Investor Manfaatkan Koreksi IHSG di Awal Pekan akibat Unjuk Rasa
Koreksi terbatas Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG pada awal pekan akibat sentimen aksi demonstrasi dimanfaatkan investor untuk melakukan akumulasi pembelian.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koreksi terbatas Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG pada awal pekan akibat sentimen aksi demonstrasi dimanfaatkan investor untuk melakukan akumulasi pembelian. Aksi ini menyebabkan dalam dua hari terakhir IHSG ditutup di zona hijau.
Pada penutupan perdagangan Kamis (26/9/2019), IHSG kembali menguat 83,93 poin atau 1,37 persen ke posisi 6.230,33. Tren ini menjadi kelanjutan dari sentimen positif hari sebelumnya setelah di awal pekan IHSG anjlok akibat aksi demonstrasi di sejumlah wilayah di Tanah Air.
IHSG pada Senin awal pekan ini ditutup turun 25,27 poin ke level 6.206,19. Kemudian, pada Selasa, IHSG kembali anjlok 68,59 poin ke level 6.137,6. IHSG baru berhasil rebound pada perdagangan Rabu (25/9/2019), sebesar 8,8 poin atau 0,14 persen di level 6.146,4.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa Efek Indonesia (BEI) Laksono Widodo mengatakan, isu politik menjadi sentimen yang bisa berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi investor, terutama investor asing. Keputusan investor di pasar modal tentu akan memengaruhi kinerja IHSG.
”Perspektif investor memiliki hubungan yang sangat erat terhadap dinamika politik di dalam negeri. Mereka (investor) lebih menginginkan kondisi positif,” ujarnya.
Berdasarkan data RTI Infokom, dalam sepekan terakhir, investor asing mencatatkan aksi jual mencapai Rp 2,3 triliun. Setelah 10 hari beruntun mencatatkan aksi jual, investor asing baru mencatatkan aksi beli bersih pada perdagangan Kamis ini sebesar Rp 175,57 miliar.
Direktur PT Indosurya Bersinar Sekuritas William Surya Wijaya menilai, rentang gerak IHSG dalam jangka pendek masih menunjukkan pola konsolidasi sebelum kembali melanjutkan kenaikan. Di samping itu, kecemasan pelaku pasar terhadap stabilitas keamanan dalam negeri dinilai sudah berkurang.
”Supportlevel masih tampak cukup kuat dan tahan uji. Hal ini tentunya ditopang oleh beberapa faktor, di antaranya fundamental perekonomian yang masih kuat,” ucap William dalam riset hariannya.
Ia menuturkan, momentum koreksi wajar yang terjadi pada awal pekan masih dapat dimanfaatkan investor untuk melakukan akumulasi pembelian dengan target jangka menengah hingga panjang.
Terlebih lagi, lanjut William, harapan berakhirnya konflik perdagangan AS-China serta meredanya kekhawatiran soal pemakzulan terhadap Presiden AS Donald Trump mampu mengerek permintaan untuk aset-aset berisiko, termasuk instrumen pasar modal Indonesia.
Sepakat dengan William, analis Binaartha Sekuritas, Nafan Aji Gusta Utama, menyebutkan, meredanya sentimen perang dagang AS-China serta adanya ekspektasi terkait dengan stabilitas pada kinerja pertumbuhan ekonomi AS akan menjadi sentimen positif bagi bursa global.
Terkait sentimen dari dalam negeri, lanjut Nafan, stabilitas politik dan keamanan merupakan faktor penting yang memberikan efek positif bagi meningkatnya kepercayaan investor untuk berinvestasi di pasar modal.
Meredanya sentimen perang dagang AS-China serta adanya ekspektasi terkait dengan stabilitas pada kinerja pertumbuhan ekonomi AS menjadi sentimen positif bagi bursa global.
”Di sisi lain, stabilitas fundamental ekonomi makro domestik yang inklusif dan berkesinambungan mendukung hal tersebut,” ujarnya.
Frekuensi perdagangan saham pada perdagangan terakhir tercatat 481.083 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 15,88 miliar lembar saham senilai Rp 8,23 triliun. Dari seluruh saham yang diperdagangkan di pasar modal, sebanyak 235 saham naik, 151 saham menurun, dan 158 saham sisanya stagnan.