OTT Dianggap Tak Efektif, Capim KPK Tawarkan Berbagai Strategi
Salah satu kebijakan mengenai perampasan aset yang juga diatur dalam UNCAC harus terus didorong.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menilai, Operasi Tangkap Tangan yang selama ini dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak efektif dalam mengembalikan kerugian keuangan negara hasil korupsi. Minimnya penetapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang dalam kasus korupsi menjadi salah satu akibat kurang optimalnya pengembalian uang negara.
“Saya akan evaluasi penindakan di KPK, bahwa OTT tidak menghasilkan apa-apa. Buktinya apa? Indeks Persepsi Korupsi kita 2016-2017 stagnan hanya 37, jadi kurang ada dampak,” ujar kandidat Capim KPK Roby Arya Brata di Jakarta, Kamis (29/8/2019). Roby saat ini menjabat sebagai Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Penanaman Modal dan Badan Usaha Sekretariat Kabinet.
Roby menyampaikan paparan ini untuk menjawab pertanyaan Panitia Seleksi Capim KPK dalam tahap akhir seleksi, yaitu uji publik dan wawancara. Selain Roby, ada lima kandidat lain yang diuji hari ini.
Kelima kandidat lain, yaitu Kepala Subdirektorat Bantuan Hukum Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Sigit Danang Joyo, Brigadir Jenderal (Pol) Sri Handayani, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Sugeng Purnomo, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK Sujanarko, dan koordinator pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Supardi.
Roby mengatakan, seharusnya dalam setiap kasus yang disidik oleh KPK dilekatkan juga dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Khususnya dalam Pasal 1 yang menyatakan Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
“Memang tidak mudah, saya takut karena mereka (KPK) malas kemudian tidak mencantumkan pasal itu. Padahal pemulihan aset itu penting, kalau perlu tidak hanya ambil asetnya tetapi pada ganti rugi juga agar mereka (koruptor) betul-betul kapok,” ujarnya.
Data Indonesia Corruption Watch, jumlah kerugian negara atas 454 kasus korupsi pada 2018 mencapai Rp 5,6 triliun. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 6,5 triliun untuk 576 kasus.
Berdasarkan Laporan Capaian dan Kinerja KPK Tahun 2018, lebih dari Rp 500 miliar rupiah telah dimasukkan ke kas negara dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari penanganan perkara. Termasuk di dalamnya dari pendapatan hasil lelang barang sitaan dan rampasan dari perkara tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang sebesar Rp 44,6 miliar.
Pengembalian keuangan negara berasal dari berbagai jenis perkara. Tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi adalah penyuapan dengan 152 perkara, diikuti pengadaan barang/jasa sebanyak 17 perkara, serta TPPU sebanyak 6 perkara.
Perampasan aset
Pendapat senada disampaikan Capim KPK, Sigit Danang Joyo. Menurutnya, meski Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Antikorupsi PBB, namun kebijakan hanya bersifat rekomendasi, sehingga tidak ada keharusan menjalankannya.
Dengan begitu, salah satu kebijakan mengenai perampasan aset yang juga diatur dalam UNCAC harus terus didorong. Sigit pun akan mengupayakan dibentuknya Undang-Undang Perampasan Aset.
“UU Perampasan Aset itu positif untuk pengembalian uang negara, kenapa tidak untuk kita dorong. Kemarin, kami di Ditjen Pajak menemukan ada faktur pajak fiktif, bahwa ada identitasnya (KTP) tapi orangnya tidak ada. Hartanya mau diapakan?” kata Sigit.
Dalam kasus seperti itu, maka alangkah lebih baik kalau negara dapat “merampas” aset tersebut untuk kepentingan bangsa. Bahwa ketika ada kepemilikan aset yang tidak dapat dibuktikan dengan pidana, dapat dilakukan perampasan aset.
Capim KPK lainnya, Sujanarko, yang juga pegawai KPK, menyampaikan selama ini memang pengembalian aset hasil korupsi masih belum optimal. Sebab, selama ini yang dipakai baru Pasal 12B mengenai Gratifikasi dalam Undang-Undnag Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Permasalahannya karena kurang pemahaman dari penyidik KPK bahwa pasal TPPU dapat dilekatkan dalam penetapan kasus korupsi. Sebab, pidana tidak hanya dua pihak terkait tapi ada pihak lain juga, yang sampai hari ini tidak dikerjakan oleh KPK,” ujarnya.
Kurang optimalnya pengembalian kerugian keuangan negara juga disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia. Setiap tahun, KPK menangani hingga 200 kasus sementara dengan sumber daya yang ada hanya mampu 60-70 kasus per tahun.
Konsep amnesti
Menurut Sujanarko, keadaan ini membuat penanganan kasus korupsi semakin kompleks, apalagi terkait dengan kasus-kasus lama. Dia pun mengusulkan adanya konsep amnesti dengan penundaan penuntutan dan berfokus pada perampasan aset.
“Ini baru konsep awal. Jadi untuk kasus-kasus korupsi lama, saya usulkan KPK berfokus pada pengembalian aset dengan menunda sidang penuntutan. Lebih baik lagi kalau pengembalian aset tersebut besarnya dua kali lipat dari yang dituntut,” tuturnya.
Melalui cara ini, Sujanarko mengatakan, KPK dapat lebih maju dalam menangani kasus korupsi baru tanpa harus “berjalan di tempat” untuk menyelesaikan perkara korupsi yang sudah berusia belasan tahun. Salah satunya dengan membangun forensic accounting untuk lebih mendalami investigasi atas pemulihan aset.