Perubahan demografi melahirkan kelompok intelektual muda yang berperan signifikan dalam membangun narasi kebangsaan di kalangan masyarakat Papua. Mereka perlu dilibatkan dalam perumusan masa depan daerah tersebut
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perubahan demografi melahirkan kelompok intelektual muda yang berperan signifikan dalam membangun narasi kebangsaan di kalangan masyarakat Papua. Mereka perlu dilibatkan dalam perumusan masa depan daerah tersebut karena saat ini kelompok muda merupakan salah satu faksi paling berpengaruh di tengah warga.
Hal itu mengemuka dalam diskusi “Mengurai Akar Masalah dan Kondisi Terkini Papua” di kantor redaksi harian Kompas, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Dalam diskusi, hadir Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia 2001—2004 Manuel Kaisiepo, Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, Anggota Desk Papua Bappenas Moksen Idris Serfifa, dan mantan Anggota DPR dari Papua Simon Patrick Morin.
Selain itu, hadir pula Wakil Pemimpin Umum harian Kompas Rikard Bagun dan Budiman Tanuredjo, serta Pemimpin Redaksi harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy. Diskusi dimoderatori Wakil Redaktur Pelaksana harian Kompas Marcellus Hernowo.
Adriana Elisabeth menjelaskan, dinamika politik di Papua dan Papua Barat dipengaruhi kuat oleh perubahan demografi. Dalam beberapa tahun ke belakang, jumlah pendatang semakin banyak. Begitu pula jumlah penduduk berusia produktif.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2017 jumlah penduduk provinsi Papua adalah 3,26 juta jiwa. Mayoritas berusia produktif (15—64 tahun), yaitu 2,24 juta jiwa. Sementara itu, di provinsi Papua Barat, dari total penduduk sebanyak 915.361 jiwa ada 430.478 jiwa yang masuk kelompok usia produktif.
Adriana menambahkan, sebagian dari mereka memberikan harapan besar bagi kemajuan Papua karena menjelma sebagai kelompok strategis baru. Akan tetapi, sebagian lainnya justru bermasalah karena menjadi pecandu narkotika. “Anak muda harus lebih dirangkul karena mereka yang akan menentukan nasib Papua ke depan,” ujarnya.
Senada, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia 2001—2004 Manuel Kaisiepo mengatakan, kelompok strategis baru itu mulai menggantikan posisi tokoh adat dan tokoh agama di tengah masyarakat. Kini, suara mereka lebih didengar dan menentukan.
Perlu ada evaluasi mengenai otonomi khusus. Sebab, ia tak melahirkan generasi yang mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia, justru sebaliknya
Adapun yang dimaksud dengan kelompok strategis baru adalah para intelektual yang tengah menempuh studi baik di berbagai kota di Indonesia maupun di luar negeri. Mereka rata-rata berusia 25 tahun.
Meski tersebar di berbagai tempat, jejaring mereka kuat. Aliran informasi tak terhambat karena mereka saling terhubung melalui gawai dan hidup dalam kultur digital.
Menurut Manuel, selama ini kajian mengenai Papua luput dari kemunculan generasi baru tersebut. Ide-ide mengenai dialog untuk menentukan masa depan Bumi Cendrawasih masih mengandaikan pelibatan tokoh agama dan tokoh adat. Padahal, posisi dan peran mereka lebih signifikan.
Anomali
Salah satunya dalam hal distribusi narasi kebangsaan. Dalam sejumlah aksi unjuk rasa yang digelar di berbagai kota salah satunya pada Desember 2018, mahasiswa Papua mengemukakan ide kemerdekaan dan mempertanyakan keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Menurut Manuel, gagasan kemerdekaan itu berasal dari pengalaman traumatis. Mereka menyaksikan perlakuan semena-mena terhadap orangtuanya. Sehingga, muncul keyakinan politik yang khas di dalam diri mereka. Keyakinan tersebut juga semakin kuat dengan luasnya akses mereka terhadap referensi akademis mengenai ide-ide kemerdekaan.
Bagi dia, kemunculan kelompok muda tersebut merupakan anomali. “Mereka lahir dan besar dalam kerangka otonomi khusus, tetapi cara pikirnya berada di luar spirit otonomi khusus. Mereka ini semestinya menjadi kelompok strategis yang lebih diperhatikan,” ujar Manuel.
Gagasan kemerdekaan itu berasal dari pengalaman traumatis. Mereka menyaksikan perlakuan semena-mena terhadap orangtuanya. Sehingga, muncul keyakinan politik yang khas di dalam diri mereka
Oleh karena itu, perlu ada evaluasi mengenai otonomi khusus. Sebab, ia tak melahirkan generasi yang mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia, justru sebaliknya.
Simon Patrick Morin mengatakan, otonomi khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Sejak awal, regulasi itu memang dimaksudkan sebagai langkah politik untuk menyelesaikan masalah Papua.
Akan tetapi, hal itu tak bisa dibiarkan begitu saja tanpa dinamika. UU Otsus semestinya terus didialogkan dan diperbaiki sesuai dengan aspirasi masyarakat sampai semua masalah teratasi, termasuk dengan generasi muda.