Sekitar 170.900 jiwa tinggal atau mengungsi di tenda-tenda darurat pasca bencana gempa yang terjadi di Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram Bagian Barat pada 26 September 2019. Tenda darurat dibuat menggunakan terpal dengan penerangan terbatas, bahkan di sejumlah tenda para pengungsi bercampur baur, laki-laki dan perempuan, dewasa dan anak-anak.
Kondisi tersebut bukan hanya tidak nyaman bagi pengungsi, tetapi juga rawan terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. “Kondisi di pengungsian seperti itu harus mendapat perhatian,” kata Nyimas Aliyah, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan pada Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di Jakarta.
Belum lama ini, tim KPPPA turun ke lokasi memantau kondisi tempat pengungsian di Maluku. Karena itu, KPPPA meminta semua pihak memberikan perhatian khusus terhadap perempuan dan anak-anak di pengungsian. Paling tidak, penerangan di tenda dan sekitar tenda harus cukup, juga memisahkan fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) pengungsi laki-laki dan perempuan. Jangan sampai kasus pelecehan/kekerasan seksual yang menimpa sejumlah perempuan dan anak pengungsi korban bencana di Sulawesi Tengah terjadi di Maluku.
Penilaian Cepat Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di Masa Tanggap Darurat (November 2018-Januari 2019) yang dilakukan United Nations Population Fund (UNFPA), menemukan sejumlah fakta yang memprihatinkan. Sejumlah perempuan dan anak korban bencana gempa, likuefaksi, dan tsunami yang terjadi setahun yang lalu (28 September 2018) di Kabupaten/Kota Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah, mengalami KBG pada saat di pengungsian.
Kekerasan tersebut terjadi di dalam kamp dan tenda, fasilitas mandi-cuci kakus, serta di area-area yang gelap dan terisolir di sekitar ladang/perkebunan, dan tempat-tempat pengambilan air. Karena itulah, ketika bencana terjadi di Ambon dan sekitarnya, KPPPA langsung turun ke lokasi memantau kondisi tempat pengungsian.
Kehilangan masa depan
Kasus yang menimpa perempuan dan anak perempuan korban bencana di Sulteng, seharusnya menjadi pelajaran berharga. Karena di Sulteng, bukan hanya kehilangan sanak saudara dan harta benda, sejumlah perempuan dan anak kehilangan masa depan. Mereka mengalami kekerasan mulai dari percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, pemerkosaan dengan kekerasan, pemerkosaan yang dilakukan beberapa orang (gang rape), eksploitasi seksual, hingga kekerasan dalam rumah tangga (pemukulan, pengusiran, poligami, hingga kekerasan verbal). Beberapa di antara mereka, mengalami perkawinan anak, kawin paksa, bahkan sunat perempuan.
Usia korban mulai dari sembilan tahun hingga 50 tahun. Sementara pelaku adalah laki-laki dewasa dan remaja yang dikenal (paman/saudara laki-laki dari orangtua, ayah, kakek, pemuka komunitas/masyarakat) atau pun tidak dikenal.
Kasus-kasus tersebut sebenarnya beberapa kali mencuat ke publik bahkan diberitakan di sejumlah media. Namun tidak semua yang terungkap ke publik. Bahkan, sejumlah kasus kekerasan yang mengakibatkan penderitaan ganda bagi perempuan dan anak perempuan di lokasi pengungsian, malah ditutup-tutupi baik oleh keluarga maupun komunitas.
Sejumlah kasus kekerasan yang mengakibatkan penderitaan ganda bagi perempuan dan anak perempuan di lokasi pengungsian, malah ditutup-tutupi baik oleh keluarga maupun komunitas.
Bahkan dalam kasus pemerkosaan ada keluarga korban memilih diam, karena khawatir dihina dan mendapat pandangan buruk dari lingkungannya. Ada juga korban yang dipukuli keluarga, bahkan dipaksa menikah dengan pelaku.
Kondisi tersebut juga membuat tidak semua korban berani menceritakan pada keluarga, apalagi melapor ke tenda ramah perempuan. Sejumlah korban memilih diam atau lari dari lokasi pengungsian. Bahkan ada kasus, dua remaja yang hamil akibat pemerkosaan meninggal dunia, setelah berusaha melakukan aborsi dengan cara yang tidak aman. Mereka yang selamat setelah melakukan aborsi, diduga menjadi korban perdagangan manusia dan eksploitasi seksual.
Selain kawin paksa, hidup di tengah pengungsian juga membuat anak-anak perempuan berada dalam situasi perkawinan anak. Temuan penelitian cepat UNFPA, pascabencana sejumlah anak perempuan berusia 13-15 tahun menikah. Selain karena tekanan orangtua dan teman sebaya, pengaruh menonton film, adat, agama, juga membuat anak-anak menjalani perkawinan di usia dini.
Dari penelitian di 10 tempat pengungsian, setidaknya ada 57 kasus KBG yang dilaporkan ke Tenda Ramah Perempuan/Ruang Ramah Perempuan. Korbannya adalah perempuan dalam berbagai status, seperti perempuan dan remaja perempuan kepala keluarga, perempuan yang menjadi janda (ditinggal pergi suami atau suami meninggal), perempuan dan remaja perempuan yang hidup melajang (tanpa pasangan/belum menikah), dan perempuan yang menjadi orangtua tunggal.
Selain kawin paksa, hidup di tengah pengungsian juga membuat anak-anak perempuan berada dalam situasi "perkawinan anak". Temuan penelitian cepat UNFPA, pascabencana sejumlah anak perempuan berusia 13-15 tahun menikah. Selain karena tekanan orangtua dan teman sebaya, pengaruh menonton film, adat, agama, juga membuat anak-anak menjalani perkawinan di usia dini.
Selain kawin paksa, hidup di tengah pengungsian juga membuat anak-anak perempuan berada dalam situasi "perkawinan anak".
Menurut Ita Fatia Nadia, National Konsultan untuk Gender Based Violence (GBV) in Humanitarian, UNFPA, temuan tersebut hanyalah puncak gunung es dari kasus KBG yang sebenarnya terjadi di lokasi pengungsian pascabencana. Karena hanya sebagian kecil dari kasus yang terungkap. Diduga ada begitu banyak kasus yang belum terungkap, mengingat jumlah pengungsi di Sulteng lebih dari 172.969 jiwa.
Temuan kasus KBG di Sulteng, bisa saja terjadi di beberapa daerah bencana. Karena itu, sangat penting langkah konkret dari pemerintah (pusat dan daerah) untuk memastikan lokasi-lokasi pengungsian benar-benar aman bagi perempuan dan anak. Selain meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat akan perlindungan perempuan dan anak perempuan, koordinasi antar lembaga yang menangani pengungsi korban bencana harus ditingkatkan.
Penyediaan tenda/kamp pengungsian, hunian sementara oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat maupun pemerintah daerah, hendaknya memperhatikan faktor keselamatan perempuan dan anak perempuan (juga termasuk anak laki-laki) dari ancaman kekerasan, terutama kekerasan seksual.
Jika tidak, setiap kali ada bencana dan terjadi pengungsian dalam waktu yang lama, kekerasan seperti kekerasan seksual akan terus mengancam perempuan dan anak-anak. Mari bertindak, sebelum semuanya terlambat.