Presiden masih meminta masukan nama-nama yang akan mengisi Dewas KPK. Sementara itu, Kapolri menegaskan lagi komitmen mengungkap penyerangan terhadap Novel Baswedan.
JAKARTA, KOMPAS - Lima sosok yang akan mengisi posisi Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi akan berasal dari latar belakang yang beragam. Kendati begitu, ahli hukum akan tetap lebih banyak mengisi posisi Dewan Pengawas yang punya kewenangan besar mengawasi pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Gedung Krida Bhakti Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (4/11/2019), mengungkapkan, saat ini penyusunan Dewan Pengawas KPK masih dalam tahap mendata sekaligus mendaftar nama-nama calon anggota. Untuk itu, Presiden Joko Widodo terus meminta masukan dari sejumlah pihak agar tidak salah dalam memilih lembaga pengawal KPK.
Pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) KPK merupakan amanat Pasal 37A UU KPK hasil revisi. Selain mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, Dewas KPK juga memiliki kewenangan memberi izin penyadapan dan penyitaan. Dewan Pengawas juga memiliki wewenang menggelar sidang untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK.
Sebelumnya, Jumat lalu, Presiden Jokowi menyampaikan, pembentukan Dewas KPK untuk pertama kali tidak akan melalui mekanisme seleksi oleh panitia seleksi. Presiden yang akan mengangkat sosok kredibel jadi anggota Dewas KPK.
Pratikno menjelaskan, Istana akan memilih lima anggota Dewan Pengawas KPK dengan beragam latar belakang. Namun, ada kemungkinan Dewas KPK akan lebih banyak diisi ahli hukum.
”Tentu ahli hukum yang akan banyak, tetapi juga ada nonhukum, ada dimensi sosialnya muncul,” ujarnya.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Arsul Sani, meminta Presiden Jokowi untuk benar-benar memperhatikan rekam jejak dalam menentukan lima anggota Dewan Pengawas KPK. ”Tiga hal yang kami harapkan diperhatikan oleh Presiden adalah integritas, kompetensinya untuk menjadi pengawas penegak hukum, dan kemampuan menegakkan akuntabilitas sebagai pengawas,” tuturnya.
Kendati mendapat dukungan DPR, keputusan Presiden Jokowi menjalankan amanat UU KPK hasil revisi, dan tak menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) KPK, menuai kritik dari masyarakat sipil.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berpendapat, keputusan Presiden Jokowi tak menerbitkan perppu KPK menunjukkan, pemerintah memang tidak menganggap isu antikorupsi sebagai agenda prioritas. Padahal, efek dari UU KPK baru berpotensi mengganggu langkah pemberantasan korupsi KPK.
Komitmen kasus Novel
Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis menegaskan komitmen Polri mengungkap kasus penyerangan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. ”Saya tetap berkomitmen secepatnya nanti memilih Kepala Badan Reserse Kriminal, tetapi di dalam Polri itu ada yang namanya Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi yang dipimpin Bapak Wakapolri. Tentu nanti kami akan cari perwira yang terbaik, tetapi komitmennya adalah secepatnya mengungkap, baik kasus Novel maupun kasus-kasus yang menjadi atensi di KPK,” katanya.
Idham mengutarakan hal itu saat berkunjung ke Gedung KPK, Jakarta. Dalam kunjungannya, Idham disambut Ketua KPK Agus Rahardjo.
”Ini kunjungan kedua Pak Kapolri setelah beliau ke Panglima TNI, lalu ke KPK. Kami berharap, dengan kunjungan ini, kerja sama KPK dan Polri makin baik serta dapat menghasilkan hal-hal terbaik bagi bangsa dan negara,” ujar Agus.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Muhammad Iqbal menyampaikan, setiap kasus mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda. Untuk kasus penyiraman air keras terhadap Novel, sudah ada temuan-temuan signifikan yang didapat tim teknis bentukan mantan Kapolri Jenderal (Pol Purn) Tito Karnavian. Namun, hal itu belum bisa dibuka ke publik.