Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah disetujui disahkan menjadi undang-undang, menghilangkan peran komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai penyidik dan penuntut umum.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah disetujui disahkan menjadi undang-undang, menghilangkan peran komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai penyidik dan penuntut umum. Ini berpotensi berdampak buruk pada kasus-kasus korupsi yang ditangani ke depan.
Selain itu, lembaga baru yaitu Dewan Pengawas KPK, dinilai tak jelas statusnya. Draf revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK yang telah disetujui disahkan menjadi undang-undang saat Rapat Paripurna DPR, Selasa (17/9/2019), tak jelas menyebutkan, apakah berstatus sebagai penegak hukum atau bukan.
“Setelah kami teliti apakah dewan pengawas (Dewas) ini penegak hukum atau bukan, tidak jelas dikatakan (dalam RUU KPK). Jadi mungkin kendali penegakan hukum di dalam KPK akan berhenti di deputi penindakan, karena baik komisioner maupun Dewas itu bukan dianggap sebagai penegak hukum. Ini berbahaya,” ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, di Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Ini disampaikannya saat jumpa pers yang menghadirkan para jurnalis asing. Selain Laode, narasumber lain saat jumpa pers, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti; Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid; dan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko.
Hilangnya peran komisioner KPK sebagai penyidik dan penuntut umum setelah UU KPK yang baru menghilangkan Pasal 21 Ayat (4) UU 30/2002. Pasal itu menyebutkan, pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum.
Kemudian, sekalipun Pasal 37B Ayat (1b) UU KPK yang baru disebutkan, Dewas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan, tetapi statusnya tidak disebutkan. Padahal yang bisa melaksanakan tugas tersebut adalah aparat penegak hukum.
“Jadi kalau begini, bisa kalah terus kasus KPK yang akan diselidiki, disidik, dan dituntut karena otoritasnya diberikan oleh Dewas atau Komisioner (yang bukan aparat penegak hukum). Hal ini akan menjadi catatan awal dan kami telah mempersiapkan bagaimana cara-cara agar transisi dari UU lama ke UU baru ini bisa kita atasi,” kata Laode.
Isu SP3
Sementara Bivitri Susanti mempersoalkan kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh KPK. Padahal sejak awal, KPK memang tidak diberikan kewenangan itu untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Sebab, yang kerap terjadi SP3 diperjualbelikan.
Dengan adanya kewenangan SP3, dia juga khawatir intimidasi pada pegawai KPK akan meningkat. Ke depan, pegawai KPK bisa saja diintimidasi agar mengeluarkan SP3.
Sementara Dadang Trisasongko melihat, materi dalam UU KPK yang baru lahir karena anggota legislatif gerah dengan gerak-gerik KPK yang intens memberantas korupsi selama ini. Apalagi banyak yang dijerat oleh KPK adalah politisi, termasuk di dalamnya anggota legislatif di Pusat ataupun daerah.
Untuk diketahui, diantara koruptor yang banyak ditangkap KPK, mayoritas di antaranya anggota DPR dan DPRD. Data Anti-corruption Clearing House menunjukkan, dalam periode 2004-2018, ada 247 anggota DPR dan DPRD yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.
“UU KPK yang baru ini akan membuat penegakan hukum menjadi tumpul. Cita-cita Presiden untuk menarik investasi asing pun akan memberi ruang lebih besar bagi investor hitam untuk masuk, yang berbahaya bagi ekonomi Indonesia ke depan,” ujar Dadang.
Kuping bolong
Usman Hamid pun kecewa dengan sikap Presiden Joko Widodo terhadap revisi UU KPK. Dia lantas menyebut Presiden menjalankan praktik politik kuping bolong. Sebab, protes masyarakat dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa hingga dari internal KPK sendiri, diabaikan begitu saja.
“Alih-alih menepati janji untuk memperkuat KPK sepuluh kali lipat, apa yang dilakukan Presiden justru melemahkan KPK sepuluh kali lipat,” ujar Usman.
Bivitri menambahkan, Presiden sebenarnya memiliki peluang untuk menghentikan revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR. Namun bukannya menghentikan proses tersebut, dia justru menyetujui proses revisi dilanjutkan hingga akhirnya disahkan.
“Kami telah mengajukan berkas permohonan uji formil dan materiil UU KPK hasil revisi kepada Mahkamah Konstitusi. Namun, memang dalam pengadilan nanti kita tetap tidak bisa memastikan apakah akan menang atau kalah,” ujarnya.