Perempuan Lebih Rentan Alami Kekerasan Seksual di Kawasan Pengungsian
Kasus kekerasan berbasis gender yang ditemukan UNFPA adalah pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, perkawinan anak, dan paksa pemotongan genital perempuan. Selain itu, para perempuan juga mengalami eksploitasi seksual yang mengarah pada penjualan manusia.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kerentanan perempuan dan anak terhadap tindak kekerasan seksual semakin berlipat dalam situasi darurat terutama pascabencana. Bahkan, di Sulawesi Tengah, kekerasan seksual di tempat pengungsian belum banyak tercatat lantaran banyak korban yang takut dan malu melaporkan.
The United Nation Population Fund (UNFPA) melakukan penilaian cepat kekerasan berbasis gender (KBG) pada masa tanggap darurat di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng). Penelitian dilakukan pada November 2018 hingga Januari 2019 dengan melibatkan 308 responden dari 10 tempat pengungsian.
Koordinator Nasional Kekerasan Berbasis Gender dalam Situasi Darurat UNFPA Ita Fatia Nadia, di Jakarta, Senin (2/9/2019), mengatakan, dari 400 tenda pengungsian di Sulteng, UNFPA membangun 12 tenda ramah perempuan dan anak sebagai tempat pelaporan selama periode penelitian. Hasilnya, sebanyak 57 kasus kekerasan seksual dilaporkan oleh perempuan dan anak penghuni tenda pengungsian tersebut.
”Selama masa penilaian, setidaknya ada 57 kasus yang sudah dilaporkan dari ratusan tenda. Itu masih permukaan saja,” katanya dalam konferensi pers Peringatan Hari Kemanusiaan Internasional di Jakarta, Senin.
Kasus KBG yang ditemukan adalah pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, perkawinan anak, dan paksa pemotongan genital perempuan. Selain itu, para perempuan juga mengalami eksploitasi seksual yang mengarah pada penjualan manusia.
”Beberapa kasus penjualan manusia terjadi dari Sulteng ke Gorontalo dan Sulawesi Utara,” tambah Ita.
Dalam hasil penelitian dijelaskan, kekerasan seksual seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual marak terjadi di fasilitas mandi, cuci, dan kakus, serta jalan dan tempat pengungsian. Usia penyintas beragam, mulai remaja hingga dewasa. Adapun bentuk KBG terbanyak adalah kekerasan dalam rumah tangga.
Kamar mandi berdekatan
Kepala Dinas Perlindungan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulawesi Tengah Ihsan Basir mengatakan, infrastruktur hunian sementara dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Kamar mandi perempuan dan laki-laki memang tidak terpisah saat pertama kali dibangun.
”Waktu kami lihat memang kamar mandi menjadi satu, tetapi sekarang sudah dipisahkan walaupun tempatnya masih berdekatan,” katanya.
Para pengungsi akibat gempa bumi tersebut berjumlah 172.999 jiwa dari 53.172 kepala keluarga. Dalam satu hingga dua minggu ke depan, para pengungsi berencana menempati hunian tetap.
Menurut Ihsan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah sejauh ini telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan sebagai langkah preventif dan promotif kasus-kasus serupa. Selain itu, kerja sama dengan organisasi sosial juga terus diintensifkan, termasuk dengan UNFPA.
”Sejauh ini, penyelesaian kasus memang baru 81 persen. Ini yang terus kami kejar hingga terselesaikan semua,” katanya.
Fenomena gunung es
Dalam kesempatan yang sama, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nyimas Aliah mengatakan, kasus kekerasan terhadap perempuan dalam situasi bencana selama ini menjadi fenomena gunung es. Para korban yang melapor masih sedikit dibandingkan dengan kasus-kasus yang terjadi sesungguhnya.
”Fenomena ini menjadi bencana kedua yang disebabkan manusia setelah bencana alam itu sendiri,” katanya.
Menanggapi kasus tersebut, saat itu pemerintah langsung melakukan rapat koordinasi terpadu di Sulteng. Kemudian disepakati perlunya rencana aksi daerah yang dikoordinasikan DP3A Provinsi Sulteng. Langkah tersebut dilakukan melalui pencegahan, penanganan, serta pemberdayaan perempuan dan anak.
”Kami juga berharap agar kementerian atau lembaga terkait mengakomodasi kebutuhan berbasis gender, termasuk dalam pemulihan bencana,” katanya.
Kerentanan perempuan dan anak terhadap kasus kekerasan memang berlipat pada situasi darurat. Hal ini amat dipengaruhi oleh sarana dan prasarana yang tersedia. Dalam kondisi normal saja, satu dari enam perempuan mengalami kekerasan selama setahun, dan satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan seumur hidup.
Perkuat institusi lokal
UNFPA merumuskan sejumlah rekomendasi untuk penanganan KBG pada lokasi pascabencana. Rekomendasi pertama berkaitan dengan pencegahan dan penanganan KBF pascabencana. Hal itu bisa dilakukan melalui integrasi KBG dengan penanggulangan bencana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa.
Rekomendasi selanjutnya adalah dengan memperkuat peran institusi lokal dalam memberikan layanan perlindungan bagi perempuan. ”Saat ini, kita sudah berupaya lewat pelatihan pendampingan kepada para korban KBG pada 12 tenda ramah perempuan atau organisasi kemasyarakatan,” kata Ita.