Kalau ada orang yang diduga melakukan kekerasan, misalnya, merusak fasilitas publik, tangkap saja. Tapi, jangan digebukin, jangan disiksa. Kalau tidak, kita akan kembali lagi ke dalam lingkaran kekerasan.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai tindakan aparat penegak hukum dalam aksi unjuk rasa yang berakhir rusuh di sekitar kompleks MPR/DPR di Senayan, Jakarta Pusat dalam beberapa hari terakhir merupakan tindakan represif. Khususnya terkait penangkapan ratusan masyarakat, termasuk mahasiswa dan pelajar tanpa alasan yang jelas.
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM M Choirul Anam di Jakarta, Rabu (2/10/2019), akan kembali mendatangi Polda Metro Jaya dalam waktu dekat untuk memastikan komitmen bersama terkait pembangunan posko. Tujuannya, yaitu untuk memudahkan orang mengakses pengunjuk rasa yang ditangkap polisi.
"Kami sudah datang ke Polda tanggal 28 September kemarin, ternyata masih banyak yang ditahan, jadi kami akan datang ke Polda lagi. Kami juga mendorong polisi untuk melepaskan mahasiswa," kata Anam.
Hingga Selasa (1/10/2019), polisi mengamankan 519 orang. Mereka tersebar di Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya (163 orang), Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya (70), Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya (82), Polres Jakarta Utara (36), Polres Jakarta Pusat (11), dan Polres Jakarta Barat (157). Sebanyak tujuh orang yang diamankan Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya karena positif menggunakan sabu dan ganja.
Anam mengatakan, Komnas HAM akan menampung temuan masyarakat. Sebab, tidak seharusnya polisi melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi manusia, baik dengan mengepung, mengejar, menangkap, bahkan memukuli.
“Kalau dalam militer itu jelas bahwa kalau ada musuh harus dikepung biar lumpuh. Tapi itu dalam kondisi pertempuran, ya, beda dengan pengamanan unjuk rasa,” ujarnya.
Pernyataan Komnas HAM ini juga sebagai respons atas laporan dari Tim Advokasi untuk Demokrasi terkait temuan penangkapan besar-besaran oleh Polri dan penahanan terhadap orang-orang yang tidak memiliki identitas. Tim Advokasi untuk Demokrasi terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform, dan Lokataru.
Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mempertanyakan standar Polri dalam merespons aksi unjuk rasa. Bahkan, kata Arif, hingga saat ini mereka yang ditangkap belum diberikan pendampingan hukum.
"Tindakan represif ini sudah mengarah ke brutalitas. Apa standar sebenarnya dari kepolisian sehingga orang yang melakukan aksi damai ditangkap, tenaga medis yang menangani teman-teman yang terkena gas air mata ditangkap, bahkan jurnalis yang melakukan tugas dan fungsinya juga direpresi," kata Arif.
Lingkaran kekerasan
Deputi Koordinator KontraS Feri Kusuma mengatakan, kejadian ini membuktikan bahwa aparat kepolisian masih sangat emosional dalam merespons aksi unjuk rasa. Menurut Feri, kepolisian tidak boleh melakukan tindak kekerasan terhadap pengunjuk rasa.
"Kalau ada orang yang diduga melakukan kekerasan, misalnya, merusak fasilitas publik, tangkap saja. Tapi, jangan digebukin, jangan disiksa. Kalau tidak, kita akan kembali lagi ke dalam lingkaran kekerasan," kata Feri.
Menurutnya, sesungguhnya sejauh ini sudah mulai terbuka komunikasi dengan Polda Metro Jaya. Memang ada beberapa yang diduga membawa senjata tajam, batu, ada bukti melakukan tindak pidana sehingga belum bisa ditemui oleh keluarganya. Namun, polisi sudah memulangkan mereka secara bertahap.
"Tapi inilah yang harus menjadi refleksi bersama baik Kepolisian maupun masyarakat bagaimana menyelesaikan persoalan bangsa dalam konteks penegakan hukum. Kita harus tetap menjaga agar demokrasi berjalan baik," kata Feri.
Saat dikonfirmasi mengenai hal ini, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono belum memberikan tanggapan. Melalui pesan singkat, Argo menyatakan, "masih meeting."