tiga kali dalam sehari,” kata Cak Lontong. Kalimat yang semestinya bermakna agak “horor” dalam bahasa batin kita, tiba-tiba menjelma menjadi humor yang menggelikan namun tidak terasa cabul.

Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas.
”Kamu punya obat enggak? Kepalaku pusing.”
”Kenapa kamu? sakit kepala?”
”Bukan. Sakit perut.”
”Sakit perut, kok, minumnya obat pusing.”
”Ya, kepalaku pusing mikirin sakit perut.”
Bagi para ”penghayat” pertunjukan seri Indonesia Kita, pasti bisa membedakan mana bagian dialog Akbar dan mana bagian dialog Cak Lontong. Cak Lontong hampir selalu bertindak seperti ”mengail dalam belanga, menggunting dalam lipatan”.
Inti dari humornya selalu menggunakan kesempatan untuk ”keuntungan” diri sendiri, tanpa memikirkan akibat perbuatannya kepada orang lain. Dalam satu adegan pada lakon Pemburu Utang yang dipentaskan 1-2 November 2019 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Marwoto bertanya,”Kira-kira berapa episode lagi Akbar bertahan?”
Cak Lontong menjawab, mungkin tidak sampai lima episode. ”Tiga episode lagi dia stroke,” kata Cak Lontong. Seperti biasa penonton pun tertawa berderai-derai.

Penampilan Cak Lontong dan Akbar dalam pentas teater berjudul Pemburu Utang di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki Jakarta, 1-2 November 2019.
Humor-humor yang dilontarkan pasangan Akbar dan Cak Lontong bersandar pada logika-logika dasar yang dilipat, bahkan kemudian ditekuk-tekuk sampai pada bentuk yang paling memungkinkan untuk sebuah bahan guyonan. Jenis humor seperti ini nyaris belum pernah kita temukan dalam berbagai bentuk humor yang dipakai untuk guyonan di atas panggung pertunjukan.
Kita pasti akan mengenang kegigihan kelompok Srimulat pada era 1980-an sampai 1990-an dengan tokoh-tokoh, seperti Asmuni, Timbul, Gepeng, Basuki, Gogon, Tarzan, serta beberapa tokoh lain.
Permainan logika semantik sudah mulai tampak ketika Asmuni, misalnya, selalu salah ucap pada kalimat ”Hil-hil yang mustahal” atau Timbul dengan kalimat-kalimat absurd seperti ”Akan tetapi justru oleh karena itu”. Namun, sebagian besar lawakan yang dilontarkan Srimulat bersumber pada komedi slapstick, di mana unsur-unsur fisik menjadi bahan tertawaan.
Oleh sebab itu, Srimulat selalu menampilkan para pemainnya dalam balutan riasan fisik yang menonjol. Tarzan, misalnya, selalu memakai seragam militer atau Gepeng dengan handuk di bahunya, yang mencerminkan dia seorang jongos.

Pentas teater Pemburu Utang, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1-2 November 2019.
Dalam rujukan filsafat logika, Cak Lontong mematahkan apa yang dirumuskan Aristoteles sebagai logika silogisme yang mencoba mendudukkan soal premis dan kesimpulan. Satu contoh silogisme deduktif yang dikenalkan Aristoteles misalnya:
Semua manusia adalah makhluk sosial (premis mayor)
Akbar adalah manusia (premis minor)
Jadi Akbar adalah makhluk sosial (kesimpulan)
Coba kita periksa kembali dialog Cak Lontong bersama Akbar dalam pertunjukan Pemburu Utang:
”Kamu punya obat gatel?” tanya Cak Lontong.
”Kamu sakit apa sih?” tanya Akbar penasaran.
”Aku sakit batuk.”
”Lho kok mau obat gatel?”
”Ya aku batuk karena tenggorakanku gatel,” jawab Cak Lontong.
Dialog ini bahkan tidak bisa diperiksa dengan perangkat silogisme alternatif sebagaimana pula yang didalilkan Aristoteles. Silogisme alternatif ”hanya” merumuskan premis mayornya merupakan premis alternatif, premis minornya kemudian membenarkan salah satu alternatifnya, dan kesimpulannya menolak alternatif tersebut.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2Fkompas_tark_6413966_117_0.jpeg)
Komedian Cak Lontong.
Cak Lontong sakit gatal atau sakit batuk?
Cak Lontong sakit batuk
Jadi Cak Lontong tidak sakit gatal.
Silogisme itu menjadi tidak logis karena Cak Lontong juga mengalami tenggorokan gatal dan karena itulah ia batuk. Permainan logika seperti ini ”memberi kesempatan” kepada para penyimak untuk sejenak menggunakan perangkat daya analitiknya dan membedah lontaran-lontaran Cak Lontong.
Komedian ini mulai menjelajah dunia pertunjukan lewat Ludruk Cap Toegoe di Surabaya. Ia kemudian lebih banyak dikenal sebagai ahli silogisme (alternatif) yang memperkenalkan logika-logika absurd dan menantang cara berpikir kreatif.
Kelebihan itulah yang ditangkap oleh sutradara Agus Noor. Cak Lontong mulai terlibat dalam proyek kebudayaan Indonesia Kita pada episode ke-3 dengan lakon Cak Kartolo Mbalelo. Sementara Akbar baru turut berperan pada episode ke-12 dalam lakon Matinya Sang Maestro.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2F20140913mye11_1572931988.jpg)
Pementasan Roman Made in Bali di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (12/9/2014).
Keduanya kemudian dipertemukan Agus Noor pada episode ke-13 dalam lakon bercita rasa Bali bertajuk Roman Made in Bali. Sampai pada episode ke-34 dalam lakon Pemburu Utang, keduanya masih terus berpasangan. ”Melipat logika, itulah kekuatan dasar Cak Lontong,” kata Agus Noor.
Sesungguhnya jika merunut dasar filsafat, logika berasal dari bahasa Yunani kuno, yakni kata ”logos” yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Baca juga: Celeng Tetangga Sebelah
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logica scientia atau ilmu logika yang mempelajari kecakapan berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Dua hal yang dipelajari di sini, yakni ilmu yang mengacu pada rasionalitas dan kecakapan akal budi dalam mewujudkan pengetahuan dan tindakan.
Seluruh rasionalitas Barat, sejak dulu sampai kini menyebar di Eropa dan Amerika dimulai dari peletakan dasar-dasar logika oleh Thales (624-548 SM), filsuf Yunani yang pertama-tama meninggalkan dongeng dan takhayul. Ia berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2F20170311mye11_1572932313.jpg)
Komedian Cak Lontong (kiri) dan Akbar tampil di pentas teater Presiden Kita Tercinta di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (10/3/2017).
Upayanya ini kemudian diteruskan oleh Aristoteles yang memunculkan istilah analitica dan dialectica. Dua istilah inilah yang sesungguhnya menjadi dasar logika Cak Lontong dalam membedah masalah-masalah yang menurut pengamatannya dominan di sekitar kita.
Sebutlah pernyataannya tentang kata ”gituan” dalam lakon Pemburu Utang. Cak Lontong mengungkapkan kata itu di depan sebuah latar panggung bertuliskan ”Losmen Bergilir”.
Baca juga: Revolusi Nyi Pohaci
Kata ”gituan” pada konteks ”Losmen Bergilir” menggiring kita pada konvensi bahasa ”batin” yang umum bahwa ”gituan” berarti niatan atau tindakan seseorang atau lebih untuk melakukan hubungan seksual, baik atas dasar suka sama suka maupun kehendak transaksional.
Secara genius ia kemudian mengatakan bahwa pada konteks dirinya, “gituan” itu sama dengan “makan”. Upaya ini mungkin mirip sebagaimana dilakukan penyair Sutardji Calzoum Bachri dengan kredonya yang terkenal, membebaskan kata dari beban makna.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2F20150305KUMI_1572932344.jpg)
Komedian Insan Nur Akbar dan Cak Lontong (kanan) tampil dalam pertunjukan Seni Lawan Korupsi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (5/3/2015). Pertunjukan ini merupakan bentuk ekspresi dan perlawanan seniman terhadap kuasa dan tangan-tangan korupsi.
Bedanya, Sutardji berlari ke mantra-mantra, Cak Lontong justru memberinya pengertian baru. Sebuah pengertian yang mematahkan logika, tetapi memunculkan kelucuan yang anti-logika.
“Aku tuh gituan tiga kali dalam sehari,” kata Cak Lontong. Kalimat yang semestinya bermakna agak ”horor” dalam bahasa batin kita, tiba-tiba menjelma menjadi humor yang menggelikan. Hebatnya lagi, humor itu tidak jatuh menjadi kelucuan-kelucuan cabul, sebagaimana banyak diumbar dalam banyak guyonan para lelaki di pos kamling.
Baca juga: Monolog Sariyem
Sebenarnya untuk satu kata seperti ”gituan” Cak Lontong melakukan dua pekerjaan sekaligus. Pertama-tama ia melakukan analisis terhadap bahasa batin yang terkandung dalam kata ”gituan”, kedua ia mengujinya lewat dialektika untuk kemudian menyuntikkan ”makna” baru. Maka, pada ”makna” yang baru itulah Cak Lontong memetik respons menggelikan dari para penonton.
Bayangkan kalau ia mengucapkan,”Aku suka gituan di pinggir jalan. Enak, karena itu banyak orang kemudian ikut gituan.” Ingat, yang dimaksud Cak Lontong tiada lain adalah ”makan enak di pinggir jalan!” dan bukan yang lain-lain. Rasanya perut saya terlipat-lipat karena tertawa sepanjang pertunjukan. Lontong, Lontong…