Pembahasan sejumlah rancangan undang-undang bermasalah yang ditunda periode lalu akan kembali dilanjutkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat periode ini.
Oleh
Agnes Theodora dan Dhanang David Aritonang
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan sejumlah rancangan undang-undang bermasalah yang ditunda periode lalu akan kembali dilanjutkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat periode ini. DPR dan pemerintah diharapkan dapat mengkaji ulang substansi rancangan legislasi itu dan membuka ruang seluas-luasnya untuk menampung masukan dan perbaikan dari masyarakat.
Beberapa rancangan legislasi yang pembahasannya akan dilanjutkan oleh DPR dan pemerintah periode ini adalah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, RUU Pemasyarakatan dan RUU Pertanahan. Sejumlah RUU itu juga menjadi poin kritik dan tuntutan dari aksi unjuk rasa mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil pada akhir September 2019.
Penolakan yang luas dari publik mengakibatkan ditundanya pengesahan sejumlah rancangan legislasi tersebut oleh DPR dan pemerintah periode lalu.
Setelah susunan keanggotaan alat kelengkapan DPR yang terdiri dari 11 komisi dan 6 badan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR, Selasa (29/10/2019) kemarin, DPR pun akan segera mulai bekerja. Beberapa komisi dan badan, kemarin, mengadakan rapat untuk menetapkan susunan pimpinan alat kelengkapan dan program kerja ke depan.
Beberapa hal yang menjadi prioritas komisi-komisi tersebut adalah RUU-RUU problematik yang diwariskan oleh DPR periode 2014-2019. Meski demikian, fraksi-fraksi di DPR masih berbeda pendapat mengenai tahapan pembahasan RUU yang bersangkutan.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DPR memang bisa melakukan mekanisme luncuran (carry over) agar RUU yang ditunda bisa dilanjutkan kembali dan tidak perlu dibahas dari awal.
Namun, menurut Ronald, dalam kasus RUU-RUU bermasalah yang ditunda periode lalu, DPR dan pemerintah perlu membuka ruang konsultasi bagi publik untuk menerima masukan agar jangan ada lagi poin-poin bermasalah dalam RUU-RUU tersebut. Desakan dan kritik dari masyarakat harus menjadi pertimbangan sebagai bahan perbaikan.
”Jika tetap disahkan dengan sejumlah pasal bermasalah, secara legal formal memang terpenuhi karena beberapa RUU tersebut sudah melewati pembahasan tingkat pertama (komisi). Namun, secara legitimasi sosial, hal tersebut tidak terpenuhi karena pasti akan memunculkan penolakan kembali dari masyarakat,” katanya.
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, beberapa RUU yang sudah selesai pembahasannya pada periode lalu dapat langsung dilanjutkan ke tahapan berikutnya pada periode ini. Ia pun beranggapan, beberapa RUU seperti RKUHP dan RUU Pemasyarakatan, tidak perlu dibahas ulang lagi, tetapi bisa langsung disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR.
”Kan pembahasannya sudah selesai. Apa lagi yang mau dilanjutkan? Kalau menurut undang-undang, seharusnya (langsung disahkan),” kata Desmond.
Senada dengan Desmon, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P, Trimedya Panjaitan, mengatakan, seharusnya, keputusan itu tergantung pada kesepakatan fraksi-fraksi di DPR. Pembahasan RUU dapat dibuka kembali untuk ditinjau dan dievaluasi ulang atau langsung disahkan menjadi undang-undang berdasarkan hasil kesepakatan periode sebelumnya.
Trimedya beranggapan, pembahasan ulang RKUHP dan RUU Pemasyarakatan tidak diperlukan lagi karena di periode lalu, pembahasannya sudah selesai. Bahkan, sudah diputuskan di tingkat komisi oleh fraksi-fraksi saat itu.
”Nanti dibahas, apakah fraksi-fraksi sepakat dibawa ke paripurna (untuk pengesahan) atau dibuka lagi pembahasannya. Tetapi, kalau melihat semangatnya, pasti langsung paripurna, toh orangnya juga ini 80 persen sama semua, fraksinya juga sama semua,” kata Trimedya.
Menurut dia, meskipun ada penolakan dari publik, pada akhirnya pembahasan RUU adalan proses politik yang ditentukan pula secara politik. ”Publik menolak, trtapi DPR, kan, tidak menolak. Selalu problemnya di situ,” ujarnya.
Membuka ruang
Namun, tidak semua fraksi beranggapan seperti itu. Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Syarifuddin Sudding, mengatakan, DPR akan membuka kembali ruang untuk meninjau ulang pasal-pasal krusial yang selama ini bermasalah dan dikritik masyarakat. Pasal-pasal itu akan dipetakan ulang untuk dibahas lagi. Artinya, ada ruang untuk mengoreksi keputusan substansi RUU yang sudah diambil oleh DPR dan pemerintah periode lalu.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Golkar, Adies Kadir. Ia mengatakan, DPR dan pemerintah periode ini tidak akan terburu-buru merampungkan RKUHP. Justru, sebaliknya, DPR akan lebih berhati-hati agar substansi RKUHP yang dibahas pada periode ini tidak memancing kritik luas seperti periode lalu.
”Saya kira polanya harus begitu, kita buka kembali ruang pembahasan. Kesempatan itu kita pakai untuk mengundang masyarakat. Jadi, kemungkinan keputusan di periode lalu itu kita cabut saja, kita anggap tidak ada, kita ulang lagi pembahaaannya,” kata Sudding.
Sementara Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, RUU Pertanahan akan menjadi salah satu prioritas yang akan dibahas oleh Komisi II DPR RI. Namun, ia belum tahu apakah pembahasan RUU Pertanahan akan dibahas lagi dari awal atau dilanjutkan pembahasannya dari periode lalu.
”Mengenai apakah pembahasannya dari awal lagi ataupun melanjutkan pembahasan di periode sebelumnya, sangat tergantung dari pandangan yang berkembang dalam Komisi II dan kesepakatan dengan Menteri ATR/BPN,” ujarnya.