Indonesia Butuh Peningkatan Daya Saing di Selat Malaka
Indonesia perlu meningkatkan daya saing demi menangkap berbagai peluang di Selat Malaka, sebagai salah satu jalur pelayaran strategis di dunia. Sumber daya manusia yang berkualitas dan pelayanan prima.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Indonesia perlu meningkatkan daya saing demi menangkap berbagai peluang di Selat Malaka, sebagai salah satu jalur pelayaran strategis di dunia. Sumber daya manusia yang berkualitas, pelayanan prima, serta penjaminan keamanan menjadi kunci.
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan, Capt Wisnu Handoko, mengatakan, dibandingkan Singapura dan Malaysia, sebagai negara pesisir di Selat Malaka, Indonesia paling minim dari segi pemanfaatan. Padahal, aspek bisnis di selat itu menjanjikan.
“Ini karena keterbatasan kompetensi dan ketertinggalan teknologi. Singapura, diikuti Malaysia, lebih mampu memanfaatkan peluang itu lewat fasilitas yang ada. Ini menjadi tantangan,” kata Wisnu, di sela-sela Forum Kerja Sama Selat Malaka, di Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (30/9/2019).
Menurut data Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub, ada sekitar 80.000 kapal yang melintasi Selat Malaka setiap tahun. Sejak lama, pengguna salah satu jalur penting dalam pelayaran dunia itu yakni negara-negara maju, termasuk Jepang dan sejumlah negara Eropa.
Ibarat jalan tol, kapal-kapal yang melewati Selat Malaka membutuhkan tempat istirahat, antara lain untuk mengisi bahan bakar. “Ada aspek bisnis yang bisa dimanfaatkan. Kita perlu membuat fasilitas berdaya saing, yang bisa meyakinkan para pengguna jalur (untuk singgah),” kata Wisnu.
Wisnu menambahkan, pemerintah pusat terus berupaya meningkatkan mutu SDM. Di antaranya melalui pendidikan dan pelatihan bagi para tenaga pandu serta operator stasiun pemantau kapal (VTS). Pelayanan kepelabuhanan dan jaminan keamanan pun diharapkan terus meningkat.
Pelayanan kepelabuhanan dan jaminan keamanan pun diharapkan terus meningkat.
Selat Malaka, lanjut Wisnu, dikelola bersama dunia internasional sejak 1969. Saat itu, sejumlah negara termasuk Jepang membangun fasilitas seperti stasiun radio pantau dan alat bantu navigasi. Seiring perkembangan, Singapura, Malaysia, dan Indonesia juga meningkatkan perannya.
Forum Kerja Sama (CF) Selat Malaka tahun ini merupakan forum yang ke-12. Digelar pada 30 September-4 Oktober 2019, di Semarang, bersama dengan CF juga digelar Tripartite Technical Experts Group (TTEG) ke-44, dan Project Coordination Comittee (PCC) ke-12. Selain ketiga negara pesisir di Selat Malaka, yakni Indonesia, Singapura, dan Malaysia, hadir sejumlah perwakilan negara pengguna jalur itu.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menuturkan, Selat Malaka dan Singapura (SOMS) dilalui kapal yang mengangkut sekitar sepertiga barang yang diperdagangkan di dunia. Lewat CF ke-12, diharapkan ada dialog dan pertukaran informasi terkait isu-isu penting terkait SOMS.
Budi menambahkan, keselamatan navigasi dan perlindungan lingkungan laut menjadi perhatian utama. “Indonesia berkomitmen dengan menyiapkan pandu-pandu profesional. Kami menyadari, selat harus tetap aman, bersih, dan terbuka untuk pengiriman internasional,” ujarnya.
Perwakilan dari Departemen Kelautan Malaysia, Dato` Hj Baharin Bin Dato Abdul Hamid, berharap, lewat forum, dicapai solusi bersama untuk memastikan keamanan navigasi di SOMS.. “Sebab, aspek keamanan ini penting, begitu juga dalam menjaga lingkungan,” ujarnya.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menuturkan, pihaknya tengah menyiapkan pengembangan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang dan Pelabuhan Kendal. Nantinya, aktivitas perekonomian ke Jateng diharapkan bakal terus meningkat, termasuk dari kapal-kapal yang melalui Selat Malaka.