Pembiayaan Swasta Terlalu Besar, Persoalan Jakarta Pindah ke Ibu Kota Baru
Dalam kajian pemindahan ibu kota yang dikirim Presiden Joko Widodo ke DPR, dari total Rp 466,9 triliun kebutuhan biaya, sebanyak Rp 127,3 triliun menurut rencana dibiayai swasta dan Rp 265,2 triliun dibiayai dari kerja sama pemerintah dan badan usaha. APBN hanya membiayai sisanya, sekitar Rp 74,4 triliun, atau 19 persen dari total biaya.
Oleh
Agnes Theodora Wolkh Wagunu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Besarnya pembiayaan dari pihak swasta untuk pemindahan ibu kota dikhawatirkan membuat konsep pembangunan ibu kota negara baru ke depan menjadi kota bisnis dan perdagangan. Ini berpotensi memunculkan persoalan klasik ibu kota seperti yang saat ini ada di Jakarta.
Hal itu menjadi salah satu perhatian Tim Kajian Pemindahan Ibu Kota yang dibentuk DPR di bawah Badan Keahlian Dewan (BKD). Tim berjumlah 15 orang tersebut dibentuk, Rabu (28/9/2019), setelah surat permohonan dukungan pemindahan ibu kota dari Presiden Joko Widodo dibacakan di Rapat Paripurna DPR.
Ketua Tim Kajian Pemindahan Ibu Kota Inosentius Samsul menilai, kajian teknis pemindahan ibu kota yang dikirim Presiden Joko Widodo ke DPR tidak terlalu jelas dalam memaparkan konsep pemindahan ibu kota negara baru.
Ia misalnya menyoroti sumber pembiayaan utama untuk proyek pemindahan ibu kota. Dalam kajian yang dikirim Presiden ke DPR, dari total Rp 466,9 triliun kebutuhan biaya untuk pemindahan ibu kota, sebanyak Rp 127,3 triliun menurut rencana dibiayai oleh swasta dan Rp 265,2 triliun dibiayai dari kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). APBN hanya membiayai sisanya, sekitar Rp 74,4 triliun, atau 19 persen dari total biaya.
Menurut Inosentius, keterlibatan swasta yang terlalu besar dalam proyek ibu kota negara baru itu menunjukkan, konsep pembangunan ibu kota negara baru ke depan bakal menjadi kota bisnis dan perdagangan, tidak hanya pusat pemerintahan, sebagaimana disebutkan oleh Presiden.
”Kalau melihat dari konsep kerangka kajian yang dikirimkan pemerintah, secara jangka panjang ini bisa padat dan menjadi beban. Sebab, pengembang swasta pasti akan mau mengembangkan ibu kota baru menjadi kota bisnis juga, tidak hanya pusat pemerintahan,” tutur Inosentius.
Konsep pembangunan seperti itu dikhawatirkan akan memunculkan persoalan klasik ibu kota seperti yang saat ini ada di Jakarta, yakni menggabungkan pusat pemerintahan, pusat bisnis, dan perdagangan menjadi satu, sehingga beban ibu kota terlalu berat.
Oleh karena itu, DPR akan mengusulkan kepada pemerintah agar pemindahan tersebut cukup parsial dan terbatas untuk pusat pemerintahan saja. Dengan demikian, DPR akan menyoroti sumber pembiayaan proyek pemindahan ibu kota yang dinilai problematik.
”Sebab, kalau tidak, ini sama saja seperti memindahkan persoalan di Jakarta ke ibu kota baru dalam jangka panjang,” katanya.
Lebih sederhana
Pemindahan yang terbatas pada pusat pemerintahan juga dinilai lebih mudah karena bisa menghemat anggaran. Selain itu, regulasi yang harus disiapkan sebagai landasan hukum ibu kota baru lebih sederhana.
”Materi undang-undang yang harus disiapkan DPR bersama pemerintah kalau hanya memindahkan kawasan pusat pemerintahan otomatis tidak sebanyak dan serumit jika mau memindahkan seluruh ibu kota negara,” ujar Inosentius.
Tim kajian teknis dari DPR ini juga menyiapkan naskah akademik alternatif yang isinya akan mengkaji pemindahan ibu kota dari lima aspek, yaitu aspek politik, pemerintahan dalam negeri, ekonomi, sosial, serta tim khusus perancangan undang-undang. Tim kini sudah mulai bekerja dengan jangka waktu lima tahun, sesuai target pemindahan ibu kota dari pemerintah.
Naskah akademik alternatif disusun sembari menunggu pemerintah menyusun naskah akademik dan draf rancangan undang-undang pemindahan ibu kota negara. Dengan demikian, kelak, naskah akademik alternatif dari DPR bisa dijadikan pembanding atas naskah dari pemerintah.
Seperti diberitakan sebelumnya, sebelum proses pemindahan ibu kota dilakukan, DPR dan pemerintah harus terlebih dahulu merampungkan RUU tentang Ibu Kota Negara. Selain undang-undang induk itu, perlu ada juga revisi Undang-Undang tentang DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, serta sejumlah kebutuhan undang-undang lain yang perlu ikut diubah.
Mengacu pada kajian Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, setidaknya ada lima undang-undang yang perlu direvisi, dua UU yang bisa direvisi atau dibuat baru, serta dua UU yang harus dibuat baru.
”Kami mulai mengkaji dari sekarang, kami tidak mengikuti arah kerangka berpikir dari pemerintah, tetapi kami mencoba mendesain kerangka yang berbeda. Naskah akademik dan kajian pemerintah jadi salah satu referensi, tetapi kami mencari pendekatan alternatif,” kata Inosentius.
Ia menegaskan, DPR tidak dalam posisi untuk menolak atau menyetujui wacana pemindahan ibu kota. Namun, DPR akan memberi masukan alternatif agar pemindahan ibu kota tidak berdampak negatif secara jangka panjang.
”Pimpinan DPR berpesan, kajian DPR sifatnya bukan menolak atau menerima. Namun, karena itu sudah keputusan pemerintah, kami melihat apa implikasinya, kami beri pemikiran alternatif,” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menargetkan naskah akademik yang menjadi dasar rancangan undang-undang untuk ibu kota baru akan tuntas pada 2020. Landasan hukum yang dibutuhkan ditargetkan tuntas sebelum akhir 2020. Dengan demikian, akhir 2020, pemerintah menargetkan pembangunan fisik ibu kota sudah dimulai.