Bagai dua sisi mata uang, keberhasilan dan kegagalan tak pernah terpisahkan dalam jalan politik Partai Gerindra. Sejak dilahirkan dan turut bertarung dalam politik pemilu, selama itu pula prestasi spektakuler dicapai.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Bagaikan dua sisi mata uang, keberhasilan dan kegagalan tak pernah terpisahkan dalam jalan politik Partai Gerindra. Semenjak dilahirkan dan turut bertarung dalam politik pemilu, selama itu pula prestasi spektakuler dicapai. Namun, justru pada saat yang sama, kegagalan-kegagalan Gerindra mengusung Prabowo Subianto sebagai presiden menjadi pengalaman politik memilukan.
Kekalahan ketua umum sekaligus pendiri Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Prabowo Subianto, dalam Pemilu 2019 dapat dikatakan sebagai salah satu puncak keterpurukan emosional kader ataupun simpatisan partai ini. Bagaimana tidak, untuk kedua kalinya, peluang besar merebut kursi kepresidenan kandas.
Pada pemilu lalu, sebanyak 68.650.239 (44,5 persen) suara pemilih yang berhasil dikuasai Prabowo Subianto-Sandiaga Uno belum cukup mampu menundukkan rival politiknya, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, yang meraih dukungan 85.607.362 suara (55,5 persen).
Dukungan sebesar itu sebenarnya sudah bertambah signifikan jika dibandingkan dengan kekalahan Prabowo pada Pemilu 2014 saat berpasangan dengan Hatta Rajasa (62.576.444 pemilih). Namun, segenap upaya yang dilakukan tidak cukup mampu menggagalkan langkah Jokowi memperpanjang jabatan kepresidenannya.
Menjadi semakin emosional mengingat kegagalan-kegagalan politik tersebut sudah menyertainya sejak pertama kali turut berkontestasi dalam politik pemilu. Pada Pemilu Presiden 2009, setahun setelah Gerindra berikrar sebagai partai politik, kegagalan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto meraih kursi kepresidenan dari Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sudah terjadi. Bersama Megawati, Prabowo yang berposisi sebagai calon wakil presiden mampu mengumpulkan 32,55 juta dukungan pemilih (26,79 persen).
Dengan rentetan kegagalan politik itu, sosok ketua umum dan pendiri Gerindra, Prabowo Subianto, menjadi politisi dengan pengalaman kegagalan meraih kekuasaan kepresidenan terbanyak. Namun, di balik kegagalannya, hal itu justru menempatkan partai yang didirikannya sebagai kekuatan politik paling ekspansif dari berbagai kekuatan politik kepartaian di Indonesia.
Harus diakui, eksistensi politik Gerindra dalam sejarah kepartaian di negeri ini tergolong fenomenal. Sebagai kekuatan politik elektoral, Gerindra mencatat keberhasilan yang tiada tersandingkan dengan partai politik lain. Didukung kinerja mesin politik partai yang agresif, sebagai partai pendatang baru, Gerindra berhasil meraih 4.646.406 dukungan pemilih (4,46 persen) di Pemilu 2009. Saat itu, Gerindra bahkan mampu menyingkirkan eksistensi partai lama dan menguasai 26 kursi di DPR.
Begitu pula dalam Pemilu 2014, Gerindra semakin meneguhkan posisinya di peta politik nasional. Jika sebelumnya terposisikan sebagai partai papan tengah perolehan dukungan, kali ini Gerindra mampu beranjak pada kelompok papan atas. Pada Pemilu 2014, Gerindra menguasai 14.760.371 dukungan (11,81 persen), menjadi pemenang ketiga di bawah PDI-P dan Partai Golkar. Artinya, dibandingkan dengan dukungan pemilu sebelumnya, terjadi peningkatan hingga tiga kali lipat. Pada pemilu ini pula, sebanyak 73 kursi DPR diraih.
Becermin pada sejarah penguasaan pemilih partai-partai politik di Indonesia, nyaris tidak terdapat partai politik yang mampu secara konsisten memperbesar ruang penguasaan politik ataupun dukungan hingga lebih dari dua kali penyelenggaraan pemilu. Istimewanya, kisah kegagalan partai politik semacam itu tidak berlaku pada Gerindra.
Penguasaan politik dan dukungan Gerindra tidak tersendat sampai Pemilu 2014. Justru pada Pemilu 2019, dukungan pemilih terhadap Gerindra semakin besar. Sebanyak 17.596.839 pemilih (12,57 persen) dikuasai. Jumlah penguasaan kursi DPR membesar menjadi 78 kursi. Dengan capaian dukungan sebanyak itu, posisi Gerindra menjadi pemenang kedua dalam jumlah suara dukungan. Namun, dalam jumlah kursi, Gerindra tetap menempati posisi ketiga setelah PDI-P dan Golkar.
Dua fakta yang bersanding, kemenangan dan kekalahan, menjadi sisi unik Gerindra. Hanya saja, situasi emosional yang bertolak belakang tersebut melahirkan kondisi serba dilematik bagi partai ini, khususnya jika dikaitkan dengan masa depan perjalanan politiknya. Hal itu dikatakan dilematik karena keberadaan partai ini tak lepas dari sosok pendiri sekaligus ketua umumnya, Prabowo.
Karakteristik Gerindra, semenjak dibangun Prabowo, tampak jelas menjadi suatu partai yang bersandar total pada kekuatan sosok pendirinya. Jika merujuk pada tipologi partai politik yang dibangun oleh Gunter dan Diamond (2003), Gerindra tergolong sebagai personalistic parties, sebagaimana umumnya ciri partai politik yang berkuasa belakangan ini di Indonesia, seperti PDI-P, Demokrat, dan Nasdem.
Peningkatan suara dukungan Gerindra yang konsisten pada tiga pemilu terakhir juga tak lepas dari faktor Prabowo Subianto, baik sebagai pemimpin partai maupun sebagai calon presiden. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas jelang Pemilu 2019 lalu, misalnya, secara konsisten terlihat bahwa faktor ketua umum partai dan calon presiden yang diusung Gerindra menjadi daya tarik utama pilihan mereka terhadap partai ini (45,5 persen). Proporsi tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan dengan pilihan terhadap program-program partai yang menjadi daya tarik pilihan (30,4 persen) atau kekuatan sosok calon anggota legislatif Gerindra (1,9 persen).
Dengan modal politik yang sedemikian terkonsentrasi pada Prabowo, persoalan selanjutnya, apakah ekspansi politik Gerindra dapat terjaga hingga Pemilu 2024? Secara hipotetikal, personalistic parties membuka ruang kelanjutan (kontinuitas) kemenangan ataupun pengaruh politik Gerindra jika posisi politik Prabowo tidak berubah. Artinya, jika posisi sebagai pendiri sekaligus pemimpin partai serta kehadirannya sebagai calon presiden tetap terjaga, modal politik Gerindra tetap kuat dalam mempertahankan konstituennya.
Begitu pula sebaliknya, diskontinuitas keunggulan partai berlangsung jika posisi politik Prabowo tak lagi terlibat dalam arus persaingan politik di negeri ini. Pengalaman tiga kali berturut-turut dalam pertarungan politik kepemimpinan negeri tentu saja mendorong kalkulasi rasional tentang keikutsertaannya dalam penguasaan kursi presiden mendatang.
Memilih langkah transformasi kepartaian yang lebih menekankan perjuangan sisi ideologi dan programatik partai ketimbang topangan kekuatan personal dapat menjadi pilihan. Karakteristik ideologi yang khas dan tecerminkan dalam berbagai program ekonomi berkeadilan sosial memiliki kekuatan yang relevan dalam kekinian Indonesia. Namun, bersandar pada model programatik semacam ini jelas bukan perkara mudah di tengah dominasi kultur patronase masyarakat.
Dihadapkan pada kedua situasi bertolak belakang dan sama-sama berkonsekuensi terhadap masa depan politik inilah, dilema politik Gerindra mencuat sekaligus menjadi pergulatan partai dalam merangkai lima tahun ke depan perjalanan politiknya.