Walhi Soroti Lemahnya Monitoring terhadap Korporasi
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun dinilai karena lemahnya monitoring dan evaluasi pemerintah terhadap pengelolaan lahan konsesi korporasi.
Oleh
fajar ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun dinilai karena lemahnya monitoring dan evaluasi pemerintah terhadap pengelolaan lahan konsesi korporasi. Padahal, pencegahan kebakaran salah satunya bisa dilakukan dengan merestorasi lahan gambut secara menyeluruh, termasuk di lahan konsesi tersebut.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel) Muhammad Hairul Sobri mengatakan, pencegahan kebakaran lahan gambut tidak bisa dilakukan dengan merestorasi lahan gambut secara parsial. Di Sumsel sebagian besar lahan gambut berada di lahan konsesi perusahaan.
Oleh sebab itu, monitoring diperlukan. Dengan demikian, evaluasi atau peninjauan perizinan dari pemerintah kepada korporasi agar restorasi gambut bisa dilakukan secara menyeluruh.
”Keterbukaan dokumen pemulihan lahan gambut oleh perusahaan tidak dilakukan sampai sekarang,” kata Sobri dalam konferensi pers bertema ”Deforestasi, Iklim dan Penegakan Hukum” yang digelar Walhi di Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Menurut Sobri, dalam satu tahun terakhir, sejumlah izin justru masih diberikan kepada korporasi untuk mengelola lahan gambut. Selain itu, perluasan wilayah perkebunan kelapa sawit juga masih terjadi.
Hal itu menyebabkan lahan gambut mengering dan mudah terbakar. Kemampuan gambut sebagai lahan penyerap dan penyimpan air pun berkurang sehingga berdampak pada lahan pangan yang dikelola masyarakat.
”Masyarakat tidak dapat menanam padi karena sumber air mengering. Di musim hujan, lahan masyarakat kerap kebanjiran. Ini menunjukkan sumber-sumber penghasilan masyarakat juga menjadi korban,” kata Sobri.
Sobri mencontohkan, sekitar 10.000 hektar lahan pangan di Desa Belanti, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir kerap kebanjiran. Hal itu terjadi karena lahan-lahan gambut dalam yang dulunya merupakan wilayah tampungan air beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Air tersebut kini mengalir ke lahan pangan masyarakat yang dikepung oleh tiga perusahaan.
Masyarakat Desa Belanti juga tidak bisa lagi menanam padi, bahkan ada yang eksodus ke desa lain. Padahal, wilayah tersebut menjadi lumbung pangan Kabupaten Ogan Komering Ilir.
”Hal ini menunjukkan pemerintah belum optimal melindungi wilayah kelola rakyat. Di satu sisi pemerintah ingin melindungi wilayah-wilayah pangan, di sisi lain kebijakan pemerintah berdampak pada rusaknya wilayah pangan,” kata Sobri.
Di satu sisi pemerintah ingin melindungi wilayah-wilayah pangan, di sisi lain kebijakan pemerintah berdampak pada rusaknya wilayah pangan.
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono mengemukakan, upaya pencegahan kebakaran mestinya juga dibahas dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) hingga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Desa-desa memiliki kearifan lokal yang bisa menjaga kelestarian hutan, seperti masyarakat Dayak Meratus.
”Desa-desa memiliki kearifan lokal yang bisa menjaga kelestarian hutan, seperti masyarakat Dayak Meratus,” ujarnya.
Perusahaan induk
Terkait dengan penegakan hukum, Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati mendorong pemerintah untuk mencari aktor-aktor kebakaran dari perusahaan induk. Sudah saatnya perusahaan induk bertanggung jawab karena diyakini turut terlibat dalam kebakaran tersebut.
Selain itu, proses pemadaman di lahan konsesi milik perusahaan mestinya harus dilakukan perusahaan tersebut. Jika tidak, uang negara akan mengalir terus setiap tahun untuk memadamkan api.
Nur juga meminta agar kementerian-kementerian terkait turun tangan menangani masyarakat yang terdampak kabut asap seperti di Palangkaraya dan Pontianak. Masyarakat harus mendapatkan perlindungan karena dampak kabut asap bisa memengaruhi kualitas sumber daya manusia.
”Banyak anak-anak yang kesehatan dan kecerdasannya terancam. Apabila perlu, mereka harus diberikan pengobatan gratis,” katanya.
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah Dimas Hartono menambahkan, selama Juni hingga Juli 2019, ada sekitar 2.000 warga Kalimantan Tengah yang mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Ia berharap agar pemerintah membangun rumah sakit paru-paru di Kalimantan Tengah.