Dua tahun berlalu, hasil penyelidikan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan tetap menemui jalan buntu. Publik terus menunggu hasil pengusutan kasus ini demi keberlangsungan upaya-upaya pemberantasan korupsi.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto/Litbang Kompas
·4 menit baca
Subuh 11 April 2017, Novel Baswedan disiram air keras oleh orang tidak dikenal. Setelah penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia membentuk tim khusus yang terdiri dari penyidik Polri, Polda Metro Jaya, dan Polres Jakarta Utara. Menjelang akhir 2017, Kepala Polda Metro Jaya merilis dua sketsa wajah terduga pelaku.
Hampir setahun setelah penyerangan tersebut, penyelidikan belum juga berhasil mengungkap penyerang Novel. Sejumlah pihak mendesak penuntasan kasus ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga kemudian membuat laporan hasil pemantauan terhadap penanganan kasus ini. Akhirnya, pada awal Januari 2019, dibentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) dengan masa kerja enam bulan.
Atas hasil kerja TGPF, sebagian publik menyatakan ketidakpuasannya. Hal ini setidaknya tecermin dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 24-25 Juli 2019. Sebanyak 63,9 persen responden yang terus mengikuti kelanjutan kasus Novel menyatakan tidak puas atas temuan TGPF.
Belum tuntasnya kasus ini selama dua tahun memunculkan spekulasi di publik. Pertama, 74 persen responden yakin penyerangan ini diduga terkait erat dengan enam kasus yang mendapat perhatian luas di masyarakat (high profile case) yang ditangani Novel.
Merujuk pada temuan TGPF, enam kasus itu ialah penembakan pelaku pencurian sarang burung walet di Bengkulu, kasus korupsi wisma atlet, kasus korupsi mantan Bupati Buol, kasus mantan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Nurhadi, kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, dan kasus dugaan korupsi KTP-elektronik.
Spekulasi kedua terkait penyebab utama kasus ini sulit untuk dituntaskan. Sebanyak 33,7 persen responden menduga adanya tekanan dari pihak luar terhadap TGPF. Sementara 29,4 persen responden percaya penyebab sulitnya kasus ini diungkap karena kurangnya informasi dan alat bukti sebagai penghalang TGPF.
Meskipun demikian, masyarakat tetap menginginkan ada kemajuan dan kelanjutan yang nyata dalam upaya mengungkap penyerangan terhadap Novel. Hal ini tecermin dari hampir 80 persen responden menyatakan setuju atas langkah Presiden Joko Widodo yang memberikan batas waktu tiga bulan kepada tim teknis Polri untuk mengungkap pelaku.
Pegiat korupsi
Kasus penyerangan terhadap pegiat antikorupsi bukan hanya terjadi kali ini. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang 1996 hingga 2019, terdapat 91 kasus serangan fisik dan kriminalisasi terhadap 115 pegiat antikorupsi dengan latar belakang yang berbeda-beda. Aktivis antikorupsi merupakan pihak yang rentan dikriminalisasi ataupun diserang secara fisik.
Dari data yang sama, personel KPK, baik komisioner maupun pegawai, yang menjadi korban kriminalisasi atau serangan fisik berjumlah 15 orang. Dengan demikian, kasus serangan terhadap personel KPK ini seyogianya tidak dipandang kasuistis terhadap individu, tetapi sebagai simbol serangan terhadap kelembagaan. Lebih jauh, serangan-serangan yang terjadi bisa dimaknai sebagai upaya pelemahan terhadap KPK.
Dari kasus yang dikumpulkan ICW, ancaman yang menimpa pegiat antikorupsi dapat dikelompokkan dalam empat klasifikasi, yakni terkait jabatan, kekerasan, kriminalisasi, dan kriminalisasi sekaligus kekerasan. Dari keempatnya, ancaman dengan klasifikasi kriminalisasi menjadi kasus terbanyak, yakni 59 kasus.
Novel Baswedan pernah menerima ancaman kekerasan dan kriminalisasi selama kariernya di KPK. ICW merangkum, total serangan yang didapat Novel sebanyak lima kali, mulai dari upaya kriminalisasi hukum terkait tuduhan penembakan pencuri sarang burung walet pada 2004, ditabrak lari oleh sekelompok orang dengan menggunakan mobil, hingga peristiwa penyiraman air keras oleh orang tidak dikenal.
Secara kelembagaan KPK, kasus penyerangan terhadap penyidik atau komisioner seharusnya dipandang sebagai bentuk obstruction of justice atau menghalang-halangi proses peradilan, mulai dari penyidikan hingga pemanggilan saksi. Hanya, mekanisme untuk memproses perkara ini belum dimaksimalkan KPK.
Urgen
Urgensi atas pengungkapan dan penangkapan pelaku kini dinantikan publik. Sebanyak tujuh dari 10 responden merasa bahwa kasus penyerangan terhadap Novel ini penting dan mendesak untuk diselesaikan. Seiring dengan itu, mayoritas responden juga yakin bahwa pemerintah mendukung penuh agar kasus ini dituntaskan.
Melihat cukup banyaknya ancaman terhadap para pegiat antikorupsi ini, dapat diindikasikan bahwa penegakan hukum untuk memberantas korupsi masih berisiko. Pemerintah belum bisa sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap orang yang terlibat dalam pemberantasan korupsi dari ancaman fisik ataupun nonfisik. Publik meyakini bahwa ancaman atau penyerangan terhadap pegiat antikorupsi akan terjadi lagi jika kasus penyiraman air keras terhadap Novel tidak selesai.
Meskipun rawan menghadapi serangan, keyakinan publik terhadap kinerja KPK tetap tinggi. Apa pun hasilnya nanti, selesai atau tidaknya kasus ini, setidaknya tiga dari empat responden tetap yakin bahwa KPK akan berani dan profesional dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi.
Kepercayaan dan keyakinan publik ini menjadi modal berharga dan dukungan terhadap KPK.