Dengan karakteristik wilayah pegunungan di sisi utara dan pesisir di selatan, Kutai Kartanegara memiliki nilai strategis. Peningkatan aktivitas Kutai Kartanegara sebagai ibu kota baru akan meramaikan dan mendukung perkembangan seluruh kawasan, termasuk Alur Laut Kepulauan di timur Indonesia.
Oleh
Yoesep Budianto
·5 menit baca
Dengan karakteristik wilayah pegunungan di sisi utara dan pesisir di selatan, Kutai Kartanegara memiliki nilai strategis. Peningkatan aktivitas Kutai Kartanegara sebagai ibu kota baru akan meramaikan dan mendukung perkembangan seluruh kawasan, termasuk Alur Laut Kepulauan di timur Indonesia.
Persiapan pemindahan ibu kota negara Indonesia dimulai sejak Tim Nawaciita Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) membuat analisis kebijakan terkait pemindahan ibu kota pada Maret 2017. Analisis itu kemudian disempurnakan pada Januari 2018. Hasil analisis merekomendasikan sejumlah kabupaten/kota yang layak menyandang status ibu kota, antara lain Kutai Kartanegara.
Pada 7 Mei 2019, Presiden Joko Widodo mengunjungi Kalimantan Timur, tepatnya Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto yang secara administratif menjadi bagian dari Kabupaten Kutai Kartanegara. Adapun luas keseluruhan daratan 27,26 juta hektar di Kaltim menjadi faktor yang menguntungkan jika ke depan dibutuhkan banyak lahan untuk menunjang aktivitas pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun badan usaha milik negara.
Wilayah yang dilalui Sungai Mahakam sepanjang 920 kilometer dan memiliki 16 danau ini juga terhubung dengan salah satu Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Adapun ALKI merupakan alur laut yang dilalui kapal atau pesawat asing untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan dengan cara normal (Pasal 1 Ayat 8 UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia).
Kutai Kartanegara terhubung pula dengan akses pelayaran dari Laut Sulawesi, melintasi Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok, kemudian ke Samudra Hindia.
Jalur laut-udara
Sudah sejak lama sektor pertambangan sangat kuat mewarnai perekonomian Kabupaten Kutai Kartanegara. Mayoritas hasilnya diekspor ke luar negeri. Tahun 2017, tercatat produksi batubara Kutai Kartanegara mencapai 63,98 juta ton atau lebih dari seperempat total produksi batubara Kaltim 249,47 juta ton.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, Kaltim menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar ke-7 di Indonesia pada 2017. Kutai Kartanegara pada tahun yang sama menjadi penyumbang terbesar bagi produk domestik regional bruto (PDRB) Kaltim, yakni 26,20 persen dari total PDRB Kutai Kartanegara 2017.
Pendukung terbesar perolehan PDRB tersebut adalah sektor pertambangan, khususnya batubara, lebih kurang 65,43 persen. Selanjutnya, kontribusi diberikan oleh sektor pertanian, konstruksi, industri pengolahan, dan perdagangan.
Dapat dikatakan, maraknya kegiatan ekonomi batubara turut membangun kekuatan infrastruktur transportasi di Kutai Kartanegara. Akses jalur darat yang sudah ada terbilang cukup memadai.
Jalan di Kutai Kartanegara, lebih kurang 64 persen, berada dalam kondisi sedang hingga baik. Setidaknya 54,65 persen atau 1.198,38 kilometer jalan di kabupaten ini sudah dilapisi aspal dan beton.
Selain didukung Bandara Sepinggan di Kota Balikpapan dan Bandara Aji Pangeran Tumenggung Pranoto di Kota Samarinda, Kutai Kartanegara juga didukung jalur transportasi laut dengan lebih kurang 18 pelabuhan di kabupaten itu.
Lokasi Kutai Kartanegara yang terbilang dekat dengan Balikpapan dan Selat Malaka idealnya mampu mendukung keterhubungan perekonomiannya dengan pasar global. Hal ini sekaligus membuka akses ke wilayah timur Indonesia.
Meski demikian, keterbukaan jalur laut dan udara juga berpeluang membawa konsekuensi yang selayaknya diwaspadai. Letak Kutai Kartanegara yang terhubung dengan jalur ALKI II rentan terdampak dinamika sosial-ekonomi ataupun politik dari luar negeri.
Analisis yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang diakses Agustus ini memetakan pentingnya mewaspadai ancaman imbas konflik Blok Ambalat di jalur ALKI II. Sebagai imbas konflik Ambalat, jalur ini, misalnya, rentan digunakan untuk manuver angkatan perang. Adapun dari sisi sosial ekonomi, ALKI II terpetakan sebagai jalur rentan terhadap penyelundupan barang secara ilegal dan perdagangan manusia, khususnya dari luar negeri menuju Pulau Bali.
Sosial-lingkungan
Dari sisi cuaca dan iklim, Kutai Kartanegara termasuk wilayah beriklim tropis dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau, dengan suhu serta kelembaban cukup tinggi.
Pada saat kemarau, warga Kutai Kartanegara mengalami kesulitan air bersih. Produksi air bersih di Kutai Kartanegara pada 2017 sebanyak 32,26 juta meter kubik, terjual 23,11 juta meter kubik. Kapasitas produksi dan terjual air bersih itu baru 5-6 persen dari produksi air bersih DKI Jakarta yang mencapai 594,18 juta meter kubik.
Sebagian penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara masih mengandalkan air hujan untuk keperluan air minum. Contoh kondisi ini terjadi di Desa Perian, Kecamatan Muara Muntai, tahun 2017. Warga desa itu masih merasakan ketiadaan air minum dan terpaksa bergantung pada air hujan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih.
Hasil estimasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun 2018 menunjukkan, wilayah Kutai Kartanegara baru bisa mengatasi persoalan kebutuhan air bersih lima tahun ke depan.
Kutai Kartanegara juga termasuk rawan bencana banjir dan tanah longsor serta mengalami kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang yang berlebihan. Beberapa contoh kasus bencana alam di Kutai Kartanegara menggambarkan keterkaitan peristiwa tersebut dengan aktivitas penambangan batubara.
Pada 2 Desember 2018, misalnya, tanah longsor terjadi di Kecamatan Sanga-sanga. Sedikitnya lima rumah ambruk dan jalan provinsi rusak akibat bencana itu. Lokasi longsor terjadi sekitar 100 meter dari tempat penambangan batubara.
Seiring anjloknya harga komoditas batubara, hingga pertengahan 2015, setidaknya ada 125 perusahaan batubara di Kalimantan Timur menutup usaha (Kompas, 12/8/2015). Anjloknya perekonomian batubara tecermin pula dari tren pertumbuhan PDRB Kutai Kartanegara yang terus turun sejak 2011 hingga 2017.
Dampak dari anjloknya ekonomi batubara dinilai ikut menyebabkan jumlah penduduk miskin Kutai Kartanegara mencapai 56.600 jiwa. Jumlah ini lebih dari seperempat 219.000 penduduk miskin di Kaltim pada September 2018.
Pemindahan ibu kota Indonesia tentu akan membawa dampak besar bagi lokasi terpilih ataupun kawasan yang lebih luas. Melihat gambaran kondisinya sejauh ini, mampukah Kabupaten Kutai Kartanegara menjawab tantangan problem menjadi ibu kota? (AGUSTINA PURWANTI/LITBANG KOMPAS)