Upaya Pemberantasan Korupsi Menjadi Mundur
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia dinilai mundur dalam upaya pemberantasan korupsi jika tetap memaksakan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berpotensi melucuti kewenangan KPK. Kondisi itu semakin diperparah dengan proses seleksi calon pimpinan KPK periode 2019-2023 di saat bersamaan yang dikontrol melalui kontrak politik dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan revisi UU KPK, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi dan Jakarta Principles rawan diingkari. Ini berpotensi merosotnya citra dan komitmen Indonesia terhadap perlawanan korupsi. Hal ini disampaikan Chair of Transparency International Delia Ferreira Rubio melalui pernyataan tertulis pada Rabu (11/9/2019).
“Upaya untuk melemahkan KPK dan mempengaruhi independensinya merupakan persoalan serius yang akan memberangus pemberantasan korupsi. KPK sendiri selama ini menjadi organisasi antikorupsi yang efektif dan menjadi contoh,” ujar Delia.
Upaya KPK ini perlu mendapat dukungan dan dijaga oleh pemerintah. Kepercayaan masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi selama ini terus ada karena independensi yang dimiliki KPK. Sehingga, semestinya hal itu tidak diusik melalui revisi UU KPK meskipun terbatas.
Sebagaimana diketahui, kemarin, Presiden Joko Widodo mengirimkan surat ke DPR yang isinya menyetujui revisi UU KPK secara terbatas. Surpres itu diterima DPR, kemarin malam, dan akan segera diproses.
Mengacu pada Pasal 6 dalam UNCAC, begitu pula di Jakarta Principles, disebutkan badan antikorupsi, termasuk sumber daya manusianya, perlu independen terutama mengacu pada sistem hukum yang dijalankan. Ini dimaksudkan agar badan antikorupsi efektif dalam menjalankan kinerjanya menangani perkara.
Secara terpisah, Penasehat antikorupsi dari UNODC Samuel De Jaegere menyampaikan, KPK saat ini dipandang sebagai salah satu lembaga antikorupsi di kancah internasional, bahkan menjadi inspirasi untuk upaya pemberantasan korupsi di negara lain. Akan tetapi, keberhasilan tersebut justru direspon berbeda oleh lembaga negara lain di negara asalnya dengan berupaya melucuti kewenangan melalui revisi UU KPK.
Seleksi politis
Di saat yang sama dengan diturunkannya Surat Presiden untuk membahas revisi Undang-Undang KPK, proses seleksi calon pimpinan KPK juga berlangsung di Komisi III DPR. Kesepuluh calon pimpinan KPK yang menjalani uji kelayakan dan kepatutan diwajibkan menandatangani kontrak politik dengan DPR yang wajib ditandatangani sesuai sesi wawancara.
Dalam uji kelayakan kepatutan hari pertama, kemarin, kelima capim yang diseleksi, yaitu Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, Sigit Danang Joyo, Nurul Ghufron, dan I Nyoman Wara, menyatakan setuju dengan revisi UU KPK. Pernyataan komitmen persetujuan mereka pun ikut dikunci melalui kontrak politik dengan DPR tersebut.
Kontrak politik itu disertai klausul sanksi. Jika para calon terpilih melanggar kontrak politik itu ketika sudah menjabat, yang bersangkutan harus bersedia mengundurkan diri dari jabatan dan bersedia dituntut secara hukum. Para capim diwajibkan mengikatkan diri untuk menepati janji dan melaksanakan semua hal, baik lisan dan tertulis, yang mereka sampaikan selama proses seleksi di Panitia Seleksi Capim KPK dan Komisi III DPR.
Surat pernyataan itu wajib ditandatangani di atas materai seharga Rp 6.000 setelah wawancara capim. “Kami mau evaluasi apakah para calon ini bisa dipegang atau tidak ucapannya. Ini alat untuk kontrol ucapan, bukan melemahkan. Siapapun nanti bisa menggugat karena jika (melanggar), sama saja membohongi publik,” kata Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa.
Adapun materi revisi UU KPK menjadi salah satu poin penilaian utama fraksi-fraksi dalam wawancara kemarin. Sepanjang sesi uji, anggota Komisi III memberondong capim dengan pertanyaan seputar revisi UU KPK. Beberapa pertanyaan bahkan cenderung mengarahkan dan menjebak untuk mengetahui posisi para capim terkait poin-poin substansi revisi UU KPK.
Nawawi Pomolango mengatakan, ia setuju UU KPK direvisi, khususnya terkait sejumlah poin seperti kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan suatu perkara (Sp3). Menurutnya, itu dibutuhkan untuk memberi kepastian hukum bagi para tersangka kasus korupsi. Nawawi juga menyoroti poin revisi terkait status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara. Menurutnya, kedudukan pegawai KPK perlu diperjelas lewat revisi.
“Saya setuju karena kita tidak punya konsep birokrasi kepegawaian seperti Wadah Pegawai KPK itu,” kata Nawawi.
Nawawi juga setuju penyelidik dan penyidik KPK ke depan hanya berasal dari Polri dan PPNS, tidak direkrut secara independen. Dalam kesempatan itu, Nawawi juga banyak mengkritik kinerja KPK saat ini, yang ia sebut terlihat seperti orang mabuk yang berjalan sempoyongan dan tidak sampai ke tujuan. Ia mengacu pada skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang cenderung stagnan dari tahun ke tahun.
Lili Pintauli Siregar juga menyatakan setuju dengan revisi UU KPK, asal untuk menguatkan KPK. Beberapa poin, seperti pembentukan Dewan Pengawas, tidak disetujui karena terlalu teknis berkenaan dengan kewenangan KPK, seperti izin penyadapan. “Karena KPK ini kan memang lembaga luar biasa,” ujarnya.
Menurut dia, revisi cukup terkait pada kewenangan SP3 untuk memenuhi kepastian hukum, sehingga diperlukan batas waktu penetapan status tersangka terhadap seseorang. Hal itu juga sejalan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa setiap lembaga penegak hukum memiliki kewenangan SP3. Poin revisi lain, ujarnya, adalah pelibatan lembaga lain dalam perlindungan saksi di kasus korupsi.
Senada, capim KPK Sigit Danang Joyo setuju terhadap revisi UU KPK, asal arahnya untuk penguatan pencegahan dan pemberantasan korupsi, seperti ihwal kewenangan SP3 dan keberadaan Dewan Pengawas. Namun, persetujuannya bersyarat. Menurutnya, kewenangan SP3 jangan menjadi diskresi dari penyidik yang menangani perkara karena rentan penyalahgunaan wewenang.
Ketiadaan aturan SP3 yang dimiliki KPK saat ini sebenarnya memiliki poin positif untuk menjaga agar penyidik hati-hati dalam menetapkan tersangka. “Tapi, SP3 itu bisa dilakukan sepanjang saat tersangka meninggal atau putusan pengadilan,” ujar Sigit.
Untuk Dewan Pengawas, keberadaannya tak boleh masuk terlalu teknis dan tidak bisa masuk dalam penegakan hukum yang dilakukan karena rawan konflik kepentingan.
Sejumlah capim seperti Sigit dan Nawawi tidak mempersoalkan kewajiban kontrak politik dengan DPR dan tidak merasa dikunci oleh DPR. “Saya kira tidak ada masalah, yang saya sampaikan itu akan jadi konsistensi, tidak menyandera sama sekali. Ada yang saya setuju, ada juga yang dengan catatan, karena logika hukum saya mengatakan, ada beberapa wilayah yang memang tidak mungkin (direvisi),” ujar Sigit.
Dugaan pelanggaran berat
Sementara itu, pada saat yang sama saat sesi uji kelayakan kepatutan berlangsung di DPR, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan anggota Dewan Pertimbangan Pegawai Tsani Annafari mengumumkan di gedung KPK, bahwa salah satu capim KPK yang pernah menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK Firli Bahuri terdapat dugaan pelanggaran berat sesuai hasil pemeriksaan Direktorat Pengawasan KPK.
“Ahli hukum dan etik pun menyatakan pertemuan itu termasuk pertemuan yang dilarang bagi pegawai KPK,” kata Saut.
Saut mengingatkan, kondisi ini dapat berdampak apabila capim ini tetap melaju dan memimpin. “Jika pimpinan KPK yang terpilih tidak berintegritas atau memiliki afiliasi partai politik maka hal itu membuat KPK berisiko ditarik pada pusaran politik dan risiko konflik kepentingan saat menangani perkara terkait aktor politik,” ujar Saut.
Peretasan aktivis
Di tengah dukungan menolak revisi UU KPK yang digalang akademisi, pemuka agama, dan masyarakat sipil, diduga diteror melalui peretasan aplikasi pesan singkat seperti whatsapp dan telegram. Beberapa nama yang diretas adalah Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis UGM Rimawan Pradiptyo, Direktur PUKAT Zainul Arifin Mochtar, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti, hingga grup untuk menggalang dukungan.
Wijayanto selaku Koordinator Aliansi Akademi Nasional Anti Korupsi Universitas Diponegoro mengatakan, para akademisi yang tergabung dalam Whatssap Group Aliansi Akademi Nasional Anti Korupsi Undip mencurigai adanya serangan balik dari kekuatan yang ingin melemahkan KPK.
Wijayanto menjelaskan, grup Aliansi Akademisi Nasional berisi para akademisi dari sekitar 33 universitas. Para akademisi ini merupakan perwakilan atau koordinator dari universitas masing-masing yang mengorganisasi aksi dan penggalangan petisi di kampus masing-masing. Ia mencontohkan, di Universitas Diponegoro berhasil dibuat petisi yang pada 9 September lalu ditandatangi 50 dosen.
“Senin kemarin di FISIP Undip, kami deklarasi hadir wakil rektor, dekan dan ratusan mahasiswa,” katanya.
Namun, sehari terakhir, terjadi kejanggalan di WAG dimulai dari akun seorang akademisi yang diretas. Para anggota grup yang lain juga mulai diretas serta mendapat telepon dari nomor asing di luar negeri yang tidak dikenal. Wija yang mendapat telepon dari nomor ini tidak mendengar suara apa-apa. Airlangga Pribadi, dosen Universitas Airlangga yang tergabung dalam WAG yang sama juga mendapati dirinya ditelepon dengan nomor asing berkali-kali.
“Saya cek ke anggota-anggota WAG, memang banyak yang mengalami. Kami jadi takut diretas,” kata Wija.
Hal ini diantaranya berakibat pada banyak akademisi yang mengundurkan diri dari grup. “Melihat situasi ini, saya berpendapat ini adalah serangan balik dari kekuatan yang ingin melemahkan KPK,” kata Wija.