Lebih dari 12 jam setelah gempa berkekuatan M 6,5 mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya pada Kamis (26/9/2019) pagi, belum ada pos komando terpadu yang mengoordinasi tindakan pemerintah menangani bencana.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Lebih dari 12 jam setelah gempa bermagnitudo 6,5 mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya pada Kamis (26/9/2019) pagi, belum ada pos komando terpadu yang mengoordinasi tindakan pemerintah menangani tanggap darurat bencana. Pos dimaksud seharusnya dibentuk oleh badan penanggulangan bencana daerah, baik Kota Ambon maupun Provinsi Maluku. Sejumlah pemangku kepentingan kebingungan.
Pemerintah daerah dianggap lamban dan tidak membangun koordinasi yang baik dengan pihak terkait untuk penanganan bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana akhirnya meminta bantuan langsung kepada Komando Daerah Militer XVI/Pattimura.
”Biar informasi data itu akurat mestinya dibentuk posko (pos komando) pengendali utama,” ujar Kepala Kantor SAR Kota Ambon Muslimin. Ia mengaku kebingungan dengan data yang masih simpang siur. Sejumlah instansi menyampaikan data berbeda-beda tanpa penyaringan terlebih dahulu.
Keakuratan data yang dimaksud Muslimin adalah jumlah korban, lokasi pengungsian, dan kerusakan. Data dimaksud akan mempermudah pelaksanaan tanggap darurat. Adapun SAR merupakan elemen penting dalam tanggap darurat.
Hingga Kamis malam, belum ada penetapan masa tanggap darurat. Rapat koordinasi di antara pemangku kepentingan pun belum dilaksanakan.
Rapat koordinasi di antara pemangku kepentingan pun belum dilaksanakan.
Keluhan serupa juga disampaikan petugas dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Geofisika Ambon. Badan penanggulangan bencana daerah dianggap gamang dalam bertindak. ”Harus dibentuk posko utama agar informasi satu pintu. BMKG menyampaikan informasi kegempaan, sedangkan pihak terkait lainnya dengan porsi masing-masing,” kata seorang pegawai.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letnan Jenderal Doni Monardo kepada Kompas mengatakan, dirinya sudah meminta dukungan dari Kodam XVI/Pattimura. Dirinya juga akan berangkat dari Jakarta ke Ambon pada Jumat dini hari nanti. Setelah mendarat pada Jumat pagi, Doni akan meninjau langsung penanganan bencana di Kota Ambon dan sekitarnya.
Sementara itu, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Maluku Farida Salampessy yang dihubungi mengaku masih sibuk mendata jumlah korban di lapangan. Data korban yang disampaikan berbeda dengan instansi lain. Saat dirinya menyampaikan jumlah korban meninggal 2 orang, pada saat bersamaan instansi lain melaporkan belasan orang.
Menurut pantauan Kompas pada Kamis malam, warga yang tinggal di pesisir Kota Ambon mengungsi ke dataran tinggi. Mereka khawatir akan terjadi gempa besar yang berpotensi tsunami. Di Lapangan Galunggung, Desa Batu Merah, misalnya, ratusan warga tidur tanpa menggunakan tenda.
Sesaat setelah gempa berkekuatan M 6,5 mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya pada Kamis (26/9/2019) pagi, warga langsung bergerak menuju dataran tinggi. Mereka mencari titik kumpul yang diperkirakan aman dari bahaya potensi tsunami.
Menurut pantauan Kompas, warga yang tinggal di pusat Kota Ambon langsung bergerak menuju dataran tinggi di kawasan Kebun Cengkeh, Karang Panjang, Kayu Putih, Bere-bere, dan Gunung Nona. Pusat Kota Ambon yang berada di pinggir pantai itu dikhawatirkan rawan dilanda tsunami.
Permukiman yang tumbuh di pusat Kota Ambon membentang sepanjang pesisir sejauh lebih kurang 4 kilometer. Lebar permukiman dari bibir pantai ke darat kurang dari 2 kilometer. Ribuan rumah, kantor pemerintahan, pusat perbelanjaan, dan pasar berada dalam cakupan itu. Diperkirakan lebih dari 200.000 jiwa penduduk Kota Ambon tinggal dekat bibir pantai.