JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinilai gagal memisahkan pertanggungjawaban hukum korporasi dengan pertanggungjawaban pengurus. Ini berpotensi menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia pada individu pengurus yang tak pernah didakwa terkait kejahatan korporasi.
Pakar hukum lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Andri Gunawan Wibisana, Jumat (20/9/2019), di Jakarta, mengatakan ketentuan yang menjelaskan “kapan” pengurus bertanggungjawab sangat diperlukan. Momen revisi RKUHP bisa menjadi momen untuk memasukkan ketentuan tersebut. Apabila tidak diatur ketentuan tersebut, pelaksanaan pertanggungjawaban korporasi dapat bergeser ke subyek hukum orang atau individu pengurus.
Dengan demikian, individu tersebut bisa saja terpaksa bertanggungjawab atas tindak pidana yang tidak dilakukannya. Terlebih, kata dia, individu tersebut tak pernah menjalani dakwaan dan menjadi terpidana di pengadilan.
“Akibatnya pengurus di banyak kasus bisa bertanggungjawab tanpa jelas keterlibatannya dalam kejahatan korporasi bahkan tanpa pernah didakwa. Penjara tanpa dipidana didakwa itu ngeri. Salah subyek dan melanggar hak asasi manusia,” kata dia.
Pengurus di banyak kasus bisa bertanggungjawab tanpa jelas keterlibatannya dalam kejahatan korporasi bahkan tanpa pernah didakwa.
Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) mengatakan, RKUHP draf versi 15 September 2019 terdapat sejumlah kecacatan, tidak terkecuali perumusan tindak pidana lingkungan hidup dan pertanggungjawaban korporasi. Pengaturan tentang pertanggungjawaban korporasi akan sulit menjerat korporasi karena definisi yang sangat luas dan sulit membuktikan bagaimana suatu kebijakan korporasi menjadi budaya perusahaan (pasal 47 dan pasal 49 huruf c).
Pembuktian semakin sulit
Peneliti ICEL, Marsya M Handayani, menjelaskan pembuktian tindak pidana lingkungan hidup (pasal 346 dan 347) akan semakin sulit karena adanya unsur melawan hukum dan akibat. “Pelaku akan berdalih kalau punya izin maka tidak akan mungkin ia melawan hukum dan menyebabkan pencemaran atau kerusakan. Seharusnya tidak perlu lagi unsur itu, cukup dibuktikan apakah tindakan pelaku melebihi baku mutu pencemaran atau kriteria baku kerusakan,” ungkapnya.
Pembuktian tindak pidana lingkungan hidup (pasal 346 dan 347) akan semakin sulit karena adanya unsur melawan hukum dan akibat.
Andri Gunawan mengatakan rumusan pada kedua pasal tersebut mirip dengan rumusan Pasal 41 dan 42 UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang telah terbukti sangat lemah dalam menjerat para pelaku pencemaran. Menyadari kelemahan yang ada dalam Pasal 41 dan 42 UU 23/1997, kedua pasal ini diubah rumusannya dengan Pasal 98 dan 99 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan diadopsinya Pasal 346 dan 347 RKUHP, kata dia, kedua pasal yang tidak efektif justru dihidupkan kembali.
Perumusan pidana dan pemidanaan dalam tindak pidana lingkungan hidup di RKUHP juga mengubah model dan pola yang dimuat dalam UU 32/2009. Rumusan jenis pidana yang diancam kepada pelaku tindak pidana lingkungan hidup dirumuskan dengan model alternatif, sedangkan dalam UU 32/2009 dirumuskan secara kumulatif. Hal ini tentunya membuat hakim hanya bisa menjatuhkan pidana denda atau penjara, tidak bisa menjatuhkan keduanya.
Padahal, RKUHP mengatur pedoman pemidanaan yang bisa mengesampingkan model kumulatif dalam hal tertentu. Selanjutnya, kata dia, dari ancaman pidana, RKUHP juga tidak menggunakan ancaman pidana minimal khusus, sehingga hakim diberi kebebasan menjatuhkan pidana serendah-rendahnya. Untuk ancaman pidana maksimal, UU 32/2009 merumuskannya secara lebih tegas.
Boy Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, mengatakan perumusan pidana dan pemidanaan tindak pidana lingkungan hidup menjadikan tindak pidana ini seolah tindak pidana biasa, bukan menjadi tindak pidana serius. Dalam berbagai kesempatan, KLHK selalu menyerukan bahwa kejahatan terhadap lingkungan hidup adalah kejahatan luar biasa.
Perumusan pidana dan pemidanaan tindak pidana lingkungan hidup menjadikan tindak pidana ini seolah tindak pidana biasa, bukan menjadi tindak pidana serius.
ICEL dan Walhi mendesak agar DPR menunda dan mengkaji ulang RKUHP. Kedua organisasi sipil ini pun meminta pembahas RKUHP mengeluarkan tindak pidana lingkungan hidup dari RKUHP sehingga tetap menjadi tindak pidana serius serta memperbaiki ketentuan tentang korporasi dan pertanggungjawabannya.