Dalam kasus ini, Dzulmi sebagai atasan langsung mengangkat Isa Ansyari sebagai Kepala Dinas PUPR Pemerintah Kota Medan pada Februari 2019. Setelah pelantikan, Dzulmi diduga menerima sejumlah pemberian uang dari Isa.
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Wali Kota Medan kembali menjadi tersangka tindak pidana korupsi. Kali ini, Wali Kota Medan periode 2016-2021, Tengku Dzulmi Eldin, ditangkap petugas Komisi Pemberantasan Korupsi dengan barang bukti sejumlah uang diduga suap terkait proyek dan jabatan.
“KPK sangat menyesalkan terjadinya suap dari perangkat daerah kepada kepala daerah hanya untuk memperkaya diri sendiri dan malah mencederai kepercayaan yang telah rakyat berikan. Para penyelenggara negara kemudian malah menggunakan uang yang seharusnya untuk rakyat, untuk kepentingan pribadi dan sekelompok orang,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Dzulmi merupakan Wali Kota Medan periode 2016-2021 yang dilantik pada 17 Februari 2016. Sebelumnya, Dzulmi juga pernah menjabat sebagai Wali Kota Medan sisa periode 2010- 2015 sejak 18 Juni 2014 menggantikan Wali Kota sebelumnya yang juga terkena kasus korupsi, Rahudman Harahap.
Selain Dzulmi yang diduga penerima suap, KPK menetapkan status tersangka kepada Kepala Bagian Protokoler Pemerintah Kota Medan Syamsul Fitri Siregar. KPK juga menetapkan status tersangka kepada Kepala Dinas PUPR Kota Medan Isa Ansyari.
“KPK juga mengimbau kepada seorang ajudan, Andika, untuk segera menyerahkan diri ke KPK dan membawa serta uang Rp 50 juta yang masih dalam penguasaannya,” kata Saut.
Dalam kasus ini, Dzulmi sebagai atasan langsung mengangkat Isa Ansyari sebagai Kepala Dinas PUPR Pemerintah Kota Medan pada Februari 2019. Setelah pelantikan, Dzulmi diduga menerima sejumlah pemberian uang dari Isa yang memberikan uang tunai sebesar Rp 20 juta setiap bulan pada periode Maret-Juni 2019. Pada tanggal 18 September 2019, Isa juga memberikan uang senilai Rp 50 juta kepada Dzulmi.
Saut menjelaskan bahwa pada Juli 2019, Dzulmi melakukan perjalanan dinas ke Jepang didampingi beberapa kepala dinas di lingkungan Pemerintah Kota Medan dalam rangka kerja sama kota kembar antara Kota Medan dan Kota Ichikawa di Jepang.
Dzulmi pun mengajak serta istri, dua anak, dan beberapa orang lain yang tidak berkepentingan. Keluarga Dzulmi bahkan memperpanjang waktu tinggal di Jepang selama 3 hari di luar waktu perjalanan dinas.
“Pada masa perpanjangan tersebut keluarga TDE (Dzulmi) didampingi oleh Kasubbag Protokol Pemerintah Kota Medan yaitu SFI (Syamsul Fitri Siregar). Akibat keikutsertaan pihak-pihak yang tidak berkepentingan, terdapat pengeluaran perjalanan dinas wali kota yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bisa dibayarkan dengan dana APBD,” tutur Saut.
Bukan pertama kali
Catatan Kompas, pada 2007, KPK menetapkan status tersangka korupsi kepada bekas Wali Kota Medan Abdillah dan Wakil Wali Kota Ramli dalam kasus pengadaan kendaraan pemadam kebakaran dan korupsi dana APBD Kota Medan tahun 2002- 2006. Mereka terlibat penyelewengan dana APBD Kota Medan tahun 2002- 2006.
Selanjutnya, pada 2010, Wali Kota Medan Rahudman Harahap ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara. Menurut Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut Edi Irsan Tarigan, kasus ini terjadi saat Rahudman menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan 2004-2005.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyayangkan OTT berulang terhadap kepala daerah. Menurutnya, pemerintah sudah terus mengingatkan tentang area rawan korupsi dan agar selalu berhati-hati dalam mengelola anggaran daerah.
Dia pun meyakini bahwa ketika KPK melakukan OTT hingga menetapkan seseorang menjadi tersangka tentu sudah didukung dengan alat bukti yang cukup dan bisa dipertanggungjawabkan. Meski tetap harus mengedepankan asas praduga tak bersalah sampai ada keputusan final dari pengadilan.
“Kami keluarkan surat keputusan agar wakil kepala daerah dapat tetap menjalankan roda pemerintahan. Pokoknya jangan sampai ada kekosongan hingga ada keputusan final dari pengadilan,” kata Tjahjo.
“Sejak 2006, kami sulit sekali mendorong pembangunan sistem karena memang hambatannya model mental mereka (kepala daerah Medan), yang korup dan sudah menjadi kebiasaan. Kalau kepala daerahnya sudah begini, jangan bicara soal birokrasi ke bawahnya, sama saja,” kata Endi.
Hasil studi KPPOD pada 2017, dari 33 ibukota provinsi yang dilakukan studi, Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara menempati urutan ke-33 atau urutan terakhir. Artinya, Medan menjadi kota terburuk dalam hal kualitas tata kelola pemerintahan terutama integritas dan kapasitas kepala daerah.
Dalam keadaan ini, menurut Endi, terobosan terpenting di Medan bukanlah soal membangun sistem. Namun, Medan harus dipimpin kepala daerah yang berintegritas dan memiliki komitmen membangun daerah.